Jumat, 28 Mei 2010

Mengendalikan Hasrat Biologis Si Autis

TEMPO Interaktif, Ajis, sebut saja begitu, gemar memegang buah dada perempuan. Semua guru perempuan di sekolah terapinya pernah dijamah oleh remaja autis berusia 14 tahun itu. Sang guru, Yanti, 28 tahun, bercerita, Ajis sering mendadak "mencaplok" dadanya dari belakang--ketika ia sedang mengajar. "Kadang juga dari samping," Yanti bercerita saat seminar autis di Graha Niaga, Jakarta, Sabtu lalu.
Menurut Yanti, pemahaman Ajis sangat rendah mengenai perilaku seks. Ditambah, dia suka mengamuk saat dilarang, dan kembali memegang payudara jika didekati. Yanti mengajar di Miracle School & Therapy di Kedoya Raya, Jakarta Barat. Sudah satu tahun dia mengajar di sekolah inklusi itu. Dia kerap kesulitan menghadapi remaja dengan autistik yang berperilaku seperti Ajis.
Praktisi terapi perilaku, Dra Dini Oktaufik, melihat kemampuan prasyarat Ajis tampak belum terpenuhi. Pertama, soal kepatuhan yang belum bagus, ditambah perilakunya yang juga belum bagus. Dalam kasus ini, Dini menyarankan, pengajar memakai meja besar agar tangan anak tidak bisa meraih dada pengajarnya. Gunakan konsep token behavior--sebagai tanda penghargaan atas perilaku baik untuk anak autis.
Misalnya, dijelaskan oleh Dini, buatlah visual reminder--tulisan "Tangan Baik"--yang diletakkan di atas mejanya. Berikan ke anak tugas sederhana. "Targetnya bukan tugas itu, melainkan untuk mengajari tangannya," ujar psikolog dari Yayasan Intervention Service for Autism and Developmental Delay ini saat seminar.
Katakanlah, jika selama 30 detik tangannya tidak menjamah lagi dada si pengajar, beri kejutan kepadanya. Dini menyarankan untuk memberi makanan yang diletakkan di atas visual reminder tadi (tulisan "Tangan Baik"). Jadi si anak paham bahwa perilakunya itu baik.
Yang penting, jangan banyak menasihati secara verbal ke mereka. "Karena itu tidak diproses dalam otaknya. Autis lebih menyerap secara visual."
Selanjutnya, setelah tangan sudah baik, boleh diganti mejanya dengan yang lebih kecil. Kalau dia kumat lagi, tangkis tangannya sampai tidak berhasil. Kalaupun berhasil menyentuh, yang disentuh tidak boleh heboh. Bisa jadi si anak belum tahu sensasi memegang payudara. Tapi dia lebih mencari sensasi reaksi orang yang disentuh. "Pastikan kita tidak memberikan sensasi yang dia cari," tuturnya.
Lebih jauh, beberapa remaja dengan autistik doyan masturbasi. Memang, masturbasi adalah alamiah--sama seperti orang lapar. Meski dialihkan membaca buku, tetap rasa lapar datang juga. Sehingga pada waktu tertentu, menurut Dini, mereka butuh pelepasan. "Yang harus diajarkan adalah di mana boleh melakukan itu." Misalnya, di kamar mandi di kala sendiri. "Sehingga mereka paham akan privasinya."
Cerita unik juga dipaparkan oleh Nazila--pengajar anak berkebutuhan khusus di Jakarta--dalam seminar itu. Salah satu muridnya menjadikan masturbasi sebagai senjata untuk lari dari proses belajar. Remaja dengan autistik ini seperti mempelajari bahwa masturbasi bisa jadi pelarian dari terapi. "Mereka menganggap sudah lepas dari tugas, dapat yang asyik-asyik lagi di kamar mandi," kata Dini.
Untuk perilaku yang satu ini, Dini menyarankan, sebaiknya anak dibebastugaskan dulu dari program matematika, baca, tulis, dan lain-lain. Beri tugas yang mudah, yang dia pernah kerjakan. Targetnya, menghentikan perilaku lari dari terapi dengan masturbasi. Berikan reward yang tepat dan menarik, sehingga dia lebih merasa mendapatkan reward dari terapis daripada diri sendiri dengan melakukan kegiatan seks tadi. "Lebih baik gunakan the power of reward daripada the power of punishment," Dini menjelaskan.
Banyak contoh lain perilaku seks remaja dengan autistik, mulai kebiasaan memegang kemaluan hingga memperhatikan atau menyentuh bagian vital tubuh orang lain. Kebiasaan ini sering kali baru disadari oleh orang tua seiring dengan anak tumbuh dewasa. "Orang tua kadang baru sadar saat mereka (anak dengan autistik) melakukan hal itu di depan umum," kata Dini.
Bahkan orang tua sering kali salah didik mengenai perilaku seks pada anak dengan autistik. Contoh, Dini pernah "disenggol" lututnya oleh remaja dengan autistik saat sedang berdiskusi dengan orang tua remaja itu. Dan yang dilakukan orang tua anak itu sungguh di luar dugaan Dini. "Mereka malah tertawa dan mengatakan 'Aduh, jangan begitu dong, Mas'," Dini bercerita.
Yang terjadi, tertawa itu malah membawa konsekuensi positif. Maka perilaku negatif si anak yang diganjar konsekuensi positif mengakibatkan perilaku negatif menjadi menetap. "Anak menjadi terbiasa seperti itu," katanya.
Pendiri Masyarakat Peduli Autisme Indonesia, Gayatri Pamoedji, mengakui pendidikan seks untuk anak dengan autistik jarang dibicarakan, sehingga sejumlah remaja dengan autistik memiliki perilaku seks yang tidak baik.
Bisa jadi, menurut Gayatri, seks di Indonesia dianggap tabu atau tidak penting. Selain itu, orang tua lebih berfokus meningkatkan kemampuan anaknya di bidang akademik. "Padahal anak dengan autistik akan tumbuh dewasa," tutur penulis buku 200 Pertanyaan dan Jawaban Seputar Autisme ini dalam kesempatan terpisah.

Sumber (http://www.tempointeraktif.com/hg/kesehatan/2010/04/05/brk,20100405-237881,id.html)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar