Selasa, 18 Mei 2010

Labeling Pada Anak

Sudah setengah jam seorang anak yang berumur sembilan tahun itu berada di bawah meja. Sebelumnya saya, dia, dan teman-temannya sedang asyik menonton film lewat in focus di kelas. Suatu kali ia tidak sengaja menyenggol kabel in focus sehingga layar menjadi biru. Teman-temannya langsung menyalahkannya. Marah, ia pun lari keluar kelas dan bersembunyi di bawah meja guru.
Sebut namanya Kaisar, seorang anak yang didiagnosis autis asperger. Kaisar cenderung memperlihatkan emosi yang datar dan jarang terlihat perilaku stereotype seperti tapping atau flapping. Rekan-rekan saya yang lain tidak ada yang berani mendekatinya dengan asumsi jika hubungan belum dalam namun mengintervensi terlalu jauh, dikhawatirkan anak akan mempersepsikan berbeda dan akan menambah masalah. Karena gemas karena Kaisar kelewat lama di bawah meja, saya mengambil suling dan merangkak ke bawah meja.
Kehadiran saya membuat Kaisar terganggu tentunya. Daripada mengajaknya ngobrol, saya memainkan lagu dari suling yang saya bawa. Apa yang saya lakukan hanya mendapatkan sedikit perhatian dari Kaisar. Teringat bahwa Kaisar sangat menguasai F1 – bahkan ia tahu sejarah dan kecelakaan-kecelakaan yang terjadi di setiap musim dan ketika ia menceritakan tentang F1, ia dapat berbicara dengan lancar namun kaku dan sulit merasakan apakah lawan bicaranya tertarik atau tidak dengan minatnya – saya pun bertanya-tanya siapa pembalap kesukaanya. Ketika hati Kaisar mulai luluh, saya bertanya mengapa Kaisar ada di bawah meja. Kaisar menjawab, “Karena aku penyendiri dan aku suka sendiri. Kata tiga dokter, aku ini autis. Tapi dokter yang lain bilang aku ini enggak autis, tapi sifat-sifatnya masih ada. Aku suka di bawah sini karena disini banyak barang-barang yang enggak penting, seperti aku dan kamarku.” Saya bertanya darimana Kaisar tahu bahwa ia autis dan menganggap dirinya tidak penting, ia menjawab dari teman dan orang tuanya.
Diagnosis dokter mengenai gangguan perkembangan anak seperti ADHD, ADD, PDD-Nos, dan lainnya, menjadi trend sendiri bagi para orang tua untuk melabelkan anaknya. Sepengetahuan saya dari para orang tua yang saya temui, sepertinya orang tua seolah-olah bangga jika anaknya didiagnosis ‘autis’ atau ‘hiperaktif’ ketimbang sakit ‘TBC’ atau ‘polio’. Masalah yang terjadi adalah jika orang tua yang menganggap gangguan perkembangan anak bukanlah masalah yang perlu ditutup-tutupi dan membuat anak tahu – entah dari orang lain, lingkungan, atau dari orang tuanya sendiri.
Menurut kamus Merriam-Webster, label adalah deskripsi atau identifikasi melalui kata atau frase. Label diberikan kepada anak untuk mendeskripsikan beberapa perilaku yang dimiliki anak. Labeling positif seperti ‘anak pintar’ biasanya diberikan kepada anak yang juara kelas, labeling negatif seperti ‘anak bodoh’ biasanya diberikan kepada anak yang sulit menyerap pelajaran – tanpa mau tahu apakah gaya belajar anak terakomodasi dengan baik atau tidak dan biasanya kemampuan anak diukur dari pelajaran science ketimbang seni atau sosial.
Labeling Negatif
Dalam kasus di atas, Kaisar diberikan label atau “cap” bahwa ia adalah anak autis. Anak akan percaya dengan label jika hal tersebut diberikan oleh orang-orang berpengaruh di kehidupan mereka: orang tua. Masalah yang terjadi dalam pemberian label terhadap perilaku anak adalah anak cenderung berperilaku sesuai label yang diberikan kepada mereka terutama jika label dikuatkan oleh lingkungan sekitar yang bertindak seolah-olah bahwa label tersebut benar. Akibatnya akan baik jika label yang diberikan positif sehingga anak akan berperlaku sesuai harapan yang diberikan lingkungan mereka, namun akan berakibat buruk jika label yang diberikan negatif, ini memungkinkan anak bertindak melebihi label yang diberikan kepada mereka seperti ‘toh saya sudah di-cap nakal, jadi sekalian saja saya nakal’.
Menurut Mary Sheedy Kurcinka, penulis buku Raising Your Spirited Child (Harper Collins, 1992), label negatif dapat membuat anak kesulitan membangun self-esteem yang baik. Kurcinka berpendapat labeling tidak hanya berpengaruh terhadap perilaku anak tetapi juga perlakuan orang tua itu sendiri. Orang tua yang menggunakan kata positif daripada label negatif cenderung bertindak kepada anaknya dengan perilaku dan penghargaan yang lebih baik.
Perlu diingat bahwa labeling tidak selamanya buruk. Label pada anak dengan gangguan belajar dan/atau perilaku akan membuat anak mendapatkan dukungan dan pelayanan khusus seperti terapi atau obat-obatan. Label diaplikasikan untuk memfokuskan perhatian orang tua dan para ahli dalam memberikan perlakuan terhadap gangguan yang dimiliki anak. Namun terkadang orang lupa dengan akibatnya. Seperti Kaisar, secara tidak langsung label juga membuat anak terstigmatisasi dari kehidupan normalnya.

Sumber artikel (ruangpsikologi.com › Featured)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar