paragembel
mereka slalu ada dikala gw sedih ataupun senang
persahabatan ini terjalin sejak di tingkat awal sampai saat ini
walaupun tidak satu kelas lagi tapi kita semua tetap berkomunikasi dengan baik yang membicarakan masalah perkuliahan atau masalah lainnya.
saat ada waktu libur pst kita slalu menggunakan wktu itu untuk berkumpul bersama entah hanya sekedar makan ataupun jalan-jalan ke suatu tempat yang menurut kita tempat itu nyaman untuk kebersamaan kita.
buat gw paragembel itu teman, sahabat, bahkan keluarga...
ketika ketemu dan berkumpul dengan mereka merasa semua masalah yang gw hadapi itu ga ada. mereka yang juga slalu mmberikan support ke gw.
semoga persahabatan ini tidak hanya sementera tapi untuk slamanya.
"salam gembel"
Minggu, 25 Desember 2011
Senin, 18 April 2011
Kesesakan
A.Pengertian kesesakan
Menurut Altman (1975), kesesakan adalah suatu proses interpersonal pada suatu tingkatan interaksi manusia satu dengan lainnya dalam suatu pasangan atau kelompok kecil. Perbedaan pengertian antara Crowding (kesesakan) dengan density (kepadatan) sebagaimana yang telah dibahas di bab terdahulu tidaklah jelas benar, bahkan kadang-kadang keduanya memiliki pengertian yang sama dalam merefleksikan pemikiran secara fisik dari sejumlah manusia dalam suatu kesatuan ruang.
Menurut Altman (1975), Heimstra dan McFarling (1978) antara kepadatan dan kesesakan memiliki hubungan yang erat karena kepadatan merupakan salah satu syarat yang dapat menimbulkan kesesakan, tetapi bukan satu-satunya syarat yang dapat menimbulkan kesesakan, kepadatan yang tinggi dapat mengakibatkan kesesakan pada individu (Heimstra dan McFarling,1978; Holahan,1982).
Baum dan Paulus (1987) menerangkan bahwa proses kepadatan dapat dirasakan sebagai kesesakan atau tidak dapat ditentukan oleh penilaian individu berdasarkan empat faktor :
a. Karakteristik seting fisik
b. Karakteristik seting sosial
c. Karakteristik personal
d. Kemampuan beradaptasi
Stokols (dalam Altman,1975) membedakan antara kesesakan bukan social (nosocial crowding) yaitu dimana factor-faktor fisik menghasilkan perasaan terhadap ruang yang tidak sebanding, seperti sebuah raung yang sempit, dan kesesakan social (social crowding) yaitu perasaan sesak mula-mula datang dari kehadiran orang lain yang terlalu banyak. Stokols juga menambahkan perbedaan antara kesesakan moleculer dan molar. Kesesakan molatr (molar crowding) yaitu perasaan sesak yang dapat dihubungkan dengan skala luas, populasi penduduk kota, sedangkan kesesakan molekuler (Molekuler crowing) yaitu perasaan sesak yang menganalisis individu, kelompok kecil dan keajadian-kejadian interpersonal.
B.Teori-teori kesesakan
Untuk menerangkan terjadinya kesesakan dapat digunakan tiga model teori, yaitu beban stimulus, kendala perilakau dan teori ekologi (Bell.,1978; Holahan,1982).
Toeri beban stimulus. Pendapat teori ini berdasarkan diri pada pandangan bahwa kesesakan timbul kegagalan memproses stimulus atau informasi dari lingkungan. Schmidt dan Keating (1979) mengatakan bahwa stimulus disini dapat berasal dari kehadiran banyak orang beserta aspek-aspek interaksinya, maupun kondisi-kondisi fisik dari lingkungan sekitar yang menyebabkan bertambahnya kepadatan social. Berlebihnya informasi dapat terjadi karena bebrapa factor, seperti :
a. Kondisi lingkungan fisik yang tidak menyenangkan
b. Jarak antar individu (dalam arti fisik) yang terlalu dekat
c. Suatu percakapan yang tidak dikehendaki
d. Terlalu banyak mitra interaksi
e. Interaksi yang terjadi dirasa terlalu dalam atau terlalu lama
Teori Ekologi. Micklin (dalam Holahan,1982) mengemukakan sifat-sifat umum model ekologi pada manusia. Pertama, teori ekologi perilaku memfokuskan pada hubungan timbal balik antara orang dengan lingkungannya. Kedua, unit analisisnya adalah kelompok social dan bukan individu, dan organisasi social memegang peranan sangat penting. Ketiga, menekankan pada distribusi dan penggunaan sumber-sumber material dan social. Undermanning atau undercrowding. Adequate manning terjadi bila jumlah warga sesuai (tidak kuarng dan tidak lebih) dengan syarat seting. Overmanning atau overcrowding terjadi bila jumlah penghuni berlebihan sehingga seting tersebut tidak mampu lagi menampungnya.
Teori Kendala Perilaku. Menurut teori ini, suatu situasi akan dianggap sesak bila kepadatan atau kondisi lain yang berhubungan dengannya membatasi aktifitas individu dalam suatu tempat. Pendekatan ini didasari oleh teori reaktansi psikologi (Psychological reactance) dari Brehm (dalam Schmidt dan Keating,1979) yang menekankan kebebasan memilih sebagai factor pendorong penting dalam persepsi dan perilaku manusia. Ia mengatakan bahwa bila kebebasan itu terhambat, maka individu akan mengadakan suatu reaksi dengan berusaha menemukan kebebasan yang hilang tadi, yang digunakan untuk mencapai tujuannya.
Proshansky dan kawan-kawan (1976) mengemukakan bahwa pengaruh psikologis dari kesesakan yang utama adalah kebebasn memilih individu dalam situasi yang sesak. Dengan bertambahnya kehadiran orang lain menyebabkan gagalnya usaha yang dilakukan individu dalam mencapai tujuannya. Kesesakan terjadi bila kehadiran orang lain dalam suatu seting membatasi kebebasan individu dalam mencapai tujuannya.
C.Faktor-faktor yang mempengaruhi kesesakan
Terdapat tiga factor yang mempengaruhi kesesakan yaitu : personal, social, dan fisik, yang akan dibahas satu persatu.
Faktor Personal. Factor personal terdiri dari control pribadi dan locus of control; budaya, pengalaman, dan proses adaptasi ; serta jenis kelamin dan usia.
a). Kontrol pribadi dan locus of control
Seligman dan kawan-kawan (dalam Worchel dan Cooper,1983) mengatakan bahwa kepadatan tinggi baru akan menghasilkan kesesakan apabila individu sudah tidak mempunyai control terhadap lingkungan di sekitarnya, sehingga kesesakan dapat dikurangi pengaruhnya bila individu tersebut memainkan peran control pribadi didalamnya.
b). Budaya, pengalaman, dan proses adaptasi
Suatu penelitian yang dilakukan oleh Nasar dan Min (dalam Gifford,1987), yang mencoba membandingkan kesesakan yang dialami oleh orang Asia dan orang Mediterania yang tinggal di asrama yang sama di Amerika Utara, menemukan adanya perbedaan persepsi terhadap kesesakan pada individu dengan latar belakang budaya yang berbeda, dimana orang Mediterania merasa lebih sesak daripada orang Asia.
Sundsstrom (dalam Gifford,1987) mengatakan bahwa pengalaman pribadi dalam kondisi padat dimana kesesakan terjadi dapat mempengaruhi tingkat toleransi individu terhadap stress akibat kesesakan yang dialami. Tingkat toleransi akibat adaptasi ini berguna bila individu dihadapkan pada situasi yang baru.
Bell dan kawa-kawan (1978) mengatakan bahwa semakin sering atau konstan suatu stimulus muncul, maka akan timbul proses pembiasaan yang bersifat psikologis (adaptasi) dan fisik (habituasi) dalam bentuk respon yang menyebabkan kekuatan stimulus tadi melemah. Karena proses pembiasaan ini berhubungan dengan waktu, maka dalam kaitannya dengan kesesakan di kawasan tempat tinggal, lamanya individu tinggal dikawasan tersebut akan mempengaruhi perasaan sesaknya.
c). Jenis kelamin dan usia
Penelitian yang telah dilakukan menunjukan bahwa pada pria pengalaman akan kesesakan ini lebih terlihat dibanding wanita karena lebih menunjukan sikap-sikap reaktif terhadap kondisi tersebut. Sikap reaktif itu tercermin dalam sikap yang lebih agresif, kompetitif, dan negative dalam berinteraksi dengan orang lain (Altman, 1975; Freedman,1975; Holahan,1982). Sementara itu Dabbs (1977) mengatakan bahwaa perbedaan jenis kelamin tidaklah berpengaruh terhadap kesesakan, meliankan lenih dipengaruhi oleh jenis kelamin mitra yang dihadapi.
Faktor Sosial. Menurut Gifford (1987) secara personal individu dapat mengalami lebih banyak atau lebih sedikit mengalami kesesakan cenderung di pengaruhi oleh karakteristik yang sudah dimiliki, tetapi di lain pihak pengaruh orang lain dalam lingkungan dapat juga memperburuk keadaan akibat kesesakan. Factor-faktor social yang berpengaruh tersebut adalah :
a).Kehadiran dan perilaku orang lain
Kehadiran orang lain akan menimbulkan perasaan sesak bila individu merasa terganggu dengan kehadiran orang lain. Schiffenbauer (dalam Gifford,1987) melaporkan bahwa penghuni asrama akan merasa lebih sesak bila terlalu banyak menerima kunjungan orang lain. Penghuni yang menerima kunjungan lebih banyak juga merasa lebih tidak puas dengan ruangan, teman sekamar, dan proses belajar mereka.
b). Formasi Koalisi
Keadaan ini didasari pada pendapat yang mengatakan bahwa meningkatnya kepadatan sosiial akan dapat meningkatkan kesesakan. Karenanya banyak penelitian yang menemukan akibat penambahan teman sekamar (dari satu menjadi dua orang teman) dalam asrama sebagai suatu keadaan yang negative. Keadaan negative yang muncul berupa stress, perasaan tidak enak, dan kehilangan control, yang disebabkan karena terbentuknya koalisi di satu pihak dan satu orang yang terisolasi di lain pihak (Gifford,1987).
c). Kualitas Hubungan
Kesesakan menurut penelitian yang dilakukan oleh Schaffer dan Pstterson (dalam Gifford,1987) sangat dipengaruhi oleh seberapa baik seorang individu dapat bergaul dengan orang lain. Individu yang percaya bahwa orang lain mempunyai pandangan yang sama dengan dirinya merasa kurang mengalami kesesakan bila berhubungan dengan orang-orang tersebut.
d). informasi yang tersedia.
Kesesakan juga dipengaruhi oleh jumlah dan bentuk informasi yang muncul sebelumdan selama mengalami keadaan yang padat. Individu yang tidak mempunyai informasi tentang kepadatan merasa lebih sesak daripada individu yang sebelumnya sudah mempunyai informasi tentang kepadatan (Fisher dan Baum dalam Gifford,1987).
Faktor Fisik. Gove dan Hughes (1983) menemukan bahwa kesesakan di dalam rumah berhubungan dengan factor-faktor fisik yang berhubungan dengan kondisi rumah seperti jenis rumah, urutan lantai, ukuran rumah (perbandingan jumlah penghuni dan luas ruangan yang tersedia) dan suasana sekitar rumah.
Variasi arsitektural
Dari penelitian yang telah dilakukan oleh Baum dan Valins (1977) di temukan bahwa desain koridor yang panjang akan menimbulkan perilaku kompetitif, penarikan diri, rendahnya perilaku kooperatif, dan rendahnya kemampuan untuk mengontrol interaksi.
McCartey dan Saegert (dalam Gifford,1987) menemukan bahwa bila dibandingkan dengan bangunan horizontal, kehidupan dibangun vertical dapat menyebabkan perasaan sesak yang lebih besar dan menimbulkan sikap-sikap negative seperti kurangnya kemampuan untuk mengontrol, rendahnya rasa aman, merasa kesulitan dalam mencapai privasi, rendahnya kepuasan terhadap bangunan yang ada, dan hubungan yang tidak erat di antara sesame penghuni.
D.Pengaruh Kesesakan terhadap perilaku
Bila suatu lingkungan berubah menjadi sesak (crowded), sumber-sumber yang ada di dalamnya pun bisa menjadi berkurang, aktivitas seseorang terganggu oleh aktivitas orang lain, interaksi interpersonal yang tidak diinginkan akan menggangu individu dalam mencapai tujuan personalnya, gangguan terhadap norma tempat dapat meningkatkan gejolak dan ketidaknyamanan (Epstien,1982) serta disorganisasi keluarga, agresi penarikan diri secara psikologis (psychological withdrawal), dan menurunnya kualitas hidup (Freedman,1973).
Freedman (1975) memandang kesesakan sebagai suatu keadaan yang dapat bersifat positif maupun negative tergantung ari situasinya. Jadi kesesakan dapat dirasakan sebagai suatu pengalaman yang kadang-kadang menyenangkan dan kadang-kadang tidak menyenangkan. Bahkan dari banyak penelitiannya diperoleh kesimpulan bahwa kesesakan sama sekali tidak berpengaruh negative terhadap subjek penelitian.
Proshansky dkk.(1976) dan Altman (1975) juaga memiliki asumsi yang sama dengan Freedman. Kesesakan mempunyai konotasi positif maupun negative. Kadang-kadang situasi yang sesak justru dapat dinikmati, misalnya saja dalam suatu pertandingan olah raga di stadion besar, jika penontonnya hanya sedikit, tentu suasana akan menjadi kurang meriah dan hal ini dapat mempengaruhi pemain. Dalam pesta, pameran, pertunjukan seni, dan sejenisnya, orang lebih suka kalau suasananya ramai.
Pengaruh negative kesesakan tercermin dalam bentuk penurunan-penurunan psikologis, fisiologis, dan hubungan social individu. Penagruh psikologis yang ditimbulkan oleh kesesakan antara lain adalah perasaan kurang nyaman, stress, kecemasan, suasana hati yang kurang baik, prestasi kerja dan prestasi belajar menurun, agresivitas meningkat, dan bahkan juga gangguan mental yang serius.
Individu yang berada dalam kesesakan juga akan mengalami malfungsi fisiologis seperti meningkatnya tekanan darah dan detak jantung, gejala-gejala psikosomatik, dan penyakit-penyakit fisik yang serius(Worchel and Cooper,1983)
Perilaku sosial yang sering kali timbul karena situasi yang sesak antara lain adalah kenakalan remaja, menurunya sikap gotong-royong dan saling membantu, penarikan diri dari lingkuangan social, berrkembangnya sikap acuh tak acuh, dan semakin berkurangnya intensitas hubunagn sosial (Hoalahan,1982).
Sumber : Prabowo, H. 1998. Pengantar Psikologi Lingkungan. Seri Diktat Kuliah. Jakarta: Penerbit Gunadarma
Menurut Altman (1975), kesesakan adalah suatu proses interpersonal pada suatu tingkatan interaksi manusia satu dengan lainnya dalam suatu pasangan atau kelompok kecil. Perbedaan pengertian antara Crowding (kesesakan) dengan density (kepadatan) sebagaimana yang telah dibahas di bab terdahulu tidaklah jelas benar, bahkan kadang-kadang keduanya memiliki pengertian yang sama dalam merefleksikan pemikiran secara fisik dari sejumlah manusia dalam suatu kesatuan ruang.
Menurut Altman (1975), Heimstra dan McFarling (1978) antara kepadatan dan kesesakan memiliki hubungan yang erat karena kepadatan merupakan salah satu syarat yang dapat menimbulkan kesesakan, tetapi bukan satu-satunya syarat yang dapat menimbulkan kesesakan, kepadatan yang tinggi dapat mengakibatkan kesesakan pada individu (Heimstra dan McFarling,1978; Holahan,1982).
Baum dan Paulus (1987) menerangkan bahwa proses kepadatan dapat dirasakan sebagai kesesakan atau tidak dapat ditentukan oleh penilaian individu berdasarkan empat faktor :
a. Karakteristik seting fisik
b. Karakteristik seting sosial
c. Karakteristik personal
d. Kemampuan beradaptasi
Stokols (dalam Altman,1975) membedakan antara kesesakan bukan social (nosocial crowding) yaitu dimana factor-faktor fisik menghasilkan perasaan terhadap ruang yang tidak sebanding, seperti sebuah raung yang sempit, dan kesesakan social (social crowding) yaitu perasaan sesak mula-mula datang dari kehadiran orang lain yang terlalu banyak. Stokols juga menambahkan perbedaan antara kesesakan moleculer dan molar. Kesesakan molatr (molar crowding) yaitu perasaan sesak yang dapat dihubungkan dengan skala luas, populasi penduduk kota, sedangkan kesesakan molekuler (Molekuler crowing) yaitu perasaan sesak yang menganalisis individu, kelompok kecil dan keajadian-kejadian interpersonal.
B.Teori-teori kesesakan
Untuk menerangkan terjadinya kesesakan dapat digunakan tiga model teori, yaitu beban stimulus, kendala perilakau dan teori ekologi (Bell.,1978; Holahan,1982).
Toeri beban stimulus. Pendapat teori ini berdasarkan diri pada pandangan bahwa kesesakan timbul kegagalan memproses stimulus atau informasi dari lingkungan. Schmidt dan Keating (1979) mengatakan bahwa stimulus disini dapat berasal dari kehadiran banyak orang beserta aspek-aspek interaksinya, maupun kondisi-kondisi fisik dari lingkungan sekitar yang menyebabkan bertambahnya kepadatan social. Berlebihnya informasi dapat terjadi karena bebrapa factor, seperti :
a. Kondisi lingkungan fisik yang tidak menyenangkan
b. Jarak antar individu (dalam arti fisik) yang terlalu dekat
c. Suatu percakapan yang tidak dikehendaki
d. Terlalu banyak mitra interaksi
e. Interaksi yang terjadi dirasa terlalu dalam atau terlalu lama
Teori Ekologi. Micklin (dalam Holahan,1982) mengemukakan sifat-sifat umum model ekologi pada manusia. Pertama, teori ekologi perilaku memfokuskan pada hubungan timbal balik antara orang dengan lingkungannya. Kedua, unit analisisnya adalah kelompok social dan bukan individu, dan organisasi social memegang peranan sangat penting. Ketiga, menekankan pada distribusi dan penggunaan sumber-sumber material dan social. Undermanning atau undercrowding. Adequate manning terjadi bila jumlah warga sesuai (tidak kuarng dan tidak lebih) dengan syarat seting. Overmanning atau overcrowding terjadi bila jumlah penghuni berlebihan sehingga seting tersebut tidak mampu lagi menampungnya.
Teori Kendala Perilaku. Menurut teori ini, suatu situasi akan dianggap sesak bila kepadatan atau kondisi lain yang berhubungan dengannya membatasi aktifitas individu dalam suatu tempat. Pendekatan ini didasari oleh teori reaktansi psikologi (Psychological reactance) dari Brehm (dalam Schmidt dan Keating,1979) yang menekankan kebebasan memilih sebagai factor pendorong penting dalam persepsi dan perilaku manusia. Ia mengatakan bahwa bila kebebasan itu terhambat, maka individu akan mengadakan suatu reaksi dengan berusaha menemukan kebebasan yang hilang tadi, yang digunakan untuk mencapai tujuannya.
Proshansky dan kawan-kawan (1976) mengemukakan bahwa pengaruh psikologis dari kesesakan yang utama adalah kebebasn memilih individu dalam situasi yang sesak. Dengan bertambahnya kehadiran orang lain menyebabkan gagalnya usaha yang dilakukan individu dalam mencapai tujuannya. Kesesakan terjadi bila kehadiran orang lain dalam suatu seting membatasi kebebasan individu dalam mencapai tujuannya.
C.Faktor-faktor yang mempengaruhi kesesakan
Terdapat tiga factor yang mempengaruhi kesesakan yaitu : personal, social, dan fisik, yang akan dibahas satu persatu.
Faktor Personal. Factor personal terdiri dari control pribadi dan locus of control; budaya, pengalaman, dan proses adaptasi ; serta jenis kelamin dan usia.
a). Kontrol pribadi dan locus of control
Seligman dan kawan-kawan (dalam Worchel dan Cooper,1983) mengatakan bahwa kepadatan tinggi baru akan menghasilkan kesesakan apabila individu sudah tidak mempunyai control terhadap lingkungan di sekitarnya, sehingga kesesakan dapat dikurangi pengaruhnya bila individu tersebut memainkan peran control pribadi didalamnya.
b). Budaya, pengalaman, dan proses adaptasi
Suatu penelitian yang dilakukan oleh Nasar dan Min (dalam Gifford,1987), yang mencoba membandingkan kesesakan yang dialami oleh orang Asia dan orang Mediterania yang tinggal di asrama yang sama di Amerika Utara, menemukan adanya perbedaan persepsi terhadap kesesakan pada individu dengan latar belakang budaya yang berbeda, dimana orang Mediterania merasa lebih sesak daripada orang Asia.
Sundsstrom (dalam Gifford,1987) mengatakan bahwa pengalaman pribadi dalam kondisi padat dimana kesesakan terjadi dapat mempengaruhi tingkat toleransi individu terhadap stress akibat kesesakan yang dialami. Tingkat toleransi akibat adaptasi ini berguna bila individu dihadapkan pada situasi yang baru.
Bell dan kawa-kawan (1978) mengatakan bahwa semakin sering atau konstan suatu stimulus muncul, maka akan timbul proses pembiasaan yang bersifat psikologis (adaptasi) dan fisik (habituasi) dalam bentuk respon yang menyebabkan kekuatan stimulus tadi melemah. Karena proses pembiasaan ini berhubungan dengan waktu, maka dalam kaitannya dengan kesesakan di kawasan tempat tinggal, lamanya individu tinggal dikawasan tersebut akan mempengaruhi perasaan sesaknya.
c). Jenis kelamin dan usia
Penelitian yang telah dilakukan menunjukan bahwa pada pria pengalaman akan kesesakan ini lebih terlihat dibanding wanita karena lebih menunjukan sikap-sikap reaktif terhadap kondisi tersebut. Sikap reaktif itu tercermin dalam sikap yang lebih agresif, kompetitif, dan negative dalam berinteraksi dengan orang lain (Altman, 1975; Freedman,1975; Holahan,1982). Sementara itu Dabbs (1977) mengatakan bahwaa perbedaan jenis kelamin tidaklah berpengaruh terhadap kesesakan, meliankan lenih dipengaruhi oleh jenis kelamin mitra yang dihadapi.
Faktor Sosial. Menurut Gifford (1987) secara personal individu dapat mengalami lebih banyak atau lebih sedikit mengalami kesesakan cenderung di pengaruhi oleh karakteristik yang sudah dimiliki, tetapi di lain pihak pengaruh orang lain dalam lingkungan dapat juga memperburuk keadaan akibat kesesakan. Factor-faktor social yang berpengaruh tersebut adalah :
a).Kehadiran dan perilaku orang lain
Kehadiran orang lain akan menimbulkan perasaan sesak bila individu merasa terganggu dengan kehadiran orang lain. Schiffenbauer (dalam Gifford,1987) melaporkan bahwa penghuni asrama akan merasa lebih sesak bila terlalu banyak menerima kunjungan orang lain. Penghuni yang menerima kunjungan lebih banyak juga merasa lebih tidak puas dengan ruangan, teman sekamar, dan proses belajar mereka.
b). Formasi Koalisi
Keadaan ini didasari pada pendapat yang mengatakan bahwa meningkatnya kepadatan sosiial akan dapat meningkatkan kesesakan. Karenanya banyak penelitian yang menemukan akibat penambahan teman sekamar (dari satu menjadi dua orang teman) dalam asrama sebagai suatu keadaan yang negative. Keadaan negative yang muncul berupa stress, perasaan tidak enak, dan kehilangan control, yang disebabkan karena terbentuknya koalisi di satu pihak dan satu orang yang terisolasi di lain pihak (Gifford,1987).
c). Kualitas Hubungan
Kesesakan menurut penelitian yang dilakukan oleh Schaffer dan Pstterson (dalam Gifford,1987) sangat dipengaruhi oleh seberapa baik seorang individu dapat bergaul dengan orang lain. Individu yang percaya bahwa orang lain mempunyai pandangan yang sama dengan dirinya merasa kurang mengalami kesesakan bila berhubungan dengan orang-orang tersebut.
d). informasi yang tersedia.
Kesesakan juga dipengaruhi oleh jumlah dan bentuk informasi yang muncul sebelumdan selama mengalami keadaan yang padat. Individu yang tidak mempunyai informasi tentang kepadatan merasa lebih sesak daripada individu yang sebelumnya sudah mempunyai informasi tentang kepadatan (Fisher dan Baum dalam Gifford,1987).
Faktor Fisik. Gove dan Hughes (1983) menemukan bahwa kesesakan di dalam rumah berhubungan dengan factor-faktor fisik yang berhubungan dengan kondisi rumah seperti jenis rumah, urutan lantai, ukuran rumah (perbandingan jumlah penghuni dan luas ruangan yang tersedia) dan suasana sekitar rumah.
Variasi arsitektural
Dari penelitian yang telah dilakukan oleh Baum dan Valins (1977) di temukan bahwa desain koridor yang panjang akan menimbulkan perilaku kompetitif, penarikan diri, rendahnya perilaku kooperatif, dan rendahnya kemampuan untuk mengontrol interaksi.
McCartey dan Saegert (dalam Gifford,1987) menemukan bahwa bila dibandingkan dengan bangunan horizontal, kehidupan dibangun vertical dapat menyebabkan perasaan sesak yang lebih besar dan menimbulkan sikap-sikap negative seperti kurangnya kemampuan untuk mengontrol, rendahnya rasa aman, merasa kesulitan dalam mencapai privasi, rendahnya kepuasan terhadap bangunan yang ada, dan hubungan yang tidak erat di antara sesame penghuni.
D.Pengaruh Kesesakan terhadap perilaku
Bila suatu lingkungan berubah menjadi sesak (crowded), sumber-sumber yang ada di dalamnya pun bisa menjadi berkurang, aktivitas seseorang terganggu oleh aktivitas orang lain, interaksi interpersonal yang tidak diinginkan akan menggangu individu dalam mencapai tujuan personalnya, gangguan terhadap norma tempat dapat meningkatkan gejolak dan ketidaknyamanan (Epstien,1982) serta disorganisasi keluarga, agresi penarikan diri secara psikologis (psychological withdrawal), dan menurunnya kualitas hidup (Freedman,1973).
Freedman (1975) memandang kesesakan sebagai suatu keadaan yang dapat bersifat positif maupun negative tergantung ari situasinya. Jadi kesesakan dapat dirasakan sebagai suatu pengalaman yang kadang-kadang menyenangkan dan kadang-kadang tidak menyenangkan. Bahkan dari banyak penelitiannya diperoleh kesimpulan bahwa kesesakan sama sekali tidak berpengaruh negative terhadap subjek penelitian.
Proshansky dkk.(1976) dan Altman (1975) juaga memiliki asumsi yang sama dengan Freedman. Kesesakan mempunyai konotasi positif maupun negative. Kadang-kadang situasi yang sesak justru dapat dinikmati, misalnya saja dalam suatu pertandingan olah raga di stadion besar, jika penontonnya hanya sedikit, tentu suasana akan menjadi kurang meriah dan hal ini dapat mempengaruhi pemain. Dalam pesta, pameran, pertunjukan seni, dan sejenisnya, orang lebih suka kalau suasananya ramai.
Pengaruh negative kesesakan tercermin dalam bentuk penurunan-penurunan psikologis, fisiologis, dan hubungan social individu. Penagruh psikologis yang ditimbulkan oleh kesesakan antara lain adalah perasaan kurang nyaman, stress, kecemasan, suasana hati yang kurang baik, prestasi kerja dan prestasi belajar menurun, agresivitas meningkat, dan bahkan juga gangguan mental yang serius.
Individu yang berada dalam kesesakan juga akan mengalami malfungsi fisiologis seperti meningkatnya tekanan darah dan detak jantung, gejala-gejala psikosomatik, dan penyakit-penyakit fisik yang serius(Worchel and Cooper,1983)
Perilaku sosial yang sering kali timbul karena situasi yang sesak antara lain adalah kenakalan remaja, menurunya sikap gotong-royong dan saling membantu, penarikan diri dari lingkuangan social, berrkembangnya sikap acuh tak acuh, dan semakin berkurangnya intensitas hubunagn sosial (Hoalahan,1982).
Sumber : Prabowo, H. 1998. Pengantar Psikologi Lingkungan. Seri Diktat Kuliah. Jakarta: Penerbit Gunadarma
Minggu, 10 April 2011
Peran Stress Dalam Memahami Hubungan Manusia Dengan Lingkungan
Menurut Veitch & Arkkelin (1995) stress dicirikan sebagai proses yang membuka pikiran kita, sehingga kita akan ketemu dengan sensor,menjadi sadar akan bahaya,memobilisasi usaha kita untuk mengatasinya, mendorong untuk melawannya, serta yang membuat kiata berhasil atau gagal dalam beradaptasi. Proses ini akan mengikuti suatu alur yang logis seperti pada gambar 3.7. ketika suatu sensor kita evaluasi, kita seleksi stategi-stategi untuk mengatasinya kita lakukan “pergerakan-pergerakan “ tubuh secara fisiologis dan psikologi untuk melawan stressor,dan lalu mengatasinya dengan suatu tindakan.jika coping berhavior (perlakuan penyesuaian diri) ini berhasil, maka adaptasi akan meningkat dan pengaruh stress menghilangkan. Sementara jika coping berhavior gagal, maka stress akan menerus, pembangkitan fisik dan fisiologis tidak dapat dihindari sehingga penyakit fisik akan menyerang.
Ketika tidak mengalami stress, individu umumnya menggunakan banyak waktunya untuk mencapai keseimbangan dengan lingkungannya. Dalam keadaan seperti itu, ada waktu-waktu tertentu dimana kita sebenarnya justru mengalami stress. Bahkan suatu stress terkadang tidak terkait dengan masalah ketidakseimbangan (disekuilibrium). Ada waktu-waktu tertentu, dimana lingkungan menyajikan tantangan yang terlalu besar atau individu dapat menghilangkannya dengan kemampuan coping behavior. Di lain pihak, individu juga dapat mengalami keduanya. Pada kondisi inilah terjadi disekuilibrium, yang tergantung dari proses-proses fisik, psikologis, dan fisiologis.
Hal lain yang belum dibahas adalah elemen-elemen lingkungan yang dapat mempengaruhi proses terjadinya disekuilibrium maupun ekuilibrium dalam kaitan dalam kaitan manusia dengan lingkungannya. Kita dapat merasakan suara dibawah kondisi tertentu dapat dipersepsi sebgai kebisingan dan bagaimana persepsi ini mempengaruhi respon psikologis dan fisiologis terhadap sumber kebisingan. Sama halnya ketika kita menghadapi elemen-elemen lingkungan lainnya seperti kondisi atmosfir, kepadatan penduduk, rancangan arsitektur, dan produk tekhnologi. Singkatnya, terdapat banyak aspek lingkungan yang dapat menciptakan stress. Kita akan mencoba meguraikan kondisi-kondisi dimana hal tersebut akan terjadi dan mencermatinya pada individu-individu yang dipengaruhi. Pada akhirnya kita dapat menyarankan cara-cara pencegahan terhadap stress dan pengaruh yang merugikan. Sehingga, kedua hal tersebut dapat diasumsikan untuk dapat kita hindari.
Sumber : Prabowo, H. 1998. Pengantar Psikologi Lingkungan. Seri Diktat Kuliah. Jakarta: Penerbit Gunadarma.
Ketika tidak mengalami stress, individu umumnya menggunakan banyak waktunya untuk mencapai keseimbangan dengan lingkungannya. Dalam keadaan seperti itu, ada waktu-waktu tertentu dimana kita sebenarnya justru mengalami stress. Bahkan suatu stress terkadang tidak terkait dengan masalah ketidakseimbangan (disekuilibrium). Ada waktu-waktu tertentu, dimana lingkungan menyajikan tantangan yang terlalu besar atau individu dapat menghilangkannya dengan kemampuan coping behavior. Di lain pihak, individu juga dapat mengalami keduanya. Pada kondisi inilah terjadi disekuilibrium, yang tergantung dari proses-proses fisik, psikologis, dan fisiologis.
Hal lain yang belum dibahas adalah elemen-elemen lingkungan yang dapat mempengaruhi proses terjadinya disekuilibrium maupun ekuilibrium dalam kaitan dalam kaitan manusia dengan lingkungannya. Kita dapat merasakan suara dibawah kondisi tertentu dapat dipersepsi sebgai kebisingan dan bagaimana persepsi ini mempengaruhi respon psikologis dan fisiologis terhadap sumber kebisingan. Sama halnya ketika kita menghadapi elemen-elemen lingkungan lainnya seperti kondisi atmosfir, kepadatan penduduk, rancangan arsitektur, dan produk tekhnologi. Singkatnya, terdapat banyak aspek lingkungan yang dapat menciptakan stress. Kita akan mencoba meguraikan kondisi-kondisi dimana hal tersebut akan terjadi dan mencermatinya pada individu-individu yang dipengaruhi. Pada akhirnya kita dapat menyarankan cara-cara pencegahan terhadap stress dan pengaruh yang merugikan. Sehingga, kedua hal tersebut dapat diasumsikan untuk dapat kita hindari.
Sumber : Prabowo, H. 1998. Pengantar Psikologi Lingkungan. Seri Diktat Kuliah. Jakarta: Penerbit Gunadarma.
Stres Lingkungan
A. Stres
Istilah stress dikemukakan oleh Hans Selye (dalam Sehnert,1981) yang mendefinisikan stress sebagai respon yang tidak spesifik dari tubuh pada tiap tututan yang dikenakan padanya. Dengan kata lain istilah stress dapat digunakan untuk menunjukan suatu perubahan fisik yang luas yang disulut oleh berbagai faktor psikologis atau faktor fisik atau kombinasi kedua faktor tersebut. Menurut Lazarus (1976) stress adalah suatu keadaan psikologis individu yang disebabkan karena individu dihadapkan pada situasi internal dan eksternal. Menurut Korchin (1976) keadaan stress muncul apabila tuntutan-tuntutan yang luar biasa atau terlalu banyak mengancam kesejahteraan atau integritas seseorang. Stress tidak saja kondisi yang menekan seseorang ataupun keadaan fisik atau psikologis seseorang maupun reaksinya terhadap tekanan nadi, akan tetapi stress adalah keterkaitan antar ketiganya (Prawitasari,1989). Karena banyaknya definisi mengenai stres, maka Sarafino (1994) mencoba mengkonseptualisasikan kedalam tiga pendekatan, yaitu : stimulus, respon, dan proses.
B. MODEL STRES
a. Response-based model
Stress model ini mengacu sebagai sekelompok gangguan kejiwaan dan respon-respon psikis yang timbul pada situasi sulit. Model ini mencoba untuk mendefinisikan pola-pola kejiwaan dan respon-respon kejiwaan yang diukur pada lingkunagn yang sulit. Suatu pola atau sekelompok dari respon disebut sebagai sebuah sindrom. Pusat perhatian dari model ini adalah bagaimana stressor yang berasal dari peristiwa lingkungan yang berbeda-beda dapat menghasilkan respon stress yang sama.
b. Stimulus-based model
Model stress ini memusatkan perhatian pada sifat-sifat stimuli stress. Tiga karakteristik penting dari stimuli strees adalah sebagai berikut :
(1) Overload
Karakteristik ini diukur ketika sebuah stimulus datang secara intens dan individu tidak dapat mengadaptasi lebih lama lagi.
(2) Conflict
Konflik diukur ketika sebuah secara simultan membangkitkan dua atau lebih respon-respon yang tidak berkesesuaian. Situasi-situasi konflik bersifat ambigu, dalam arti stimulus tidak memperhitungkan kecenderungan respon yang wajar.
(3) Uncontrollability
Uncontrollability adalah peristiwa-peristiwa dari kehidupan yang bebas/ tidak tergantung pada perilaku dimana pada situasi ini menunjukan tingkat stress yang tinggi. Penelitian tentang tujuan ini menunjukan bahwa stress diproduksi oleh stimulus aversive yang mungkin diolah melebihi kemampuan dan kontrol waktu serta jangka waktu dari stimuli ini daripada dengan kenyataan penderitaan yang dialami. Dampak stress dari stimuli aversive dapat diperkecil jika individu percaya dapat mengontrolnya.
c. Interactional model
Model ini merupakan perpaduan dari response-based model dan stimulus-based model. Ini mengingatkan bahwa dua model terdahulu membutuhkan tambahan informasi mengenai motif-motif individual dan kemampuan mencoping (mengatasi). Model ini memperkirakan bahwa stress dapat diukur ketika dua kondisi bertemu,yaitu :
(1) Ketika individu menerima ancaman akan motif dan kebutuhan penting yang dimilikinya. Jika telah berpengalaman stress sebelumnya, individu harus menerima bahwa lingkungan mempunyai ancaman pada motif-motif atau kebutuhan-kebutuhan penting pribadi.
(2) Ketika individu tidak mampu untuk mengcoping lebih merujuk pada kesimpulan total dari metode personal, dapat digunakan untuk menguasai situasi yang penuh stress. Coping termasuk rangkaian dari kemampuan untuk bertindak pada lingkungan dan mengelola gangguan emosioanal, kognitif serta reaksi psikis.
Pendekatan interaksional beranggapan bahwa keseluruhan pengalaman stress didalam beberapa situasi akan tergantung pada keseimbangan antara stressor, tuntutan dan kemampuan mencoping. Stress dapat menjadi tinggi apabila ada ketidak seimbangan antara dua faktor, yaitu karena tuntutan melampaui kemampuan coping. Stress dapat menjadi rendah apabila kemampuan coping melebihi tuntutan.
C. Jenis Stres
Holahan (1981) menyebutkan jenis stress yang dibedakan menjadi dua bagian, yaitu systematic stress dan pshycological stress. Systematic stress didefiniskan oleh Selye (dalam Holahan,1981) sebagai respon non spesifik dari tubuh terhadap beberapa tuntutan lingkungan. Ia menyebut kondisi-kondisi pada lingkungan yang menghasilkan stress, misalnya racun kimia atau temperature ekstrim, sebagai stressor. Selye mengidentifikasi tiga tahap dalam respon sistematik tubuh terhadap kondisi-kondisi penuh stress, yang diistilahkan General Adaptation syndrome (GAS).
Tahap pertama adalah alarm reaction dari system syaraf otonom, termasuk didalamnya penigkatan sekresi andrenalin, detak jantung, tekanan darah dan otot menegang. Tahap ini bisa diartikan sebagai pertahanan tubuh.
Selanjutnya ketiga, exhaustion atau kelelahan, akan terjadi kemudian apabila stressor datang secara intens dan dalam jangka waktu yang cukup lama, dan jika usaha-usaha perlawanan gagal untuk menyelesaikan secara adekuat.
Psychological stress terjadi ketika individu menjumpai kondisi lingkungan yang penuh stress sebagai ancaman yang kuat menantang atau melampaui kemampuan copingnya (Lazarus dalam Holahan,1981).sebuah secara potensi dapat terlihat sebagai suatu ancaman dan berbahaya secara potensial apabila melihat hal yang memalukan, kehilangan harga diri, kehilangan dan seterusnya.(dalam Heimstra & Mc Farling, 1978)
Hasil penelitian dari Levy dkk.(1978) ditemukan bahwa stress dapat timbul dari kondisi-kondisi yang bermacam-macam,seperti tempat kerja, dilingkungan fisik dan kondisi sosial. Stress yang timbul dari kondisi sosial bisa dari lingkungan rumah, sekolah atau pun tempat kerja.
Sumber : Prabowo, H. 1998. Pengantar Psikologi Lingkungan. Seri Diktat Kuliah. Jakarta: Penerbit Gunadarma
Istilah stress dikemukakan oleh Hans Selye (dalam Sehnert,1981) yang mendefinisikan stress sebagai respon yang tidak spesifik dari tubuh pada tiap tututan yang dikenakan padanya. Dengan kata lain istilah stress dapat digunakan untuk menunjukan suatu perubahan fisik yang luas yang disulut oleh berbagai faktor psikologis atau faktor fisik atau kombinasi kedua faktor tersebut. Menurut Lazarus (1976) stress adalah suatu keadaan psikologis individu yang disebabkan karena individu dihadapkan pada situasi internal dan eksternal. Menurut Korchin (1976) keadaan stress muncul apabila tuntutan-tuntutan yang luar biasa atau terlalu banyak mengancam kesejahteraan atau integritas seseorang. Stress tidak saja kondisi yang menekan seseorang ataupun keadaan fisik atau psikologis seseorang maupun reaksinya terhadap tekanan nadi, akan tetapi stress adalah keterkaitan antar ketiganya (Prawitasari,1989). Karena banyaknya definisi mengenai stres, maka Sarafino (1994) mencoba mengkonseptualisasikan kedalam tiga pendekatan, yaitu : stimulus, respon, dan proses.
B. MODEL STRES
a. Response-based model
Stress model ini mengacu sebagai sekelompok gangguan kejiwaan dan respon-respon psikis yang timbul pada situasi sulit. Model ini mencoba untuk mendefinisikan pola-pola kejiwaan dan respon-respon kejiwaan yang diukur pada lingkunagn yang sulit. Suatu pola atau sekelompok dari respon disebut sebagai sebuah sindrom. Pusat perhatian dari model ini adalah bagaimana stressor yang berasal dari peristiwa lingkungan yang berbeda-beda dapat menghasilkan respon stress yang sama.
b. Stimulus-based model
Model stress ini memusatkan perhatian pada sifat-sifat stimuli stress. Tiga karakteristik penting dari stimuli strees adalah sebagai berikut :
(1) Overload
Karakteristik ini diukur ketika sebuah stimulus datang secara intens dan individu tidak dapat mengadaptasi lebih lama lagi.
(2) Conflict
Konflik diukur ketika sebuah secara simultan membangkitkan dua atau lebih respon-respon yang tidak berkesesuaian. Situasi-situasi konflik bersifat ambigu, dalam arti stimulus tidak memperhitungkan kecenderungan respon yang wajar.
(3) Uncontrollability
Uncontrollability adalah peristiwa-peristiwa dari kehidupan yang bebas/ tidak tergantung pada perilaku dimana pada situasi ini menunjukan tingkat stress yang tinggi. Penelitian tentang tujuan ini menunjukan bahwa stress diproduksi oleh stimulus aversive yang mungkin diolah melebihi kemampuan dan kontrol waktu serta jangka waktu dari stimuli ini daripada dengan kenyataan penderitaan yang dialami. Dampak stress dari stimuli aversive dapat diperkecil jika individu percaya dapat mengontrolnya.
c. Interactional model
Model ini merupakan perpaduan dari response-based model dan stimulus-based model. Ini mengingatkan bahwa dua model terdahulu membutuhkan tambahan informasi mengenai motif-motif individual dan kemampuan mencoping (mengatasi). Model ini memperkirakan bahwa stress dapat diukur ketika dua kondisi bertemu,yaitu :
(1) Ketika individu menerima ancaman akan motif dan kebutuhan penting yang dimilikinya. Jika telah berpengalaman stress sebelumnya, individu harus menerima bahwa lingkungan mempunyai ancaman pada motif-motif atau kebutuhan-kebutuhan penting pribadi.
(2) Ketika individu tidak mampu untuk mengcoping lebih merujuk pada kesimpulan total dari metode personal, dapat digunakan untuk menguasai situasi yang penuh stress. Coping termasuk rangkaian dari kemampuan untuk bertindak pada lingkungan dan mengelola gangguan emosioanal, kognitif serta reaksi psikis.
Pendekatan interaksional beranggapan bahwa keseluruhan pengalaman stress didalam beberapa situasi akan tergantung pada keseimbangan antara stressor, tuntutan dan kemampuan mencoping. Stress dapat menjadi tinggi apabila ada ketidak seimbangan antara dua faktor, yaitu karena tuntutan melampaui kemampuan coping. Stress dapat menjadi rendah apabila kemampuan coping melebihi tuntutan.
C. Jenis Stres
Holahan (1981) menyebutkan jenis stress yang dibedakan menjadi dua bagian, yaitu systematic stress dan pshycological stress. Systematic stress didefiniskan oleh Selye (dalam Holahan,1981) sebagai respon non spesifik dari tubuh terhadap beberapa tuntutan lingkungan. Ia menyebut kondisi-kondisi pada lingkungan yang menghasilkan stress, misalnya racun kimia atau temperature ekstrim, sebagai stressor. Selye mengidentifikasi tiga tahap dalam respon sistematik tubuh terhadap kondisi-kondisi penuh stress, yang diistilahkan General Adaptation syndrome (GAS).
Tahap pertama adalah alarm reaction dari system syaraf otonom, termasuk didalamnya penigkatan sekresi andrenalin, detak jantung, tekanan darah dan otot menegang. Tahap ini bisa diartikan sebagai pertahanan tubuh.
Selanjutnya ketiga, exhaustion atau kelelahan, akan terjadi kemudian apabila stressor datang secara intens dan dalam jangka waktu yang cukup lama, dan jika usaha-usaha perlawanan gagal untuk menyelesaikan secara adekuat.
Psychological stress terjadi ketika individu menjumpai kondisi lingkungan yang penuh stress sebagai ancaman yang kuat menantang atau melampaui kemampuan copingnya (Lazarus dalam Holahan,1981).sebuah secara potensi dapat terlihat sebagai suatu ancaman dan berbahaya secara potensial apabila melihat hal yang memalukan, kehilangan harga diri, kehilangan dan seterusnya.(dalam Heimstra & Mc Farling, 1978)
Hasil penelitian dari Levy dkk.(1978) ditemukan bahwa stress dapat timbul dari kondisi-kondisi yang bermacam-macam,seperti tempat kerja, dilingkungan fisik dan kondisi sosial. Stress yang timbul dari kondisi sosial bisa dari lingkungan rumah, sekolah atau pun tempat kerja.
Sumber : Prabowo, H. 1998. Pengantar Psikologi Lingkungan. Seri Diktat Kuliah. Jakarta: Penerbit Gunadarma
Pengaruh Privasi terhadap Perilaku & Privasi dalam Konteks Budaya
C.PENGARUH PRIVASI TERHADAP PERILAKU
Altman (1975) menjelaskan bahwa fungsi psikologis dari perilaku yang penting adalah untuk mengatur interaksi antara seseorang atau kelompok dengan lingkungan sosial. Bila seseorang dapat mendapatkan privasi seperti yang diinginkannya maka ia akan dapat mengatur kapan harus berhubungan dengan orang lain dan kapan harus sendiri.
Maxine Wolfe dan kawan-kawan (dalam Holahan,1982) mencatat bahwa pengelolaan hubungan interpersonal adalah pusat dari pengamatan tentang privasi dalam kehidupan sehari-hari. Menurutnya, orang yang terganggu privasinya akan merasakan keadaan yang tidak mengenakkan.
Westin (dalam Holahan,1982) mengatakan bahwa ketertupan terhadap informasi personal yang selektif, memenuhi kebutuhan individu untuk membagi kepercayaan dengan orang lain. Keterbukaan membantu individu untuk menjaga jarak psikologis yang pas dengan orang lain dalam banyak situasi.
Schwartz (dalam Holahan,1982) menemukan bahwa kemampuan untuk menarik diri kedalam privasi (privasi tinggi) dapat membantu hidup ini lebih mengenakan saat harus berurusan dengan oarng-orang yang “sulit”.sementara oleh Westin bahwa saat-saat kita mendapatkan privasi seperti yang kita inginkan. Kita dapat melakukan pelepasan emosi dari akumulasi tekanan hidup sehari-hari.
D.Privasi dalam Konteks Budaya.
Menurut Altman (1975) “ruang keluarga” didalam rumah pada rumah-rumah didaerah pinggiran Amerika Serikat umumnya dijadikan tempat untuk berinteraksi sosial dalam keluarga. Rumah-rumah disana, menggunakan ruang-ruang tertentu seperti ruang baca, ruang tidur, dan kamar mandi sebagai tempat untuk menyendiri dan tempat untuk berpikir. Dengan cara itu seseorang yang tidak memiliki cukup ruang didalam rumah dapat memperoleh privasi secara maksimal. Selama ini kita terpaku bahwa suatu desain tertentu memiliki fungsi tunggal, sebagai ruang untuk berinteraksi secara terbatas atau sebaliknya secara berlebihan, tetapi bukan untuk fungsi keduanya sekaligus. Oleh karena itu, untuk mencapai privasi yang berbeda kita harus pergi kesuatu tempat lain. Kita tidak pernah berpikir untuk memiliki ruang yang sama untuk beberapa fungsi serta dapat diubah seseuai dengan kebutuhan kita. Loginya adalah bahwa penggunaan lingkungan yang mudah diubah-ubah tersebut adalah cara agar lingkungan tersebut fleksibel terhadap perubahan kebutuhan privasi.
Sumber : Prabowo, H. 1998. Pengantar Psikologi Lingkungan. Seri Diktat Kuliah. Jakarta: Penerbit Gunadarma.
Altman (1975) menjelaskan bahwa fungsi psikologis dari perilaku yang penting adalah untuk mengatur interaksi antara seseorang atau kelompok dengan lingkungan sosial. Bila seseorang dapat mendapatkan privasi seperti yang diinginkannya maka ia akan dapat mengatur kapan harus berhubungan dengan orang lain dan kapan harus sendiri.
Maxine Wolfe dan kawan-kawan (dalam Holahan,1982) mencatat bahwa pengelolaan hubungan interpersonal adalah pusat dari pengamatan tentang privasi dalam kehidupan sehari-hari. Menurutnya, orang yang terganggu privasinya akan merasakan keadaan yang tidak mengenakkan.
Westin (dalam Holahan,1982) mengatakan bahwa ketertupan terhadap informasi personal yang selektif, memenuhi kebutuhan individu untuk membagi kepercayaan dengan orang lain. Keterbukaan membantu individu untuk menjaga jarak psikologis yang pas dengan orang lain dalam banyak situasi.
Schwartz (dalam Holahan,1982) menemukan bahwa kemampuan untuk menarik diri kedalam privasi (privasi tinggi) dapat membantu hidup ini lebih mengenakan saat harus berurusan dengan oarng-orang yang “sulit”.sementara oleh Westin bahwa saat-saat kita mendapatkan privasi seperti yang kita inginkan. Kita dapat melakukan pelepasan emosi dari akumulasi tekanan hidup sehari-hari.
D.Privasi dalam Konteks Budaya.
Menurut Altman (1975) “ruang keluarga” didalam rumah pada rumah-rumah didaerah pinggiran Amerika Serikat umumnya dijadikan tempat untuk berinteraksi sosial dalam keluarga. Rumah-rumah disana, menggunakan ruang-ruang tertentu seperti ruang baca, ruang tidur, dan kamar mandi sebagai tempat untuk menyendiri dan tempat untuk berpikir. Dengan cara itu seseorang yang tidak memiliki cukup ruang didalam rumah dapat memperoleh privasi secara maksimal. Selama ini kita terpaku bahwa suatu desain tertentu memiliki fungsi tunggal, sebagai ruang untuk berinteraksi secara terbatas atau sebaliknya secara berlebihan, tetapi bukan untuk fungsi keduanya sekaligus. Oleh karena itu, untuk mencapai privasi yang berbeda kita harus pergi kesuatu tempat lain. Kita tidak pernah berpikir untuk memiliki ruang yang sama untuk beberapa fungsi serta dapat diubah seseuai dengan kebutuhan kita. Loginya adalah bahwa penggunaan lingkungan yang mudah diubah-ubah tersebut adalah cara agar lingkungan tersebut fleksibel terhadap perubahan kebutuhan privasi.
Sumber : Prabowo, H. 1998. Pengantar Psikologi Lingkungan. Seri Diktat Kuliah. Jakarta: Penerbit Gunadarma.
PRIVASI
A.PENGERTIAN PRIVASI
Privasi merupakan tingkatan interaksi atau keterbukaan yang dikehendaki seseorang pada suatu kondisi atau situasi tertentu. Tingkatan privasi yang diinginkan itu menyangkut keterbukaan atau ketertutupan, yaitu adanya keinginan untuk berinteraksi dengan orang lain, atau justru ingin menghindar atau berusaha supaya sukar dicapai oleh orang lain (Dibyo Hartono,1986).
Rapport (dalam Soesilo,1988) mendefinisikan privasi sebagai suatu kemampuan untuk mengontrol interaksi seperti yang diinginkan. Privasi jangan dipandang hanya sebagai penarikan diri seseorang secara fisik terhadap pihak-pihak lain dalam rangka menyepi saja. Hal ini agak berbeda dengan yang dikatakan oleh Marshall (dalam Wrightman & Deaux, 1981) dan ahli-ahli lain (seperti Bates, 1964; Kira,1966 dalam Altman,1975) yang mengatakan bahwa privasi menunjukan adanya pilihan untuk menghindarkan diri dari keterlibatan dengan orang lain dan lingkungan sosilanya.
Altman (1975) menjabarkan beberapa fungsi privasi. Pertama, privasi adalah pengatur dan pengontrol interaksi personal yang berarti sejauh mana hubungan dengan orang lain diinginkan, kapan waktunya menyendiri dan kapan waktunya bersama-sama dengan orang lain. Privasi dibagi menjadi dua macam, yaitu privasi rendah yang terjadi bila hubungan dengan orang lain dikehendaki, dan privasi tinggi yang terjadi bila ingin menyendiri dan hubungan dengan orang lain dikurangi. Fungsi privasi kedua adalah merencanakan dan membuat strategi untuk berhubungan dengan orang lain, yang meliputi keintiman atau jarak dalam berhubungan dengan orang lain. Fungsi ketiga privasi adalah memeperjelas identitas diri.
Dalam hubungannya dengan orang lain, manusia memiliki referensi tingkat privasi yang diinginkannya. Ada saat-saat dimana seseorang ingin berinteraksi dengan orang lain (privasi rendah) dan ada saat-saat dimana ia ingin menyendiri dan terpisah dari orang lain (privasi tinggi). Untuk mencapai hal itu, ia akan mengontrol dan mengatur melalui suatu mekanisme perilaku, yang digambarkan oleh Altman sebagai berikut :
a). Perilaku Verbal
Perilaku ini dilakukan dengan cara mengatakan kepada orang lain secara verbal, sejauh mana orang lain boleh berhubungan dengannya. Misalnya “Maaf, saya tidak punya waktu”
b). Perilaku Non Verbal
Perilaku ini dilakukan dengan menunjukan ekspresi wajah atau gerakan tubuh tertentu sebagai tanda senang atau tidak senang. Misalnya, seseorang akan menjauh dan membentuk jarak dengan orang lain, membuang muka ataupun terus-menerus melihat waktu yang menandakan bahwa dia tidak ingin berinteraksi dengan orang lain. Sebaliknya dengan mendekati dan menghadapkan muka, tertawa, menganggukan kepala memberikan indikasi bahwa dirinya siap untuk berkomunikasi dengan orang lain.
c). Mekanisme Kultural
Budaya mempunyai bermacam-macam adat istiadat, aturan atau norma, yang menggambarkan keternbukaan atau ketutupan kepada orang lain dan hal ini sudah diketahui oleh banyak orang pada budaya tertentu (Altman, 1975; Altman & Chenners dalam Dibyo Hartono,1986).
d). Ruang Personal
Ruang personal adalah salah satu mekanisme perilaku untuk mencapai tingkat privasi tertentu. Sommer (dalam Altman,1975) mendefinisikan beberapa karakteristik ruang personal. Pertama, daerah batas diri yang diperbolehkan dimasuki oelh ornag lain. Ruang personal adalah nbtas maya yang mengelilingi individu sehingga tidak kelihatan oleh orang lain. Kedua ruang personal itu tidak berupa pagar yang tampak mengelilingi seseorang dan terletak pada satu tempat tetapi batas itu melekat pada diri dan dibawa kemana-mana, Fisher dkk. (1984), mengatakan bahwa ruang personal adalah batas maya yang mengelilingi individu. Ketiga, sama dengan privasi ruang personal adalah batas kawasan yang dinamis, yang berubah-berubah besarnya sesuai dengan waktu dan situasi.
e). Teritorialitas
Pembentukan kawasan territorial adalah mekanisme perilaku lain untuk mencapai privasi tertentu. Kalau mekanisme ruang personal tidak memperlihatkan dengan jelas kawasan yang menjadi pembatas antar dirinya dengan orang lain maka pada teritorialitas batas-batas tersebut nyata dengan tempat yang relative tetap.
B.Faktor-faktor yang mempengaruhi Privasi
Faktor Situasional. Beberapa hasil penelitian tentang privasi dalam dunia kerja, secara umum menyimpulkan bahwa kepuasan terhadap kebutuhan akan privasi sangat berhubungan dengan seberapa besar lingkungan mengijinkan orang-orang didalamnya untuk menyendiri (Gifford,1987).
Penelitian Marshall (dalam Gifford,1987) tentang privasi dalam rumah tinggal, menemukan bahwa tinggi rendahnya privasi didalam rumah antara lain disebabkan oleh seting rumah. Seting rumah disini sangat berhubungan seberapa sering para penghuni berhubungan dengan orang, jarak antar rumah dan banyaknya tetangga sekitar rumah, seseorang yang mempunyai rumah yang jauh dari tetangga dan tidak dapat melihat banyak rumah lain disekitarnya dari jendela dikatakan memiliki kepuasan akan privasi yang lebih besar.
Faktor Budaya. Penemuan dari beberapa peneliti tentang privasi dalam berbagai budaya (seperti Patterson dan Chiswick pada suku Iban di Kalimantan, Yoors pada orang Gypsy dan Geertz pada orang Jawa dan Bali) memandang bahwa pada tiap-tiap budaya tidak ditemukan adanya perbedaan dalam banyaknya privasi yang diinginkan, tetapi sangat berbeda dalam cara bagaimana mereka mendapatkan privasi (Gifford,1987). Dua buah studi tersebut antara lain akan disajikan pada alinea-alinea berikut.
Tidak terdapat keraguan bahwa perbedaan masyarakat menunjukan variasi yang besar dalam jumlah privasi yang dimiliki anggotanya. Dalam masyarakat Arab, keluarga-keluarga menginginkan tinggal didalam rumah dengan dinding yang padat dan tinggi mengelilinginya (Gifford,1987). Hasil pengamatan Gifford (1987) disuatu desa dibagian Selatan India menunjuakn bahwa semau keluarga memiliki ruamh yang sangat dekat satu sama lain, sehingga akan sangat sedikit privasi yang diperolehnya. Orang-orang desa tersebut merasa tidak betah bila terpisah dari tetangganya. Sejumlah studi menunjukan bahwa pengamatan yang dangkal seringkali menipu kita. Kebutuhan akan privasi barangkali adalah sama besarnya antara orang Arab dengan orang India
Sumber : Prabowo, H. 1998. Pengantar Psikologi Lingkungan. Seri Diktat Kuliah. Jakarta: Penerbit Gunadarma.
Privasi merupakan tingkatan interaksi atau keterbukaan yang dikehendaki seseorang pada suatu kondisi atau situasi tertentu. Tingkatan privasi yang diinginkan itu menyangkut keterbukaan atau ketertutupan, yaitu adanya keinginan untuk berinteraksi dengan orang lain, atau justru ingin menghindar atau berusaha supaya sukar dicapai oleh orang lain (Dibyo Hartono,1986).
Rapport (dalam Soesilo,1988) mendefinisikan privasi sebagai suatu kemampuan untuk mengontrol interaksi seperti yang diinginkan. Privasi jangan dipandang hanya sebagai penarikan diri seseorang secara fisik terhadap pihak-pihak lain dalam rangka menyepi saja. Hal ini agak berbeda dengan yang dikatakan oleh Marshall (dalam Wrightman & Deaux, 1981) dan ahli-ahli lain (seperti Bates, 1964; Kira,1966 dalam Altman,1975) yang mengatakan bahwa privasi menunjukan adanya pilihan untuk menghindarkan diri dari keterlibatan dengan orang lain dan lingkungan sosilanya.
Altman (1975) menjabarkan beberapa fungsi privasi. Pertama, privasi adalah pengatur dan pengontrol interaksi personal yang berarti sejauh mana hubungan dengan orang lain diinginkan, kapan waktunya menyendiri dan kapan waktunya bersama-sama dengan orang lain. Privasi dibagi menjadi dua macam, yaitu privasi rendah yang terjadi bila hubungan dengan orang lain dikehendaki, dan privasi tinggi yang terjadi bila ingin menyendiri dan hubungan dengan orang lain dikurangi. Fungsi privasi kedua adalah merencanakan dan membuat strategi untuk berhubungan dengan orang lain, yang meliputi keintiman atau jarak dalam berhubungan dengan orang lain. Fungsi ketiga privasi adalah memeperjelas identitas diri.
Dalam hubungannya dengan orang lain, manusia memiliki referensi tingkat privasi yang diinginkannya. Ada saat-saat dimana seseorang ingin berinteraksi dengan orang lain (privasi rendah) dan ada saat-saat dimana ia ingin menyendiri dan terpisah dari orang lain (privasi tinggi). Untuk mencapai hal itu, ia akan mengontrol dan mengatur melalui suatu mekanisme perilaku, yang digambarkan oleh Altman sebagai berikut :
a). Perilaku Verbal
Perilaku ini dilakukan dengan cara mengatakan kepada orang lain secara verbal, sejauh mana orang lain boleh berhubungan dengannya. Misalnya “Maaf, saya tidak punya waktu”
b). Perilaku Non Verbal
Perilaku ini dilakukan dengan menunjukan ekspresi wajah atau gerakan tubuh tertentu sebagai tanda senang atau tidak senang. Misalnya, seseorang akan menjauh dan membentuk jarak dengan orang lain, membuang muka ataupun terus-menerus melihat waktu yang menandakan bahwa dia tidak ingin berinteraksi dengan orang lain. Sebaliknya dengan mendekati dan menghadapkan muka, tertawa, menganggukan kepala memberikan indikasi bahwa dirinya siap untuk berkomunikasi dengan orang lain.
c). Mekanisme Kultural
Budaya mempunyai bermacam-macam adat istiadat, aturan atau norma, yang menggambarkan keternbukaan atau ketutupan kepada orang lain dan hal ini sudah diketahui oleh banyak orang pada budaya tertentu (Altman, 1975; Altman & Chenners dalam Dibyo Hartono,1986).
d). Ruang Personal
Ruang personal adalah salah satu mekanisme perilaku untuk mencapai tingkat privasi tertentu. Sommer (dalam Altman,1975) mendefinisikan beberapa karakteristik ruang personal. Pertama, daerah batas diri yang diperbolehkan dimasuki oelh ornag lain. Ruang personal adalah nbtas maya yang mengelilingi individu sehingga tidak kelihatan oleh orang lain. Kedua ruang personal itu tidak berupa pagar yang tampak mengelilingi seseorang dan terletak pada satu tempat tetapi batas itu melekat pada diri dan dibawa kemana-mana, Fisher dkk. (1984), mengatakan bahwa ruang personal adalah batas maya yang mengelilingi individu. Ketiga, sama dengan privasi ruang personal adalah batas kawasan yang dinamis, yang berubah-berubah besarnya sesuai dengan waktu dan situasi.
e). Teritorialitas
Pembentukan kawasan territorial adalah mekanisme perilaku lain untuk mencapai privasi tertentu. Kalau mekanisme ruang personal tidak memperlihatkan dengan jelas kawasan yang menjadi pembatas antar dirinya dengan orang lain maka pada teritorialitas batas-batas tersebut nyata dengan tempat yang relative tetap.
B.Faktor-faktor yang mempengaruhi Privasi
Faktor Situasional. Beberapa hasil penelitian tentang privasi dalam dunia kerja, secara umum menyimpulkan bahwa kepuasan terhadap kebutuhan akan privasi sangat berhubungan dengan seberapa besar lingkungan mengijinkan orang-orang didalamnya untuk menyendiri (Gifford,1987).
Penelitian Marshall (dalam Gifford,1987) tentang privasi dalam rumah tinggal, menemukan bahwa tinggi rendahnya privasi didalam rumah antara lain disebabkan oleh seting rumah. Seting rumah disini sangat berhubungan seberapa sering para penghuni berhubungan dengan orang, jarak antar rumah dan banyaknya tetangga sekitar rumah, seseorang yang mempunyai rumah yang jauh dari tetangga dan tidak dapat melihat banyak rumah lain disekitarnya dari jendela dikatakan memiliki kepuasan akan privasi yang lebih besar.
Faktor Budaya. Penemuan dari beberapa peneliti tentang privasi dalam berbagai budaya (seperti Patterson dan Chiswick pada suku Iban di Kalimantan, Yoors pada orang Gypsy dan Geertz pada orang Jawa dan Bali) memandang bahwa pada tiap-tiap budaya tidak ditemukan adanya perbedaan dalam banyaknya privasi yang diinginkan, tetapi sangat berbeda dalam cara bagaimana mereka mendapatkan privasi (Gifford,1987). Dua buah studi tersebut antara lain akan disajikan pada alinea-alinea berikut.
Tidak terdapat keraguan bahwa perbedaan masyarakat menunjukan variasi yang besar dalam jumlah privasi yang dimiliki anggotanya. Dalam masyarakat Arab, keluarga-keluarga menginginkan tinggal didalam rumah dengan dinding yang padat dan tinggi mengelilinginya (Gifford,1987). Hasil pengamatan Gifford (1987) disuatu desa dibagian Selatan India menunjuakn bahwa semau keluarga memiliki ruamh yang sangat dekat satu sama lain, sehingga akan sangat sedikit privasi yang diperolehnya. Orang-orang desa tersebut merasa tidak betah bila terpisah dari tetangganya. Sejumlah studi menunjukan bahwa pengamatan yang dangkal seringkali menipu kita. Kebutuhan akan privasi barangkali adalah sama besarnya antara orang Arab dengan orang India
Sumber : Prabowo, H. 1998. Pengantar Psikologi Lingkungan. Seri Diktat Kuliah. Jakarta: Penerbit Gunadarma.
Sabtu, 09 April 2011
TERITORIALITAS
A. Pengertian Teritorialitas
Holahan (dalam Iskandar,1990), mengungkapkan bahwa teritorialitas adalah suatu tingkah laku yang diasosiasikan pemilihan atau tempat yang ditempatinya atau area yang sering melibatkan cirri pemilikannya dan pertahanan dari serangga oranmg lain. Dengan demikian menurut Altman (1975) penghuni tempat tersebut dapat mengontrol daerahnya atau unitnya dengan benar, atau merupakan suatu territorial yang primer.
B. Elemen-elemen Teritorialitas
Menurut Lang (1987), terdapat emapat karakter dari teritorialitas, yaitu :
1. Kepemilikan atau hak dari suatu tempat.
2. Personalisasi atau penendaan dari suatu area tertentu
3. Hak untuk mempertahankan diri dari gangguan luar.
4. Pengatur dari beberapa fungsi, mulai dari bertemunya kebutuhan dasar psikologis sampai kepada kepuasan kognitif dan kebutuhan-kebutuhan estetika.
Porteus (dalam Lang,1987) mengidentifikasikan 3 kumpulan tingkat spasial yang saling terkait satu sama lain :
1. Personal space, yang telah banyak dibahs dimuka.
2. Home base, ruang-ruang yang dipertahankan secara aktif, misalnya rumah tinggal atau lingkungan rumah tinggal.
3. Home Range, setting-setting perilaku yang terbentuk dari bagian kehidupan seseorang.
Dalam usahanya membangun suatu model yang memberi perhatian secara khusus pada desain lingkungan, maka Husesein El-Sharkawy (dalam Lang,1987) mengidentifikasikan empat tipe tertori yaitu : attached, central, supporting, & peripheral.
1. Attached Teritory adalah “gelembung ruang” sebagaimana telah dibahas dalam ruang personal.
2. Central Teritory, seperti rumah seseorang, ruang kelas, ruang kerja, dimana kesemuanya itu kurang memiliki personalisasi : Oscar Newman menyebutnya “ruang Privat”
3. Supporting Teritory adalah ruang-rauang yang bersifat semi privat dan semi public pada semi privat terbentuknya ruang terjadi pada ruang duduk asrama, ruang duduk/santai di tepi kolam renang, atau araea-area pribadi pada rumah tinggal seperti pada halaman depan rumah yang berfungsi sebagai pengawasan terhadap kehadiran orang lain. Ruang-ruang semi public antara lain adalah salah satu sudut ruangan dalam took, kedai minuman. Semi privat cenderung untuk dimiliki, sedangkan semi publiktidak dimiliki oleh pemakai.
4. Peripheral Teritory adalah ruang public, yaitu area-area yang dipakai oleh individu-individu atau suatu kelompok tetapi tidak dapat memiliki dan menuntutnya.
Sementara itu, Altman membagi teritorialitas menjadi tiga, yaitu : territorial primer, territorial sekunder, dan territorial umum.
1. Teritorial Primer
Jenis teori ini dimiliki serta dipergunakan secara khusus bagi pemiliknya. Pelanggaran terhadap teori utama ini akan mengakibatkan timbulnya perlawanan dari pemiliknya dan ketidakmampuan untuk mempertahankan teori utama ini akan mengakibatkan masalahyang serius terhadap aspek psikologis pemiliknya, yaitu dalam hal harga diri dan identitasnya. Yang termasuk dalam territorial ini adalah ruang kerja, ruang tidur, pekarangan, wilayah Negara, dan sebagainya.
2. Teritori Sekunder
Jenis teori ini lebih longgar pemakaiannya dan pengontrolan oleh perorangan. Teritorial ini dapat digunakan oleh orang lain yang masih di dalam kelompok ataupun orang yang mempunyai kepentingan kepada kelompok itu. Sifat territorial sekunder adalah semi-publik. Yang termasuk dalam territorial ini adalah sirkulasi lalu lintas didalam kantor, toilet, zona servis dan sebagainya.
3. Territorial Umum
Teritorial umum dapat digunakan oleh setiap orang dengan mengikuti aturan-aturan yang lazim didalam masyarakat dimana territorial umum itu berada. Territorial umum dapat dipergunakan secara sementara dalam jangka waktu lama maupun singkat. Contoh territorial umum ini adalah taman kota, tempat duduk dalam bis kota, gedung bioskop, ruang kuliah, dan sebagainya. Berdasarkan pemakaiannya, territorial umum dapat dibagi menjadi tiga : Stalls, Turns, dan Use Space.
a. Stalls
Stalls merupakan suatu tempat yang dapat disewa atau dipergunakan dalam jangka waktu tertentu, biasanya berkisar antara jangka waktu lama dan agak lama. Contohnya adalah kamar-kamar dihotel, kamar-kamar di asrama, ruangan kerja , lapangan tenis, sampai ke bilik telepon umum. Kontrol terhadap stalls terjadi pada saat penggunaan saja dan akan berhenti pada saat penggunaan waktu habis.
b. Turns
Turns mirip dengan stalss, hanya berbeda dalam jangka waktu penggunaannya saja. Turns dipakai orang dalam waktu yang singkat, misalnya tempat antrian karcis, antrian bensin, dan sebagainya.
c. Use Space
Use space adalah teritori yang berupa ruang yang dimulai dari titik kedudukan seseorang ke titik kedudukan objek yang sedang diamati seseorang. Contohnya adalah seseorang yang sedang mengamati objek lukisan dalam suatu pameran, maka ruang antara objek lukisan dengan orang yang sedang mengamati tersebut adalah “Use Space” atau ruang terpakai yang dimiliki oleh orang itu, serta tidak dapat diganggu gugat selama orang tersebut masih mengamati lukisan tersebut.
Privasi suatu lingkungan dapat dicapai melalui pengontrolan territorial, karena di dalamnya tercakup pemenuhan kebutuhan dasar manusia yang meliputi :
1. Kebutuhan akan identitas, berkaitan dengan kebutuhan akan kepemilikan, kebutuhan terhadap aktulisasi diri, yang pada prinsipnya adalah dapat menggambarkan kedudukan serta peran seseorang dalam masyarakat.
2. Kebutuhan terhadap stimulasi yang berkaitan erat dengan aktualisasi dan pemenuhan diri
3. Kebutuhan akan rasa aman, dalam bentuk bebas kecaman, bebas dari serangan oleh dari pihak luar, dan memiliki keyakinan diri.
4. Kebutuhan yang berkaitan dengan pemeliharaan hubungan dengan pihak-pihak lain dan lingkungan sekitarnya (Lang dan Sharkawy dalam Lang,1987).
C. Teritorialitas dan Perbedaan Budaya
Suatu studi menarik dilkuakn oleh Smith (dalam Gifford,1987) yang melakukan studi tentang penggunaanpantai orang-orang Perancis dan Jerman. Studi ini yang memiliki pola yang sama dengan studi yang lebih awal dari Amerika, sebagaimana yang dilakukan oleh Edney dan Jordan-Edney (dalam Gifford,1987). Hasil dari kedua penelitian ini menunjukan bahwa pengunaan pantai antara orang Perancis, Jerman, dan Amerika membuktikan sesuatu hal yang kontras. Smith menemukan bahwa dari ketiga budaya ini memiliki persamaan dalam hal respek. Sebagai contoh, pada ketiga kelompok menurut ruang yang lebih kecil setiap orang. Kelompok dibagi berdasarkan jenis kelamin, menuntut ruang yang lebih kecil, dimana wanita menuntut ruang yang lebih kecil dibandingkan dengan pria. Sedangkan untuk respek, mereka memiliki kesulitan dengan konsep teritorialitas yang mengatakan bahwa “pantai untuk semua orang”. Orang Jerman membuat lebih banyak tanda.
Mereka seringkali menegakan penghalang benteng pasir, suatu tanda untuk menyatakan bahwa area pantai disediakan untuk antara dua hari tertentu dan merupakan tanda yang disediakan untuk kelompok tertentu. Akhirnya ukuran teritorialitas ternyata berbeda di antara ketiga budaya tersebut. Walaupun dengan bentuk yang sama. Orang Jerman lebih sering menuntut teritorialitas yang lebih besar, tetapi pada tiga budayamaupun dalam pembagian kelompok-kelompoknya menandai teritorialitas dengan suatu lingkaran yang sama. Orang Jerman lebih sering menuntut Teritori yang lebih besar sekali, tetapi dari ketiga budaya tersebut secara individu menandai territorial dalam bentuk elips dan secara kelompok dalam bentuk lingkaran.
Sumber : Prabowo, H. 1998. Pengantar Psikologi Lingkungan. Seri Diktat Kuliah. Jakarta: Penerbit Gunadarma.
Holahan (dalam Iskandar,1990), mengungkapkan bahwa teritorialitas adalah suatu tingkah laku yang diasosiasikan pemilihan atau tempat yang ditempatinya atau area yang sering melibatkan cirri pemilikannya dan pertahanan dari serangga oranmg lain. Dengan demikian menurut Altman (1975) penghuni tempat tersebut dapat mengontrol daerahnya atau unitnya dengan benar, atau merupakan suatu territorial yang primer.
B. Elemen-elemen Teritorialitas
Menurut Lang (1987), terdapat emapat karakter dari teritorialitas, yaitu :
1. Kepemilikan atau hak dari suatu tempat.
2. Personalisasi atau penendaan dari suatu area tertentu
3. Hak untuk mempertahankan diri dari gangguan luar.
4. Pengatur dari beberapa fungsi, mulai dari bertemunya kebutuhan dasar psikologis sampai kepada kepuasan kognitif dan kebutuhan-kebutuhan estetika.
Porteus (dalam Lang,1987) mengidentifikasikan 3 kumpulan tingkat spasial yang saling terkait satu sama lain :
1. Personal space, yang telah banyak dibahs dimuka.
2. Home base, ruang-ruang yang dipertahankan secara aktif, misalnya rumah tinggal atau lingkungan rumah tinggal.
3. Home Range, setting-setting perilaku yang terbentuk dari bagian kehidupan seseorang.
Dalam usahanya membangun suatu model yang memberi perhatian secara khusus pada desain lingkungan, maka Husesein El-Sharkawy (dalam Lang,1987) mengidentifikasikan empat tipe tertori yaitu : attached, central, supporting, & peripheral.
1. Attached Teritory adalah “gelembung ruang” sebagaimana telah dibahas dalam ruang personal.
2. Central Teritory, seperti rumah seseorang, ruang kelas, ruang kerja, dimana kesemuanya itu kurang memiliki personalisasi : Oscar Newman menyebutnya “ruang Privat”
3. Supporting Teritory adalah ruang-rauang yang bersifat semi privat dan semi public pada semi privat terbentuknya ruang terjadi pada ruang duduk asrama, ruang duduk/santai di tepi kolam renang, atau araea-area pribadi pada rumah tinggal seperti pada halaman depan rumah yang berfungsi sebagai pengawasan terhadap kehadiran orang lain. Ruang-ruang semi public antara lain adalah salah satu sudut ruangan dalam took, kedai minuman. Semi privat cenderung untuk dimiliki, sedangkan semi publiktidak dimiliki oleh pemakai.
4. Peripheral Teritory adalah ruang public, yaitu area-area yang dipakai oleh individu-individu atau suatu kelompok tetapi tidak dapat memiliki dan menuntutnya.
Sementara itu, Altman membagi teritorialitas menjadi tiga, yaitu : territorial primer, territorial sekunder, dan territorial umum.
1. Teritorial Primer
Jenis teori ini dimiliki serta dipergunakan secara khusus bagi pemiliknya. Pelanggaran terhadap teori utama ini akan mengakibatkan timbulnya perlawanan dari pemiliknya dan ketidakmampuan untuk mempertahankan teori utama ini akan mengakibatkan masalahyang serius terhadap aspek psikologis pemiliknya, yaitu dalam hal harga diri dan identitasnya. Yang termasuk dalam territorial ini adalah ruang kerja, ruang tidur, pekarangan, wilayah Negara, dan sebagainya.
2. Teritori Sekunder
Jenis teori ini lebih longgar pemakaiannya dan pengontrolan oleh perorangan. Teritorial ini dapat digunakan oleh orang lain yang masih di dalam kelompok ataupun orang yang mempunyai kepentingan kepada kelompok itu. Sifat territorial sekunder adalah semi-publik. Yang termasuk dalam territorial ini adalah sirkulasi lalu lintas didalam kantor, toilet, zona servis dan sebagainya.
3. Territorial Umum
Teritorial umum dapat digunakan oleh setiap orang dengan mengikuti aturan-aturan yang lazim didalam masyarakat dimana territorial umum itu berada. Territorial umum dapat dipergunakan secara sementara dalam jangka waktu lama maupun singkat. Contoh territorial umum ini adalah taman kota, tempat duduk dalam bis kota, gedung bioskop, ruang kuliah, dan sebagainya. Berdasarkan pemakaiannya, territorial umum dapat dibagi menjadi tiga : Stalls, Turns, dan Use Space.
a. Stalls
Stalls merupakan suatu tempat yang dapat disewa atau dipergunakan dalam jangka waktu tertentu, biasanya berkisar antara jangka waktu lama dan agak lama. Contohnya adalah kamar-kamar dihotel, kamar-kamar di asrama, ruangan kerja , lapangan tenis, sampai ke bilik telepon umum. Kontrol terhadap stalls terjadi pada saat penggunaan saja dan akan berhenti pada saat penggunaan waktu habis.
b. Turns
Turns mirip dengan stalss, hanya berbeda dalam jangka waktu penggunaannya saja. Turns dipakai orang dalam waktu yang singkat, misalnya tempat antrian karcis, antrian bensin, dan sebagainya.
c. Use Space
Use space adalah teritori yang berupa ruang yang dimulai dari titik kedudukan seseorang ke titik kedudukan objek yang sedang diamati seseorang. Contohnya adalah seseorang yang sedang mengamati objek lukisan dalam suatu pameran, maka ruang antara objek lukisan dengan orang yang sedang mengamati tersebut adalah “Use Space” atau ruang terpakai yang dimiliki oleh orang itu, serta tidak dapat diganggu gugat selama orang tersebut masih mengamati lukisan tersebut.
Privasi suatu lingkungan dapat dicapai melalui pengontrolan territorial, karena di dalamnya tercakup pemenuhan kebutuhan dasar manusia yang meliputi :
1. Kebutuhan akan identitas, berkaitan dengan kebutuhan akan kepemilikan, kebutuhan terhadap aktulisasi diri, yang pada prinsipnya adalah dapat menggambarkan kedudukan serta peran seseorang dalam masyarakat.
2. Kebutuhan terhadap stimulasi yang berkaitan erat dengan aktualisasi dan pemenuhan diri
3. Kebutuhan akan rasa aman, dalam bentuk bebas kecaman, bebas dari serangan oleh dari pihak luar, dan memiliki keyakinan diri.
4. Kebutuhan yang berkaitan dengan pemeliharaan hubungan dengan pihak-pihak lain dan lingkungan sekitarnya (Lang dan Sharkawy dalam Lang,1987).
C. Teritorialitas dan Perbedaan Budaya
Suatu studi menarik dilkuakn oleh Smith (dalam Gifford,1987) yang melakukan studi tentang penggunaanpantai orang-orang Perancis dan Jerman. Studi ini yang memiliki pola yang sama dengan studi yang lebih awal dari Amerika, sebagaimana yang dilakukan oleh Edney dan Jordan-Edney (dalam Gifford,1987). Hasil dari kedua penelitian ini menunjukan bahwa pengunaan pantai antara orang Perancis, Jerman, dan Amerika membuktikan sesuatu hal yang kontras. Smith menemukan bahwa dari ketiga budaya ini memiliki persamaan dalam hal respek. Sebagai contoh, pada ketiga kelompok menurut ruang yang lebih kecil setiap orang. Kelompok dibagi berdasarkan jenis kelamin, menuntut ruang yang lebih kecil, dimana wanita menuntut ruang yang lebih kecil dibandingkan dengan pria. Sedangkan untuk respek, mereka memiliki kesulitan dengan konsep teritorialitas yang mengatakan bahwa “pantai untuk semua orang”. Orang Jerman membuat lebih banyak tanda.
Mereka seringkali menegakan penghalang benteng pasir, suatu tanda untuk menyatakan bahwa area pantai disediakan untuk antara dua hari tertentu dan merupakan tanda yang disediakan untuk kelompok tertentu. Akhirnya ukuran teritorialitas ternyata berbeda di antara ketiga budaya tersebut. Walaupun dengan bentuk yang sama. Orang Jerman lebih sering menuntut teritorialitas yang lebih besar, tetapi pada tiga budayamaupun dalam pembagian kelompok-kelompoknya menandai teritorialitas dengan suatu lingkaran yang sama. Orang Jerman lebih sering menuntut Teritori yang lebih besar sekali, tetapi dari ketiga budaya tersebut secara individu menandai territorial dalam bentuk elips dan secara kelompok dalam bentuk lingkaran.
Sumber : Prabowo, H. 1998. Pengantar Psikologi Lingkungan. Seri Diktat Kuliah. Jakarta: Penerbit Gunadarma.
PERSONAL SPACE (RUANG PERSONAL)
A.Pengertian Ruang Personal
Istilah personal space pertama kali digunakan oleh Katz pada tahun 1973 dan bukan merupakan sesuatu yang unik dalam istilah psikologi, karena istilah ini juga dipakai dalam bidang biologi, antropologi, dan arsitektur (Yusuf,1991).
Selanjutnya dikatakan bahwa studi personal space merupakan tinjauan terhadap perilaku hewan dengan cara mengamati perilaku mereka berkelahi, terbang, dan jarak sosial antara yang satu dengan yang lain. Kajian ini kemudian ditransformasikan dengan cara membentuk pemabatasserta dapat pula diumpamakan semacam gelembung yang mengelilingi individu dengan individu lain.
Masalah mengenai ruang personal ini berhubungan dengan batas-batas disekeliling seseorang. Menurut Sommer (dalam Altman,1975) ruang personal adalah daerah disekeliling seseorang dengan batas-batas yang tidak jelas dimana seseorang tidak boleh memasukiny. Goffman (dalam Altman,1975) menggambarkan ruang personal sebagai jarak/daerah disekitar individu dimana jika dimasuki orang lain, menyebabkan ia merasa batasnya dilanggar, merasa tidak senang, dan kadang-kadang menarik diri.
Beberapa definisi ruang personal secara implicit berdasarkan hasil-hasil penelitian, antara lain : Pertama, ruang personal adalah batas-batas yang tidak jelas antara seseorang dengan orang lain. Kedua, ruang personal sesungguhnya berdekatan dengan diri sendiri. Ketiga, pengaturan ruang personal merupakan proses dinamis yang memungkinkan diri kita keluar darinya sebagai suatu perubahan situasi. Keempat, ketika seseorang melanggar ruang personal orang lain, maka dapat berakibat kecamasan, stress, dan bahkan pekelahian. Kelima, ruang personal berhubungan secara langsung dengan jarak-jarak antara manusia, walaupun ada tiga orientasi dari orang lain : berhadapan, saling membelakangi, dan searah.
Menurut Edward T. Hall, seorang antropolog, bahwa dalam interaksi sosial terdapat empat zona spesial yang meliputi : jarak intim, jarak personal, jarak sosial, dan jarak public. Kajian ini kemudian dikenal dengan istilah Proksemik (kedekatan) atau cara seseorang menggunakan ruang dalam berkomunikasi (dalam Altman,1975).
Jika daerah/zona ini mnyenangkan dalam suatu situasi, yaitu ketika seseorang berinteraksi dengan orang lain yang dicintainya, mungkin akan menjadi tidak menyenangkan dalam situasi ini. Misalnya, ketika orang dengan tidak sengaja terpaksa untuk masuk kedalam elevator yang penuh sesak, mereka sering kali menjadi tidak bergerak/kaku, melihat dengan gugup kepada nomor-nomor lantai. Hal ini mungkin juga sebagai tanda bahwa mereka menyadari telah saling melanggar “jarak kedekatan” (intimate distance), tetapi berusaha untuk berbuat yang terbaik untuk menghindari interaksi yang tidak pantas.
Zona yang kedua adalah personal distance (jarak pribadi), yang memiliki jarak antara 1,5-4 kaki. Jarak ini adalah karakteristik ketegangan yang biasa dipakai individu satu sama lain. Gangguan diluar jarak ini menjadi tidak menyenangkan. Jarak pribadi ini masih mengenal pembagian fase menjadi dua : fase dekat (1,5-2,5 kaki) dan fase jauh (2,5-4 kaki). Pada fase dekat masih memungkinkan banyak sekali pertukaran sentuhan, bau, pandangan, dan isyarat-isyarat lainnya, meski tidak sebanyak pada intimate distance. Otot-otot, wajah, pori-pori, dan rambut wajah, masih nampak/dapat dilihat, sama halnya pada intimate zone. Hall merasa bahwa pada fase dekat pada jarak personal ini diperuntukan bagi pasangan intim. Pada fase jauh yang meliputi jarak antara 2,5-4 kaki, jaraknya dapat memanjang sampai jarak dimana masing-masing orang dapat saling menyentuh dengan mengulurkan tangannya. Diluar jarak ini menurut Hall seseorang tidak dapat dengan mudah memegang tangan orang lain. Pada jarak ini komunikasi halus (fine grain communication) masih dapat diamati, termasuk warna rambut, tekstur kulit, dan roman muka. Isyarat suara masih banyak, namun bau dan panas tubuh kadang-kadang tidak terdeteksi jika tidak menggunakan parfum. Zona jarak pribadi adalah transisi antara kontak intim dengan tingkah laku umum yang agak formal.
Daerah ketiga adalah jarak sosial (social distance) yang mempunyai jarak antara 4-25 kaki dan merupakan jarak-jarak normal yang memungkinkan terjadinya kontak sosial yang umum serta hubungan bisnis.
B.Ruang Personal dan Perbedaan Budaya
Dalam studi budaya yang berkaitan dengan ruang personal, Hall (dalam Altman,1976) mengamati bahwa norma dan adat istiadat dari kelompok budaya dan etnik yang berbeda akan tercermin dari penggunaan ruang (space)-nya, seperti susunan perabot, konfigurasi tempat tinggal, dan orientasi yang dijaga oleh individu satu dengan individu lainnya. Hall menggambarkan secara kualitatif bagaimana anggota dari macam-macam kelompok budaya tersebut memiliki kebiasaan spasial yang berbeda. Orang Jerman lebih sensitive terhadap gangguan, memiliki gelembung ruang personal yang lebih besar, dan lebih khawatir akan pemisahan fisik ketimbang orang Amerika. Sementara itu orang Inggris merupakan orang-orang pribadi (Private people). Akan tetapi mereka mengatur jarak psikologis dengan orang lain dengan menggunakan sarana-sarana verbal dan non verbal (seperti karakter suara dan kontak mata) dibandingkan dengan sarana fisik atau lingkungan. Orang-orang Perancis berinteraksi dengan keterlibatan yang lebih dalam. Kebiasaan mereka berupa rasa estetika terhadap fashion merupakan bagian dari fungsi gaya hidup dan pengalaman.
Dalam eksperimen Waston& Graves (dalam Gfford,1987), yang mengadakan studi perbedaan budaya secara terinci, mereka menggunakan sampel kelompok siswa yang terdiri dari empat orang yang diminta datang ke laboratorium. Siswa-siswa ini diberitahu bahwa mereka akan diamati, tetapi tanpa diberi petunjuk dan perintah. Kelompok pertama terdiri dari orang-orang Arab dan kelompok lainnya terdiri dari orang Amerika. Rerata jarak interpersonal yang dipakaiorang Arab kira-kira sepanjang dari perpanjangan tangannya. Sedangkan jarak interpersonal orang Amerika terlihat lebih jauh. Orang-orang Arab menyentuh satu sama lain lebih sering dan orientasinya lebih langsung. Umumnya orang Arab lebih dekat daripada orang Amerika.
Mengikuti Hall, Watson (dalam Gifford,1987) menegaskan bahwa budaya dapat dibagi menjadi dua : budaya kontak (Amerika latin, Spanyol, dan Maroko) duduk berjauhan satu sama lain daripada siswa-siswa dari kebudayaan non kontak (yaitu Amerika). Penelitian ini dibantu oleh Shuter, yang menjelaskan adanya bahaya dalam generalisasi yang mengatakan bahwa semua orang Amerika Latin menggunakan sejumlah ruang tertentu. Orang Costa Rika menyukai jarak personal yang lebih dekat dari pada orang Panama atau Kolombia. Sussman dan Rosenfeld (dalam Gifford,1987) menemukan bahwa orang jepang menggunakan jarak personal yang lebih lebar daripada orang Amerika, yang menggunakan lebih besar daripada orang Venezuela. Akan tetapi ketika orang jepang dan Venezuela berbicara dalam bahasa Inggris, jarak percakapan mereka seperti orang Amerika. Bahasa sebagai bagian pentingdari kebudayaan dapat mengubah kecenderungan budayaseseorang untuk menggunakan jarak interpersonal yang lebih atau kurang.
Sumber : Prabowo, H. 1998. Pengantar Psikologi Lingkungan. Seri Diktat Kuliah. Jakarta: Penerbit Gunadarma.
Istilah personal space pertama kali digunakan oleh Katz pada tahun 1973 dan bukan merupakan sesuatu yang unik dalam istilah psikologi, karena istilah ini juga dipakai dalam bidang biologi, antropologi, dan arsitektur (Yusuf,1991).
Selanjutnya dikatakan bahwa studi personal space merupakan tinjauan terhadap perilaku hewan dengan cara mengamati perilaku mereka berkelahi, terbang, dan jarak sosial antara yang satu dengan yang lain. Kajian ini kemudian ditransformasikan dengan cara membentuk pemabatasserta dapat pula diumpamakan semacam gelembung yang mengelilingi individu dengan individu lain.
Masalah mengenai ruang personal ini berhubungan dengan batas-batas disekeliling seseorang. Menurut Sommer (dalam Altman,1975) ruang personal adalah daerah disekeliling seseorang dengan batas-batas yang tidak jelas dimana seseorang tidak boleh memasukiny. Goffman (dalam Altman,1975) menggambarkan ruang personal sebagai jarak/daerah disekitar individu dimana jika dimasuki orang lain, menyebabkan ia merasa batasnya dilanggar, merasa tidak senang, dan kadang-kadang menarik diri.
Beberapa definisi ruang personal secara implicit berdasarkan hasil-hasil penelitian, antara lain : Pertama, ruang personal adalah batas-batas yang tidak jelas antara seseorang dengan orang lain. Kedua, ruang personal sesungguhnya berdekatan dengan diri sendiri. Ketiga, pengaturan ruang personal merupakan proses dinamis yang memungkinkan diri kita keluar darinya sebagai suatu perubahan situasi. Keempat, ketika seseorang melanggar ruang personal orang lain, maka dapat berakibat kecamasan, stress, dan bahkan pekelahian. Kelima, ruang personal berhubungan secara langsung dengan jarak-jarak antara manusia, walaupun ada tiga orientasi dari orang lain : berhadapan, saling membelakangi, dan searah.
Menurut Edward T. Hall, seorang antropolog, bahwa dalam interaksi sosial terdapat empat zona spesial yang meliputi : jarak intim, jarak personal, jarak sosial, dan jarak public. Kajian ini kemudian dikenal dengan istilah Proksemik (kedekatan) atau cara seseorang menggunakan ruang dalam berkomunikasi (dalam Altman,1975).
Jika daerah/zona ini mnyenangkan dalam suatu situasi, yaitu ketika seseorang berinteraksi dengan orang lain yang dicintainya, mungkin akan menjadi tidak menyenangkan dalam situasi ini. Misalnya, ketika orang dengan tidak sengaja terpaksa untuk masuk kedalam elevator yang penuh sesak, mereka sering kali menjadi tidak bergerak/kaku, melihat dengan gugup kepada nomor-nomor lantai. Hal ini mungkin juga sebagai tanda bahwa mereka menyadari telah saling melanggar “jarak kedekatan” (intimate distance), tetapi berusaha untuk berbuat yang terbaik untuk menghindari interaksi yang tidak pantas.
Zona yang kedua adalah personal distance (jarak pribadi), yang memiliki jarak antara 1,5-4 kaki. Jarak ini adalah karakteristik ketegangan yang biasa dipakai individu satu sama lain. Gangguan diluar jarak ini menjadi tidak menyenangkan. Jarak pribadi ini masih mengenal pembagian fase menjadi dua : fase dekat (1,5-2,5 kaki) dan fase jauh (2,5-4 kaki). Pada fase dekat masih memungkinkan banyak sekali pertukaran sentuhan, bau, pandangan, dan isyarat-isyarat lainnya, meski tidak sebanyak pada intimate distance. Otot-otot, wajah, pori-pori, dan rambut wajah, masih nampak/dapat dilihat, sama halnya pada intimate zone. Hall merasa bahwa pada fase dekat pada jarak personal ini diperuntukan bagi pasangan intim. Pada fase jauh yang meliputi jarak antara 2,5-4 kaki, jaraknya dapat memanjang sampai jarak dimana masing-masing orang dapat saling menyentuh dengan mengulurkan tangannya. Diluar jarak ini menurut Hall seseorang tidak dapat dengan mudah memegang tangan orang lain. Pada jarak ini komunikasi halus (fine grain communication) masih dapat diamati, termasuk warna rambut, tekstur kulit, dan roman muka. Isyarat suara masih banyak, namun bau dan panas tubuh kadang-kadang tidak terdeteksi jika tidak menggunakan parfum. Zona jarak pribadi adalah transisi antara kontak intim dengan tingkah laku umum yang agak formal.
Daerah ketiga adalah jarak sosial (social distance) yang mempunyai jarak antara 4-25 kaki dan merupakan jarak-jarak normal yang memungkinkan terjadinya kontak sosial yang umum serta hubungan bisnis.
B.Ruang Personal dan Perbedaan Budaya
Dalam studi budaya yang berkaitan dengan ruang personal, Hall (dalam Altman,1976) mengamati bahwa norma dan adat istiadat dari kelompok budaya dan etnik yang berbeda akan tercermin dari penggunaan ruang (space)-nya, seperti susunan perabot, konfigurasi tempat tinggal, dan orientasi yang dijaga oleh individu satu dengan individu lainnya. Hall menggambarkan secara kualitatif bagaimana anggota dari macam-macam kelompok budaya tersebut memiliki kebiasaan spasial yang berbeda. Orang Jerman lebih sensitive terhadap gangguan, memiliki gelembung ruang personal yang lebih besar, dan lebih khawatir akan pemisahan fisik ketimbang orang Amerika. Sementara itu orang Inggris merupakan orang-orang pribadi (Private people). Akan tetapi mereka mengatur jarak psikologis dengan orang lain dengan menggunakan sarana-sarana verbal dan non verbal (seperti karakter suara dan kontak mata) dibandingkan dengan sarana fisik atau lingkungan. Orang-orang Perancis berinteraksi dengan keterlibatan yang lebih dalam. Kebiasaan mereka berupa rasa estetika terhadap fashion merupakan bagian dari fungsi gaya hidup dan pengalaman.
Dalam eksperimen Waston& Graves (dalam Gfford,1987), yang mengadakan studi perbedaan budaya secara terinci, mereka menggunakan sampel kelompok siswa yang terdiri dari empat orang yang diminta datang ke laboratorium. Siswa-siswa ini diberitahu bahwa mereka akan diamati, tetapi tanpa diberi petunjuk dan perintah. Kelompok pertama terdiri dari orang-orang Arab dan kelompok lainnya terdiri dari orang Amerika. Rerata jarak interpersonal yang dipakaiorang Arab kira-kira sepanjang dari perpanjangan tangannya. Sedangkan jarak interpersonal orang Amerika terlihat lebih jauh. Orang-orang Arab menyentuh satu sama lain lebih sering dan orientasinya lebih langsung. Umumnya orang Arab lebih dekat daripada orang Amerika.
Mengikuti Hall, Watson (dalam Gifford,1987) menegaskan bahwa budaya dapat dibagi menjadi dua : budaya kontak (Amerika latin, Spanyol, dan Maroko) duduk berjauhan satu sama lain daripada siswa-siswa dari kebudayaan non kontak (yaitu Amerika). Penelitian ini dibantu oleh Shuter, yang menjelaskan adanya bahaya dalam generalisasi yang mengatakan bahwa semua orang Amerika Latin menggunakan sejumlah ruang tertentu. Orang Costa Rika menyukai jarak personal yang lebih dekat dari pada orang Panama atau Kolombia. Sussman dan Rosenfeld (dalam Gifford,1987) menemukan bahwa orang jepang menggunakan jarak personal yang lebih lebar daripada orang Amerika, yang menggunakan lebih besar daripada orang Venezuela. Akan tetapi ketika orang jepang dan Venezuela berbicara dalam bahasa Inggris, jarak percakapan mereka seperti orang Amerika. Bahasa sebagai bagian pentingdari kebudayaan dapat mengubah kecenderungan budayaseseorang untuk menggunakan jarak interpersonal yang lebih atau kurang.
Sumber : Prabowo, H. 1998. Pengantar Psikologi Lingkungan. Seri Diktat Kuliah. Jakarta: Penerbit Gunadarma.
Senin, 28 Februari 2011
KEPADATAN
A. Pengertian Kepadatan
Kepadatan atau density ternyata mendapat perhatian yang serius dari para ahli psikologi lingkungan. Menurut Sundstrom, kepadatan adalah sejumlah manusia dalam setiap unit ruangan (dalam Wringhtsman & Deaux, 1981). Atau sejumlah individu yang berada di suatu ruangan atau wilayah tertentu dan lebih bersifat fisik (Holahan,1982; Heimstra dan Mcfarling, 1978; Stokols dalam Schmidt dan Keating,1978). Suatu keadaan akan dikatakan semakin padat bila jumlah manusia pada suatu batas ruang tertentu semakin banyak dibandingkan dengan luas ruangannya (Sarwano,1992).
Penelitian tentang kepadatan pada manusia berawal dari penelitian terhadap hewan yang dilakukan oleh John Calhoun. Penelitian Calhoun ini bertujuan untuk mengetahui dampak negative kepadatan dengan menggunakan hewan percobaan tikus. Hasil penelitian ini menunjukan adanya perilaku kanibal pada hewan tikus seiring dengan bertambahnya jumlah tikus (dalam Worchel dan Cooper, 1983)
Pertama dalam jumlah yang tidak padat (kepadatan rendah), kondisi fisik dan perilaku tikus berjalan normal. Tikus-tikus tersebut dapat melaksanakan perkawinan, membuat sarang, melahirkan, dan membesarkan anaknya seperti halnya kehidupan alamiah.
Kedua, adalah kondisi kepadatan tinggi dengan pertumbuhan populasi yang tak terkendali, ternyata memberikan dampak negative terhadap tikus-tikus tersebut. Terjadi penurunan fisik padda ginjal, otak, hati, dan jaringan kelenjar, serta penyimpangan perilaku seperti hiperaktif, homoseksual, dan kanibal.
Penelitian terhadap manusia yang pernah dilakukan oleh Bell (dalam Setiadi,1991) mencoba memerinci : bagaimana manusia merasakan dan bereaksi terhadap kepadatan yang terjadi; bagaimana dampaknya terhadap tingkah laku social; dan bagaimana dampaknya terhadap task performance (kinerja Tugas)? Hasil nya memperlihatkan ternyata banyak hal yang negative akibat dari kepadatan.
Pertama ketidak nyamanan dan kecemasan, peningkatan denyut jantung dan tekanan darah, hingga terjadi penurunan kesehatan atau peningkatan pada kelompok manusia tertentu.
Kedua, peningkatan agresifitas pada anak-anak dan orang dewasa (Mengikuti kurva linear) atau menjadi sangat menurun (berdiam diri/murung) bila kepadatan tinggi sekali Hight spatial density). Juga kehilangan minat berkomunikas, kerjasama, dan tolong menolong sesama anggota kelompok.
Ketiga, terjadi penurunan ketekunan dalam pemecahan persoalan atau pekerjaan. Juga penurunan hasil kerja terutama pada pekerjaan yang menutut hasil kerja yang kompleks.
B. Kategori kepadatan.
Menurut Altman (1975), di dalam studi sosiologi sejak tahun 1920an, variasi indicator kepadatan berhubungan dengan tingkah laku social. Variasi indicator kepadatan itu meliputi jumlah individu dalam sebuah kota, jumlah individu pada daerah sensus, jumlah individu pada unit tempat tinggal, jumlah ruangan pada unit tempat tinggal, jumlah bangunan pada lingkungan sekitar dan lain-lain. Sedangkan Jain (1987) berpendapat bahwa tingkat kepadatan penduduk akan di pengaruhi oleh unsur –unsur yaitu jumlah individu pada setiap ruang, jumlah ruang pada setiap unit ruamh tinggal, jumlah unit rumah tinggal pada setiap struktur hunian dan jumlah struktur hunian pada setiap wilayah pemukiman. Hal itu berarti bahwa setipa pemukiman memiliki tingkat kepadatan yang berbeda tergantung dari kontribusi unsure-unsur tersebut.
Kepadatan dapat dibedakan kedalam bebrapa kategori Holahan (1982) mengggolongkan kepadatan kedalam dua kategori, yaitu kepadatan spasial (Spatial density) yang terjadi bila besar atau luas ruangan diubah menjadi lebih kecil atau sempit sedangkan jumlah individu tetap, sehingga didapatkan kepadatan meningkat sejalan menurunnya besar ruang, dan kepadatan sosoial (social density) yang terjadi bila jumlah individu ditambah tanpa diiringi dengan penambahan besar atau luas ruangan sehingga didapatkan kepadatan meningkat dalam (inside density) yaitu jumlah individu yang berada dalam suatu ruang atau tempat tinggal seperti kepdatan didalam rumah, kamar, dan kepadatan luar (outside density) yaitu sejumlah individu yang berada pada suatu wilayah tertentu, seperti jumlah penduduk yang bermukim disuatu wilayah pemukiman.
C. Akibat-akibat kepadatan tinggi
Rumah dan lingkungan pemukiman akan member pengaruh psikologis pada individu yang menempatinya. Taylor (dalam Gilford,182) berpendapat bahwa lingkungan sekitar dapat merupakan sumber yang penting dalm mempengaruhi sikap, perilaku dan keadaan internal individu disuatu tempat tinggal. Rumah dan lingkungan pemukiman yang memiliki situasi dan kondisi yang baik dan nyaman seperti memiliki ruang yang cukup untuk kegiatan pribadi akan memberikan kepuasan psikis pada individu yang menempatinya. Schorr (dalam ittelson, 1974) mempercayai bahwa macam dan kualitas pemukiman dapat memberikan pengaruh penting terhadap persepsi diri penghuninya, stress dan kesehatan fisik, sehingga kondisi pemukiman ini tampaknya berpengaruh pada perilaku dan sikap-sikap orang yang tinggal disana (Ittelson, 1974). Penelitian Valins dan Baum ( dalam Heimstra dan McFarling,1978) menunjukan addanya hubungan yang erat antara kepdatan dengan interaksi social. Para mahasiswa yang bertempat tinggal diasrama yang padat sengaja mencari dan memilih tempat duduk yang jauh dari orang lain, tidak berbicara dengan orang lain yang berada di tempat yang sama. Dengan kata lain mahasiswa yang tinggal ditempat padat cenderung untuk menghindari kontak social dengan orang lain.
Penelitian terhadap kehidupan dalam penjara juga membuktikan tentang pengaruh kepadatan tempat tinggal. Penelitian D’Atri dan McCain (dalam Sears dkk, 1994) membuktiakn bahwa narapidana yang ditempatkan seorang diri di dalam sel ternyata memiliki tekanan yang lebih rendah bila dibandingkan dengan narapidana yang tinggal dalam penjara tipe asrama.
Rumah dengan luas lantai yang sempit dan terbatas apabila oleh sejumlah individu umumnya menimbulkan pengaruh negative pada penghuninya (Jain,1987). Hal ini terjadi karena dalam rumah tinggal yang terbatas umumnya individu tidak memilki ruang atau tempat yang dapat dipakai untuk kegiatan pribadi. Keterbatasan ruang memungkinkan individu sering harus bertemu dan berhubungan dengan orang lain baik secara fisik maupun verbal, sehingga individu memperoleh masukan yang berlebihan. Keadaan tersebut dapat menyebabkan individu merasa tidak mampu mengolah dan mengatur masukan yang diterima. Individu menjadi terhambat untuk memperoleh apa yang diinginkannya. Keadaan tersebut pada akhirnya menimbulkan perasaan sesak pada individu penghuni ruamh tinggal tersebut.
Kepadatan tinggi merupakan stressor lingkungan yang dapat menimbulkan kesesakan bagi individu yang berada didalamnya (Holahan,1982). Stressor lingkungan, menurut Stokols (dalam Brigham,1991), merupakan salah satu aspek lingkungan yang dapat menyebabkan stress, penyakit atau akibat-akibat negative pada perilaku masyarakat.
Akibat secara fisik yaitu reaksi fisik yang dirasakan individu seperti peningkatan detak jantung, tekanan darah, dan penyakit fisik lain (Heimstra dan McFarling,1978). Akibat secara social antara lain adanya masalah social yang terjadi dalam masyarakat seperti meningkatnya kriminalitas dan kenakalan remaja (Heimstra dan Mc Farling, 1978;Gifford,1987).
Akibat secara psikis antara lain :
a. Stress, kepadatan tinggi dapat menumbuhkan persaan negative, rasa cemas, stress (Jain,1987) dan perubahan suasana hati (Holahan,1982).
b. Menarik diri, kepadatan tinggi menyebabkan individu cenderung untuk menarik diri dan kurang mau berinteraksi dengan lingkungan sosialnya (Heimstra dan McFarling,1978;Holahan ,1982;Gifford,1987).
c. Perilaku menolong (perilaku prososial), kepadatan tinggi juga menurunkan keinginan individu untuk menolong atau member bantuan pada orang lain yang membutuhkan, terutama orang yang tidak dikenal (Holahan 1982;Fisher dkk,1984).
d. Kemampuan mengerjakan tugas, situasi padat menurunkan kemampuan individu untuk mengerjakan tugas-tugasnya pada saat tertentu (Holahan,1982).
e. Perilaku agresi, situasi padat yang di alami individu dapat menumbuhkan frustasi dan kemarahan, serta pada akhirnya akan terbentuk perilaku agresi (Heimstra dan McFarling, 1978; Holahan,1982).
D. Kepadatan dan perbedaan Budaya
Menurut Koerta (dalam Budihardjo,1991) faktor-faktor seperti ras, kebiasaan, adat istiadat, pengalaman masa silam, struktur social, dan lain-lain, akan sangat menentukan apakah kepadatan tertentu dapat menimbulkan perasaan sesak atau tidak.
Epstein (dalam Sears dkk.,1994) menemukan bahwa pengaruh kepadatan tinggi tempat tinggal tidak akan terjadi apabila penghuni mempunyai sikap kooperatif dan tingkat pengendalian tertentu. Pada suatu keluarga tampaknya tidak akan banyak mengalami kesesakan, karena mereka umumnya mampu “mengendalikan” rumah mereka dan mempunyai pola interaksi yang dapat meminimalkan timbulnya masalah tempat tinggal yang memiliki kepadatan tinggi.
Hasil penelitian Anderson (dalam Budihardjo,1991) terungkap bahwa komunitas tradisional etnis china di Hongkong, Singapura, dan Penang sudah sejak dulu terbiasa dengan kepadatan tinggi, tanpa merasa sesak. Ideologi nenek moyang mereka yang mendorong setiap keluarga agar melestarikan kehidupan lima generasi sekaligus di bahwa satu atap yang sama, telah berhasil menangkal kesesakan itu. Suara-suara bising dari anak-anak cucu justru dinilai sangat tinggi dalam kehidupan. Selain itu, atas dasar pertimbangan ekonomi, keluarga dari Negara-negara timur tidak segan-segan untuk menyewakan kamar-kamar didalam rumahnya untuk disewakan kepada orang lain, demi memperoleh penghasilan ekstra. Jadi kepadatan bukanlah penyebab stress, melainkan justru mencegahnya. Karena selain memperoleh tambahan penghasilan, mereka juga dapat memperluas persaudaraan dan interaksi social.
Gambaran lain di ungkap oleh Setiadi (1991) bahwa bangsa amerika sudah dapat merasakan dampak negative yang luar biasa pada kepadatan sekitar 1500 orang/ha, dengan terjadinya banyak penyimpangan perilaku social, pembunuhan, perkosaan dan tindak criminal lainnya. Sementara itu, di jepang dan Hongkong dengan kepadatan 5000/ha pada bagian kota-kota tertentu, ternyata kejahatan/criminal disana masih lebih rendah.
Sumber : Prabowo, H. 1998. Pengantar Psikologi Lingkungan. Seri Diktat Kuliah. Jakarta: Penerbit Gunadarma.
Kepadatan atau density ternyata mendapat perhatian yang serius dari para ahli psikologi lingkungan. Menurut Sundstrom, kepadatan adalah sejumlah manusia dalam setiap unit ruangan (dalam Wringhtsman & Deaux, 1981). Atau sejumlah individu yang berada di suatu ruangan atau wilayah tertentu dan lebih bersifat fisik (Holahan,1982; Heimstra dan Mcfarling, 1978; Stokols dalam Schmidt dan Keating,1978). Suatu keadaan akan dikatakan semakin padat bila jumlah manusia pada suatu batas ruang tertentu semakin banyak dibandingkan dengan luas ruangannya (Sarwano,1992).
Penelitian tentang kepadatan pada manusia berawal dari penelitian terhadap hewan yang dilakukan oleh John Calhoun. Penelitian Calhoun ini bertujuan untuk mengetahui dampak negative kepadatan dengan menggunakan hewan percobaan tikus. Hasil penelitian ini menunjukan adanya perilaku kanibal pada hewan tikus seiring dengan bertambahnya jumlah tikus (dalam Worchel dan Cooper, 1983)
Pertama dalam jumlah yang tidak padat (kepadatan rendah), kondisi fisik dan perilaku tikus berjalan normal. Tikus-tikus tersebut dapat melaksanakan perkawinan, membuat sarang, melahirkan, dan membesarkan anaknya seperti halnya kehidupan alamiah.
Kedua, adalah kondisi kepadatan tinggi dengan pertumbuhan populasi yang tak terkendali, ternyata memberikan dampak negative terhadap tikus-tikus tersebut. Terjadi penurunan fisik padda ginjal, otak, hati, dan jaringan kelenjar, serta penyimpangan perilaku seperti hiperaktif, homoseksual, dan kanibal.
Penelitian terhadap manusia yang pernah dilakukan oleh Bell (dalam Setiadi,1991) mencoba memerinci : bagaimana manusia merasakan dan bereaksi terhadap kepadatan yang terjadi; bagaimana dampaknya terhadap tingkah laku social; dan bagaimana dampaknya terhadap task performance (kinerja Tugas)? Hasil nya memperlihatkan ternyata banyak hal yang negative akibat dari kepadatan.
Pertama ketidak nyamanan dan kecemasan, peningkatan denyut jantung dan tekanan darah, hingga terjadi penurunan kesehatan atau peningkatan pada kelompok manusia tertentu.
Kedua, peningkatan agresifitas pada anak-anak dan orang dewasa (Mengikuti kurva linear) atau menjadi sangat menurun (berdiam diri/murung) bila kepadatan tinggi sekali Hight spatial density). Juga kehilangan minat berkomunikas, kerjasama, dan tolong menolong sesama anggota kelompok.
Ketiga, terjadi penurunan ketekunan dalam pemecahan persoalan atau pekerjaan. Juga penurunan hasil kerja terutama pada pekerjaan yang menutut hasil kerja yang kompleks.
B. Kategori kepadatan.
Menurut Altman (1975), di dalam studi sosiologi sejak tahun 1920an, variasi indicator kepadatan berhubungan dengan tingkah laku social. Variasi indicator kepadatan itu meliputi jumlah individu dalam sebuah kota, jumlah individu pada daerah sensus, jumlah individu pada unit tempat tinggal, jumlah ruangan pada unit tempat tinggal, jumlah bangunan pada lingkungan sekitar dan lain-lain. Sedangkan Jain (1987) berpendapat bahwa tingkat kepadatan penduduk akan di pengaruhi oleh unsur –unsur yaitu jumlah individu pada setiap ruang, jumlah ruang pada setiap unit ruamh tinggal, jumlah unit rumah tinggal pada setiap struktur hunian dan jumlah struktur hunian pada setiap wilayah pemukiman. Hal itu berarti bahwa setipa pemukiman memiliki tingkat kepadatan yang berbeda tergantung dari kontribusi unsure-unsur tersebut.
Kepadatan dapat dibedakan kedalam bebrapa kategori Holahan (1982) mengggolongkan kepadatan kedalam dua kategori, yaitu kepadatan spasial (Spatial density) yang terjadi bila besar atau luas ruangan diubah menjadi lebih kecil atau sempit sedangkan jumlah individu tetap, sehingga didapatkan kepadatan meningkat sejalan menurunnya besar ruang, dan kepadatan sosoial (social density) yang terjadi bila jumlah individu ditambah tanpa diiringi dengan penambahan besar atau luas ruangan sehingga didapatkan kepadatan meningkat dalam (inside density) yaitu jumlah individu yang berada dalam suatu ruang atau tempat tinggal seperti kepdatan didalam rumah, kamar, dan kepadatan luar (outside density) yaitu sejumlah individu yang berada pada suatu wilayah tertentu, seperti jumlah penduduk yang bermukim disuatu wilayah pemukiman.
C. Akibat-akibat kepadatan tinggi
Rumah dan lingkungan pemukiman akan member pengaruh psikologis pada individu yang menempatinya. Taylor (dalam Gilford,182) berpendapat bahwa lingkungan sekitar dapat merupakan sumber yang penting dalm mempengaruhi sikap, perilaku dan keadaan internal individu disuatu tempat tinggal. Rumah dan lingkungan pemukiman yang memiliki situasi dan kondisi yang baik dan nyaman seperti memiliki ruang yang cukup untuk kegiatan pribadi akan memberikan kepuasan psikis pada individu yang menempatinya. Schorr (dalam ittelson, 1974) mempercayai bahwa macam dan kualitas pemukiman dapat memberikan pengaruh penting terhadap persepsi diri penghuninya, stress dan kesehatan fisik, sehingga kondisi pemukiman ini tampaknya berpengaruh pada perilaku dan sikap-sikap orang yang tinggal disana (Ittelson, 1974). Penelitian Valins dan Baum ( dalam Heimstra dan McFarling,1978) menunjukan addanya hubungan yang erat antara kepdatan dengan interaksi social. Para mahasiswa yang bertempat tinggal diasrama yang padat sengaja mencari dan memilih tempat duduk yang jauh dari orang lain, tidak berbicara dengan orang lain yang berada di tempat yang sama. Dengan kata lain mahasiswa yang tinggal ditempat padat cenderung untuk menghindari kontak social dengan orang lain.
Penelitian terhadap kehidupan dalam penjara juga membuktikan tentang pengaruh kepadatan tempat tinggal. Penelitian D’Atri dan McCain (dalam Sears dkk, 1994) membuktiakn bahwa narapidana yang ditempatkan seorang diri di dalam sel ternyata memiliki tekanan yang lebih rendah bila dibandingkan dengan narapidana yang tinggal dalam penjara tipe asrama.
Rumah dengan luas lantai yang sempit dan terbatas apabila oleh sejumlah individu umumnya menimbulkan pengaruh negative pada penghuninya (Jain,1987). Hal ini terjadi karena dalam rumah tinggal yang terbatas umumnya individu tidak memilki ruang atau tempat yang dapat dipakai untuk kegiatan pribadi. Keterbatasan ruang memungkinkan individu sering harus bertemu dan berhubungan dengan orang lain baik secara fisik maupun verbal, sehingga individu memperoleh masukan yang berlebihan. Keadaan tersebut dapat menyebabkan individu merasa tidak mampu mengolah dan mengatur masukan yang diterima. Individu menjadi terhambat untuk memperoleh apa yang diinginkannya. Keadaan tersebut pada akhirnya menimbulkan perasaan sesak pada individu penghuni ruamh tinggal tersebut.
Kepadatan tinggi merupakan stressor lingkungan yang dapat menimbulkan kesesakan bagi individu yang berada didalamnya (Holahan,1982). Stressor lingkungan, menurut Stokols (dalam Brigham,1991), merupakan salah satu aspek lingkungan yang dapat menyebabkan stress, penyakit atau akibat-akibat negative pada perilaku masyarakat.
Akibat secara fisik yaitu reaksi fisik yang dirasakan individu seperti peningkatan detak jantung, tekanan darah, dan penyakit fisik lain (Heimstra dan McFarling,1978). Akibat secara social antara lain adanya masalah social yang terjadi dalam masyarakat seperti meningkatnya kriminalitas dan kenakalan remaja (Heimstra dan Mc Farling, 1978;Gifford,1987).
Akibat secara psikis antara lain :
a. Stress, kepadatan tinggi dapat menumbuhkan persaan negative, rasa cemas, stress (Jain,1987) dan perubahan suasana hati (Holahan,1982).
b. Menarik diri, kepadatan tinggi menyebabkan individu cenderung untuk menarik diri dan kurang mau berinteraksi dengan lingkungan sosialnya (Heimstra dan McFarling,1978;Holahan ,1982;Gifford,1987).
c. Perilaku menolong (perilaku prososial), kepadatan tinggi juga menurunkan keinginan individu untuk menolong atau member bantuan pada orang lain yang membutuhkan, terutama orang yang tidak dikenal (Holahan 1982;Fisher dkk,1984).
d. Kemampuan mengerjakan tugas, situasi padat menurunkan kemampuan individu untuk mengerjakan tugas-tugasnya pada saat tertentu (Holahan,1982).
e. Perilaku agresi, situasi padat yang di alami individu dapat menumbuhkan frustasi dan kemarahan, serta pada akhirnya akan terbentuk perilaku agresi (Heimstra dan McFarling, 1978; Holahan,1982).
D. Kepadatan dan perbedaan Budaya
Menurut Koerta (dalam Budihardjo,1991) faktor-faktor seperti ras, kebiasaan, adat istiadat, pengalaman masa silam, struktur social, dan lain-lain, akan sangat menentukan apakah kepadatan tertentu dapat menimbulkan perasaan sesak atau tidak.
Epstein (dalam Sears dkk.,1994) menemukan bahwa pengaruh kepadatan tinggi tempat tinggal tidak akan terjadi apabila penghuni mempunyai sikap kooperatif dan tingkat pengendalian tertentu. Pada suatu keluarga tampaknya tidak akan banyak mengalami kesesakan, karena mereka umumnya mampu “mengendalikan” rumah mereka dan mempunyai pola interaksi yang dapat meminimalkan timbulnya masalah tempat tinggal yang memiliki kepadatan tinggi.
Hasil penelitian Anderson (dalam Budihardjo,1991) terungkap bahwa komunitas tradisional etnis china di Hongkong, Singapura, dan Penang sudah sejak dulu terbiasa dengan kepadatan tinggi, tanpa merasa sesak. Ideologi nenek moyang mereka yang mendorong setiap keluarga agar melestarikan kehidupan lima generasi sekaligus di bahwa satu atap yang sama, telah berhasil menangkal kesesakan itu. Suara-suara bising dari anak-anak cucu justru dinilai sangat tinggi dalam kehidupan. Selain itu, atas dasar pertimbangan ekonomi, keluarga dari Negara-negara timur tidak segan-segan untuk menyewakan kamar-kamar didalam rumahnya untuk disewakan kepada orang lain, demi memperoleh penghasilan ekstra. Jadi kepadatan bukanlah penyebab stress, melainkan justru mencegahnya. Karena selain memperoleh tambahan penghasilan, mereka juga dapat memperluas persaudaraan dan interaksi social.
Gambaran lain di ungkap oleh Setiadi (1991) bahwa bangsa amerika sudah dapat merasakan dampak negative yang luar biasa pada kepadatan sekitar 1500 orang/ha, dengan terjadinya banyak penyimpangan perilaku social, pembunuhan, perkosaan dan tindak criminal lainnya. Sementara itu, di jepang dan Hongkong dengan kepadatan 5000/ha pada bagian kota-kota tertentu, ternyata kejahatan/criminal disana masih lebih rendah.
Sumber : Prabowo, H. 1998. Pengantar Psikologi Lingkungan. Seri Diktat Kuliah. Jakarta: Penerbit Gunadarma.
Rabu, 23 Februari 2011
Ambient condition & Architectural Features
A. Definisi Ambient condition
Ambient condition yaitu kualitas fisik dari keadaan yang mengelilingi individu seperti sound, cahaya/ penerangan, warna, kualitas udara, temperature, dan kelembaban.
B. Definisi Architectural Features
Architectural features yang tercangkup di dalamnya adalah seting-seting yang bersifat permanent, misalnya di dalam ruangan, yang termasuk didalamnya antara lain konfigurasi dinding, lantai, atap, serta pengaturan perabot dan dekorasi. Dalam suatu gedung architectural features meliputi layout tiap lantai, desain, dan perlakuan ruang dalam dan sebagainya.
Sumber :
elearning.gunadarma.ac.id/...psikologi_lingkungan/bab1-pendahuluan.pdf.
Ambient condition yaitu kualitas fisik dari keadaan yang mengelilingi individu seperti sound, cahaya/ penerangan, warna, kualitas udara, temperature, dan kelembaban.
B. Definisi Architectural Features
Architectural features yang tercangkup di dalamnya adalah seting-seting yang bersifat permanent, misalnya di dalam ruangan, yang termasuk didalamnya antara lain konfigurasi dinding, lantai, atap, serta pengaturan perabot dan dekorasi. Dalam suatu gedung architectural features meliputi layout tiap lantai, desain, dan perlakuan ruang dalam dan sebagainya.
Sumber :
elearning.gunadarma.ac.id/...psikologi_lingkungan/bab1-pendahuluan.pdf.
Senin, 14 Februari 2011
Teori-Teori tentang hubungan antara tingkah laku dengan lingkungan &Metode penelitian Psikologi Lingkungan
Teori-Teori tentang hubungan antara tingkah laku dengan lingkungan
Sebagaimana cabang dari suatu ilmu pengatahuan, psikologi lingkungan pun memerlukan teori-teori. Teori-teori ini diperlukan untuk menata berbagai data dan informasi yang jumlahnya besar dan sangat bervariasi sedemikian rupa sehingga para peneliti bisa memahaminya. Atas dasar itulah dapat dibuat berbagai kesimpulan, peramalan, generalisasi, pengembangan riset, atau melaksanakan usaha-usaha operasional.
Sebagai ilmu yang baru berkembang, belum banyak teori yang telah disusun oleh pakar-pakar psikologi lingkungan apalagi jika di pertimbangkan bahwa cabang ini belum mendapatkan bentuknya yang mapan. Konsep-konsep yang ada belum bisa didefeniskan dengan jelas dan hubungan antara variable-variabel belum dapat diterangkan dengan tuntas. Walaupun demikian, teori-teori yang sudah sempat tumbuh dan berkembang setidak-tidaknya dapat memberikan jawaban terhadap sebagian permasalahan yang timbul dalam psikologi lingkungan.
1. Teori stress lingkungan. Menurut teori ini, ada dua elemen dasar yang menyebabkan manusia bertingkahlaku terhadap lingkungannya. Elemen pertama adalah stressor dan elemen kedua adalah stress itu sendiri. Stressor adalah elemen lingkungan (stimuli) yang merangsang individu seperti kebisingan, suhu udara, dan kepadatan. Stress (ketegangan, tekanan jiwa) adalah hubungan antara stressor dengan reaksi yang ditimbulkan dalam diri individu.
Dalam rangka teori stress lingkungan ini ada dua pendapat mengenai stress itu. Menurut Selye (1956, dalam Bell et al, 1978:68) stress diawali dengan reaksi waspada (alarm reaction) terhadap adanya ancaman yang ditandai oleh proses tubuh secara otomatis seperti meningkatnya produksi adrenalin. Keadaan ini segera disusul yang menggigil di udara dingin atau berkeringat di udara panas.
Namun, menurut Lazarus (1966 dalam Bell et al, 1978:69) stress bukan hanya mengandung factor faal, melainkan juga melibatkan kesadaran (kognisi), khususnya dalam tingkah laku coping. Ketika individu hendak bereaksi terhadap stressor ia harus menentukan strategi dengan memilih tingkah laku, yaitu menghindar, menyerang secara fisik atau dengan kata-kata saja, dan mencari kompromi. Penetuan pilihan itu dilakukan di dalam kognisi.
2. Teori pembangkitan (arousal approach). Inti dari teori ini adalah meningkatnya (bangun, bangkit) atau berkurangnya kegiatan di otak sebagai suatu akibat dari proses faal tertentu (Hebb, 1972 dalam fisher et al, 1984:663-665). Perubahan kegiatan otak ini merupakan variable perantara (Intervening variable) antara rangsang yang datang dari lingkungan dengan tingkah lakuyang terjadi. Misalnya, seseorang datang dari desa dengan kereta api. Ketika turun di stasiun ia menghadapi berbagai stimuli seperti keramain, kebisingan, udara yang panas, dan polusi udara. Sebagai indicator bahwa pada diri orang desa itu terjadi peningkatan kegiatan pada syaraf otonom seperti bertambah cepatnya detak jantung, naiknya tekanan darah, dan produksi adrenalin yang lebih cepat.
Setelah ada tanda-tanda peningkatan kegiatan di otak itu maka dapat kita ramalkan akan terjadi perilaku tertentu seperti bertambah waspada, segera melakukan sesuatu, misalnya mencari kendaraan umum, atau menjadi agresif (marah-marah). Selanjutnya dikatakan oleh teori ini bahwa arousal yang rendahakan menghasilkan pekerjaan (performance) yang rendah pula. Makin tinggi arousalnya, makin tinggi hasil pekerjaan itu. Pada tugas-tugas yang mudah, hasilnya akan terus meningkat dengan meningkatnya arousal, tetapi pada pekerjaan-pekerjaan yang sulit, hasil pekerjaan justru akan menurun jika arousal sudah melebihi batas tertentu. Dalam psikologi lingkungan, dalam hubungan antara arousal dan performance ini dinamakan hokum Yerkes dan Dodson.
Hukum Yerkes-dodson. Pembangkitan penginderaan (arousal) melalui peningkatan rangsang, dapat meningkatan hasil kerja pada tugas-tugas yang sederhana, tetapi justru akan menggangu dan menurunkan prestasi kerja dalam tugas-tugas yang rumit. Misalnya, suara music didalam mobil bisa merangsang semangat pengemudi, tetapi suara music yang sama dapat mengganggu konsentrasi orang yang sedang memecahkan persoalan matematika. Hokum ini paling nyata efeknya jika berhubungan dengan rangsang suhu udara, kepadatan penduduk, dan suara bising (Bell et al, 1978:73). Misalnya kalau seorang sedang santai menggambar atau mencuci mobil maka bunyi radio yang memperdengarkan music rock, akan menambah semangat kerja orang itu. Makin keras musiknya, dia makin senang. Namun jika ia sedang serius membuat pekerjaan rumahnya dan kebetulan ada soal yang sulit maka setelah melalui titik tertentu, kebisingan itu dianggap menggangu dan sudah tidak menyenangkan lagi.
3. Teori kelebihan beban (environmental load theory). Teori ini dikemukakan oleh cohen (1977) dan milgram (1970) (dalam fisher et al, 1984:65-66). Prinsip dasar teori ini adalah manusia mempunyai keterbatasan dalam mengolah stimulus dari lingkungannya. Jika stimulus lebih besar dari pada kapasitas pengolahan informasi maka terjadilah kelebihan beban (overload) yang mengakibatkan sejumlah stimuli harus dia abaikan agar individu dapat memusatkan perhatiannya pada stimuli tertentu saja. Strategi pemilihan tingkah laku coping untuk memilih stimuli mana yang mau diprioritaskan atau diabaikan pada suatu waktu tertentu inilah yang menetukan reaksi positif atau negative dari individu itu terhadap lingkungannya.
4. Teori kekurangan beban (understimulation theory). Teori ini kebalikan dari teori kelebihan beban yang justru menyatakan bahwa manusia tidak akan senang jika ia tidak mendapat cukup rangsang dari lingkungannya. Zubek (69, dalam Bell et al, 1978;76) mengatakan bahwa kurangnya rangsang terhadap indera manusia menyebabkan timbulnya rasa kosong, sepi, dan cemas. Akibatnya juga bisa timbul kebosanan dan kejenuhan.
5. Teori tingkat adaptasi (adaptation level theory). Seperti sudah diuraikan diatas, manusia menyesuaikan responsnya terhadap rangsang yang datang dari luar, sedangkan stimulus pun dapat diubah sesuai dengan keperluan manusia . Wohlwill (1974, dalam Bell et al,78:78) menamankan penyesuian respons terhdap stimulus sebagai adaptasi, sedngkan penyesuian stimulus pada keadaan individu sebagai adjustment. Dalam hubungan ini dikatakan oleh Wohlwill bahwa setiap orang mempunyai tingkat adaptasi (adaptation level) tertentu terhadap rangsang atau kondisi lingkungan tertentu. Misalnya, orang Tibet mempunyai tingkat adaptasi yang sangat tinggi terhadap kadar oksigen dalam udara karena mereka biasa hidup di pegunungan yang sangat tinggi diatas permukaan laut. Untuk orang-orang biasa, berada ditempat yang kadar oksigennya rendah seperti itu tentu akan menimbulkan masalah. Dengan demikian jelaslah bahwa reaksi orang terhadap lingkungannya bergangtung pada tingkat adapts orang yang bersangkutan pada lingkungan itu. Makin jauh perbedaan antara keadaan lingkungan dengan tingkat adaptasi, makin kuat pula reaksi orang itu.
Kondisi lingkungan yang dekat atau sama dengan tingkat adaptasi adalah kondisi optimal. Orang cenderung selalu mempertahankan kondisi optimal ini, dalam skema Bell dinamakan Kondisi homeostatis. Ada tiga kategori stimulus yang dijadikan tolak ukur dalam hubungan lingkungan dan tingkah laku, yaitu stimulus fisik yang merangsang indera (suara, cahaya, suhu udara), stimulus social, dan gerakan. Untuk ketiga stimulus itu masing-masing mengandungtiga dimensi lagi, yaitu intensitas, diversitas dan pola.
6. Teori kendala tingkah laku (the behavior constraint theory). Seperti pernah diuraikan diatas, manusia pada hakikatnya ingin mempunyai kebebasan untuk menetukan sendiri tingkah lakunya. Dikatakan oleh J.Bhrem (Bell et al, 1978: 82-83) bahwa jika individu mendapat hambatan terhadap kebebasannya untuk melakukan sesuatu ia akan berusaha untuk memperoleh kebebasannya itu kembali. Reaksi untuk mendapatkan kembali kebebasan itu dinamakan Psychology reactance yang tidak selalu perlu terjadi hanya setelah individu langsung mengalami sendiri suatu situasi, tetapi juga dimungkinkan timbulnya psychological reactance berdasarkan antisipasi kemasa depan.
7. Teori psikologi ekologi. Teori ini dikemukakan oleh Barker (1968,dalam Bell et al, 1978:83-85). Kekhususannya adalah teori ini mempelajari hubungan timabl balik antara lingkungan dan tingkah laku, sedangkan teori-teori sebelumnya pada umumnya hanya memberikan perhatian pada pengaruh lingkungan terhadap tingkah laku saja. Suatu hal yang unik pada teori ini adalah adanya set tingkah laku (Behavioral setting) yang dipandang sebagai factor tersendiri. Set tingkah laku adalah pola tingkah laku kelompok (bukan tingkah laku individu) yang terjadi sebagai akibat kondisi lingkungan tertentu (phsycal milleu).
8. Teori cara berpikir. Berbeda dari teori-teori sebelumnya, teori ini justru mengkhususkan diri pada pengaruh tingkah laku pada lingkungan. H.L. Leff (1978:10-11) menyatakan bahwa ada dua macam cara orang berpikir dalam menanggapi rangsang dari lingkungan. Pertama adalah cara berpikir linier dan kedua adalah cara berpikir system. Perbedaan cara berpikir ini menyebabkan perbedaan dalam reaksi terhadpa lingkungan.
Metode penelitian Psikologi Lingkungan
Pada umumnya psikologi lingkungan menggunakan juga metode-metode yang digunakan dalam psikologi umum dan cabang-cabang psikologi lainnya. Secara garis besar ada tiga macam rancangan penelitian yang biasa digunakan dalam psikologi, yaitu rancangan eksperimental, rancangan korelasional, dan rancangan deskriptif.
Rancangan eksprimental adalah yang paling sulit diterapkan dalam psikologi lingkungan karena dalam pelakasanaannya rancangan ini mempersyaratkan agar semua variabel (faktor) di luar variabel yang sedang diteliti, dapat dikontrol oleh peneliti. Selain itu, biasanya penelitian eksperimental dilakukan dalam laboratorium. Padahal kejadian-kejadian dan gejala-gejala dalam alam seperti bencana alam, pemandangan alam, atau urbanisasi, sulit sekali dikontrol, apalagi dibawa kedalam laboratorium. Oleh karena itu, rancangan penelitian eksperimental ini hanya dapat dilakukan dalam topik-topik yang sangat terbatas saja dalam psikologi lingkungan, misalnya tentang pengaruh bising, kadar oksigen, pencahayaan, altitude (ketinggian dari permukaan laut), dan variabel-variabel lain yang bisa disimulasikan dalam laboratorium terhadap konsentrasi kerja atau daya pikir seseorang.
Rancangan kedua yang lebih banyak dilakukan dalam penelitian psikologi lingkungan adalah rancangan korelasional. Dengan rancangan ini peneliti berusaha mencari bagaimana hubungan antara satu variabel dengan variabel lainnya. Misalnya, hubungan antara musim tanam atau musim panen di pedesaan dengan mobilitas penduduk desa-kota. Atau hubungan antara kesuburan tanah di lokasi transmigrasi dengan frekuensi transmigran yang melarikan diri dari lokasi tersebut.
Rancangan ini lebih mudah dilakukan karena bisa dilakukan dengan langsung mengadakan pengamatan atau pengumpulan data di lapangan. Akan tetapi, kelemahannya adalah kadang-kadang tidak bisa diketahui dalam hubungan itu variabel mana yang merupakan penyebab dan mana yang merupakan akibat. Rancangan yang terbanyak dipakai adalah rancangan deskriptif, yaitu rancangan penelitian yang tujuannya hanya untuk menggambarkan keadaan manusia dalam suatu lingkungan tertentu dan bagaimana melakukan rekayasa atau campur tangan sehingga hubungan yang ada mengoptimalkan kondisi manusia maupunlingkungannya. Persyaratan dari rancang deskriptif ini hanyalah alat-alat pengumpul data yang valid dan reliable. Rancangan ini tidak terbatas pada laboratorium maupun waktu.
Sumber :
Sarwono, SW. 1992. Psikologi Lingkungan. Jakarta : Grasindo.
Sebagaimana cabang dari suatu ilmu pengatahuan, psikologi lingkungan pun memerlukan teori-teori. Teori-teori ini diperlukan untuk menata berbagai data dan informasi yang jumlahnya besar dan sangat bervariasi sedemikian rupa sehingga para peneliti bisa memahaminya. Atas dasar itulah dapat dibuat berbagai kesimpulan, peramalan, generalisasi, pengembangan riset, atau melaksanakan usaha-usaha operasional.
Sebagai ilmu yang baru berkembang, belum banyak teori yang telah disusun oleh pakar-pakar psikologi lingkungan apalagi jika di pertimbangkan bahwa cabang ini belum mendapatkan bentuknya yang mapan. Konsep-konsep yang ada belum bisa didefeniskan dengan jelas dan hubungan antara variable-variabel belum dapat diterangkan dengan tuntas. Walaupun demikian, teori-teori yang sudah sempat tumbuh dan berkembang setidak-tidaknya dapat memberikan jawaban terhadap sebagian permasalahan yang timbul dalam psikologi lingkungan.
1. Teori stress lingkungan. Menurut teori ini, ada dua elemen dasar yang menyebabkan manusia bertingkahlaku terhadap lingkungannya. Elemen pertama adalah stressor dan elemen kedua adalah stress itu sendiri. Stressor adalah elemen lingkungan (stimuli) yang merangsang individu seperti kebisingan, suhu udara, dan kepadatan. Stress (ketegangan, tekanan jiwa) adalah hubungan antara stressor dengan reaksi yang ditimbulkan dalam diri individu.
Dalam rangka teori stress lingkungan ini ada dua pendapat mengenai stress itu. Menurut Selye (1956, dalam Bell et al, 1978:68) stress diawali dengan reaksi waspada (alarm reaction) terhadap adanya ancaman yang ditandai oleh proses tubuh secara otomatis seperti meningkatnya produksi adrenalin. Keadaan ini segera disusul yang menggigil di udara dingin atau berkeringat di udara panas.
Namun, menurut Lazarus (1966 dalam Bell et al, 1978:69) stress bukan hanya mengandung factor faal, melainkan juga melibatkan kesadaran (kognisi), khususnya dalam tingkah laku coping. Ketika individu hendak bereaksi terhadap stressor ia harus menentukan strategi dengan memilih tingkah laku, yaitu menghindar, menyerang secara fisik atau dengan kata-kata saja, dan mencari kompromi. Penetuan pilihan itu dilakukan di dalam kognisi.
2. Teori pembangkitan (arousal approach). Inti dari teori ini adalah meningkatnya (bangun, bangkit) atau berkurangnya kegiatan di otak sebagai suatu akibat dari proses faal tertentu (Hebb, 1972 dalam fisher et al, 1984:663-665). Perubahan kegiatan otak ini merupakan variable perantara (Intervening variable) antara rangsang yang datang dari lingkungan dengan tingkah lakuyang terjadi. Misalnya, seseorang datang dari desa dengan kereta api. Ketika turun di stasiun ia menghadapi berbagai stimuli seperti keramain, kebisingan, udara yang panas, dan polusi udara. Sebagai indicator bahwa pada diri orang desa itu terjadi peningkatan kegiatan pada syaraf otonom seperti bertambah cepatnya detak jantung, naiknya tekanan darah, dan produksi adrenalin yang lebih cepat.
Setelah ada tanda-tanda peningkatan kegiatan di otak itu maka dapat kita ramalkan akan terjadi perilaku tertentu seperti bertambah waspada, segera melakukan sesuatu, misalnya mencari kendaraan umum, atau menjadi agresif (marah-marah). Selanjutnya dikatakan oleh teori ini bahwa arousal yang rendahakan menghasilkan pekerjaan (performance) yang rendah pula. Makin tinggi arousalnya, makin tinggi hasil pekerjaan itu. Pada tugas-tugas yang mudah, hasilnya akan terus meningkat dengan meningkatnya arousal, tetapi pada pekerjaan-pekerjaan yang sulit, hasil pekerjaan justru akan menurun jika arousal sudah melebihi batas tertentu. Dalam psikologi lingkungan, dalam hubungan antara arousal dan performance ini dinamakan hokum Yerkes dan Dodson.
Hukum Yerkes-dodson. Pembangkitan penginderaan (arousal) melalui peningkatan rangsang, dapat meningkatan hasil kerja pada tugas-tugas yang sederhana, tetapi justru akan menggangu dan menurunkan prestasi kerja dalam tugas-tugas yang rumit. Misalnya, suara music didalam mobil bisa merangsang semangat pengemudi, tetapi suara music yang sama dapat mengganggu konsentrasi orang yang sedang memecahkan persoalan matematika. Hokum ini paling nyata efeknya jika berhubungan dengan rangsang suhu udara, kepadatan penduduk, dan suara bising (Bell et al, 1978:73). Misalnya kalau seorang sedang santai menggambar atau mencuci mobil maka bunyi radio yang memperdengarkan music rock, akan menambah semangat kerja orang itu. Makin keras musiknya, dia makin senang. Namun jika ia sedang serius membuat pekerjaan rumahnya dan kebetulan ada soal yang sulit maka setelah melalui titik tertentu, kebisingan itu dianggap menggangu dan sudah tidak menyenangkan lagi.
3. Teori kelebihan beban (environmental load theory). Teori ini dikemukakan oleh cohen (1977) dan milgram (1970) (dalam fisher et al, 1984:65-66). Prinsip dasar teori ini adalah manusia mempunyai keterbatasan dalam mengolah stimulus dari lingkungannya. Jika stimulus lebih besar dari pada kapasitas pengolahan informasi maka terjadilah kelebihan beban (overload) yang mengakibatkan sejumlah stimuli harus dia abaikan agar individu dapat memusatkan perhatiannya pada stimuli tertentu saja. Strategi pemilihan tingkah laku coping untuk memilih stimuli mana yang mau diprioritaskan atau diabaikan pada suatu waktu tertentu inilah yang menetukan reaksi positif atau negative dari individu itu terhadap lingkungannya.
4. Teori kekurangan beban (understimulation theory). Teori ini kebalikan dari teori kelebihan beban yang justru menyatakan bahwa manusia tidak akan senang jika ia tidak mendapat cukup rangsang dari lingkungannya. Zubek (69, dalam Bell et al, 1978;76) mengatakan bahwa kurangnya rangsang terhadap indera manusia menyebabkan timbulnya rasa kosong, sepi, dan cemas. Akibatnya juga bisa timbul kebosanan dan kejenuhan.
5. Teori tingkat adaptasi (adaptation level theory). Seperti sudah diuraikan diatas, manusia menyesuaikan responsnya terhadap rangsang yang datang dari luar, sedangkan stimulus pun dapat diubah sesuai dengan keperluan manusia . Wohlwill (1974, dalam Bell et al,78:78) menamankan penyesuian respons terhdap stimulus sebagai adaptasi, sedngkan penyesuian stimulus pada keadaan individu sebagai adjustment. Dalam hubungan ini dikatakan oleh Wohlwill bahwa setiap orang mempunyai tingkat adaptasi (adaptation level) tertentu terhadap rangsang atau kondisi lingkungan tertentu. Misalnya, orang Tibet mempunyai tingkat adaptasi yang sangat tinggi terhadap kadar oksigen dalam udara karena mereka biasa hidup di pegunungan yang sangat tinggi diatas permukaan laut. Untuk orang-orang biasa, berada ditempat yang kadar oksigennya rendah seperti itu tentu akan menimbulkan masalah. Dengan demikian jelaslah bahwa reaksi orang terhadap lingkungannya bergangtung pada tingkat adapts orang yang bersangkutan pada lingkungan itu. Makin jauh perbedaan antara keadaan lingkungan dengan tingkat adaptasi, makin kuat pula reaksi orang itu.
Kondisi lingkungan yang dekat atau sama dengan tingkat adaptasi adalah kondisi optimal. Orang cenderung selalu mempertahankan kondisi optimal ini, dalam skema Bell dinamakan Kondisi homeostatis. Ada tiga kategori stimulus yang dijadikan tolak ukur dalam hubungan lingkungan dan tingkah laku, yaitu stimulus fisik yang merangsang indera (suara, cahaya, suhu udara), stimulus social, dan gerakan. Untuk ketiga stimulus itu masing-masing mengandungtiga dimensi lagi, yaitu intensitas, diversitas dan pola.
6. Teori kendala tingkah laku (the behavior constraint theory). Seperti pernah diuraikan diatas, manusia pada hakikatnya ingin mempunyai kebebasan untuk menetukan sendiri tingkah lakunya. Dikatakan oleh J.Bhrem (Bell et al, 1978: 82-83) bahwa jika individu mendapat hambatan terhadap kebebasannya untuk melakukan sesuatu ia akan berusaha untuk memperoleh kebebasannya itu kembali. Reaksi untuk mendapatkan kembali kebebasan itu dinamakan Psychology reactance yang tidak selalu perlu terjadi hanya setelah individu langsung mengalami sendiri suatu situasi, tetapi juga dimungkinkan timbulnya psychological reactance berdasarkan antisipasi kemasa depan.
7. Teori psikologi ekologi. Teori ini dikemukakan oleh Barker (1968,dalam Bell et al, 1978:83-85). Kekhususannya adalah teori ini mempelajari hubungan timabl balik antara lingkungan dan tingkah laku, sedangkan teori-teori sebelumnya pada umumnya hanya memberikan perhatian pada pengaruh lingkungan terhadap tingkah laku saja. Suatu hal yang unik pada teori ini adalah adanya set tingkah laku (Behavioral setting) yang dipandang sebagai factor tersendiri. Set tingkah laku adalah pola tingkah laku kelompok (bukan tingkah laku individu) yang terjadi sebagai akibat kondisi lingkungan tertentu (phsycal milleu).
8. Teori cara berpikir. Berbeda dari teori-teori sebelumnya, teori ini justru mengkhususkan diri pada pengaruh tingkah laku pada lingkungan. H.L. Leff (1978:10-11) menyatakan bahwa ada dua macam cara orang berpikir dalam menanggapi rangsang dari lingkungan. Pertama adalah cara berpikir linier dan kedua adalah cara berpikir system. Perbedaan cara berpikir ini menyebabkan perbedaan dalam reaksi terhadpa lingkungan.
Metode penelitian Psikologi Lingkungan
Pada umumnya psikologi lingkungan menggunakan juga metode-metode yang digunakan dalam psikologi umum dan cabang-cabang psikologi lainnya. Secara garis besar ada tiga macam rancangan penelitian yang biasa digunakan dalam psikologi, yaitu rancangan eksperimental, rancangan korelasional, dan rancangan deskriptif.
Rancangan eksprimental adalah yang paling sulit diterapkan dalam psikologi lingkungan karena dalam pelakasanaannya rancangan ini mempersyaratkan agar semua variabel (faktor) di luar variabel yang sedang diteliti, dapat dikontrol oleh peneliti. Selain itu, biasanya penelitian eksperimental dilakukan dalam laboratorium. Padahal kejadian-kejadian dan gejala-gejala dalam alam seperti bencana alam, pemandangan alam, atau urbanisasi, sulit sekali dikontrol, apalagi dibawa kedalam laboratorium. Oleh karena itu, rancangan penelitian eksperimental ini hanya dapat dilakukan dalam topik-topik yang sangat terbatas saja dalam psikologi lingkungan, misalnya tentang pengaruh bising, kadar oksigen, pencahayaan, altitude (ketinggian dari permukaan laut), dan variabel-variabel lain yang bisa disimulasikan dalam laboratorium terhadap konsentrasi kerja atau daya pikir seseorang.
Rancangan kedua yang lebih banyak dilakukan dalam penelitian psikologi lingkungan adalah rancangan korelasional. Dengan rancangan ini peneliti berusaha mencari bagaimana hubungan antara satu variabel dengan variabel lainnya. Misalnya, hubungan antara musim tanam atau musim panen di pedesaan dengan mobilitas penduduk desa-kota. Atau hubungan antara kesuburan tanah di lokasi transmigrasi dengan frekuensi transmigran yang melarikan diri dari lokasi tersebut.
Rancangan ini lebih mudah dilakukan karena bisa dilakukan dengan langsung mengadakan pengamatan atau pengumpulan data di lapangan. Akan tetapi, kelemahannya adalah kadang-kadang tidak bisa diketahui dalam hubungan itu variabel mana yang merupakan penyebab dan mana yang merupakan akibat. Rancangan yang terbanyak dipakai adalah rancangan deskriptif, yaitu rancangan penelitian yang tujuannya hanya untuk menggambarkan keadaan manusia dalam suatu lingkungan tertentu dan bagaimana melakukan rekayasa atau campur tangan sehingga hubungan yang ada mengoptimalkan kondisi manusia maupunlingkungannya. Persyaratan dari rancang deskriptif ini hanyalah alat-alat pengumpul data yang valid dan reliable. Rancangan ini tidak terbatas pada laboratorium maupun waktu.
Sumber :
Sarwono, SW. 1992. Psikologi Lingkungan. Jakarta : Grasindo.
Pengantar Psikologi Lingkungan
Pengantar
A. Latar Belakang Sejarah Psikologi Lingkungan
Kurt Lewin yang pertama kali memperkenalkan Field Theory (Teori Medan) yang merupakan salah satu langkah awal dari teori yang mempertimbangkan interaksi antara lingkungan dengan manusia. Lewin juga menhgatakan bahwa tingkah laku adalah fungsi dari kepribadian dan lingkungan, sehingga dapat diformulasikan menjadi :
T L= f(P.L)
TL = tingkah laku
f = fungsi
P = pribadi
L = lingkungan
Berdasarkan rumusan tersebut, Lewin mengajukan adanya kekuatan-kekuatan yang terjadi selama interaksi antara manusia dan lingkungan. Masing-masing komponen tersebut bergerak suatu kekuatan-kekuatan yang terjadi pada medan interaksi, yaitu daya tarik dan daya mendekat dan daya tolak dan daya menjauh.
Sebelum kita kenal istilah psikologi lingkungan yang sudah baku, semula Lewin memberikan istilah ekologi psikologi. Lalu pada tahun 1947, Roger Barker dan Herbert Wright memperkenalkan istilah setting perilaku untuk suatu unit ekologi kecil yang melingkupi perilaku manusia sehari-hari. Istilah psikologi arsitektur pertama kali diperkenalkan ketika diadakan konferensi pertama di Utah dan jurnal profesional pertama yang diterbitkan pada akhir tahun 1960-an banyak menggunakan istilah lingkungan dan perilaku. Baru pada tahun 1968, Harold Proshansky dan William Ittelson memperkenalkan program tingkat doktoral yang pertama dalam bidan psikologi lingkungan di CNUY (City University of New York) (Gifford, 1987
B. Definisi Psikologi Lingkungan
Dalam mengupayakan keinginannya ini manusia bisa melakukan hal-hal yang dalam jangka panjang atau pada akhirnya bisa merugikan dirinya sendiri. Oleh karena itu, dalam psikologi berkembang keperluan untuk mempelajari secara lebih khusus kaitan anatara tingkah laku manusia dengan lingkungannya. Cabang psikologi yang dimaksud adalah psikologi lingkungan
C. Lingkup Psikologi Lingkungan
Berdasarkan objek yang dipelajarinya, psikologi dapat dibedakan atas:
٭ Psikologi yang mempelajari manusia
٭ Psikologi yang mempelajari hewan.
Psikologi Manusia
Cakupan yang cukup luas, menyebabkan dilakukannya pengelompokkan dalam psikologi manusia.
Atas dasar tujuannya, dibedakan atas:
Psikologi Teoritis
Psikologi Praktis
Atas dasar objek yang dipelajarinya, dibedakan atas:
Psikologi Umum
Psikologi Khusus
Sumber Artikel :images.nunukmulandari.multiply.multiplycontent.com/.../Ruang%20Lingkup%20Psikologi%20(Pertemuan%202).ppt?...
elearning.gunadarma.ac.id/...psikologi_lingkungan/bab1-pendahuluan.pdf.
A. Latar Belakang Sejarah Psikologi Lingkungan
Kurt Lewin yang pertama kali memperkenalkan Field Theory (Teori Medan) yang merupakan salah satu langkah awal dari teori yang mempertimbangkan interaksi antara lingkungan dengan manusia. Lewin juga menhgatakan bahwa tingkah laku adalah fungsi dari kepribadian dan lingkungan, sehingga dapat diformulasikan menjadi :
T L= f(P.L)
TL = tingkah laku
f = fungsi
P = pribadi
L = lingkungan
Berdasarkan rumusan tersebut, Lewin mengajukan adanya kekuatan-kekuatan yang terjadi selama interaksi antara manusia dan lingkungan. Masing-masing komponen tersebut bergerak suatu kekuatan-kekuatan yang terjadi pada medan interaksi, yaitu daya tarik dan daya mendekat dan daya tolak dan daya menjauh.
Sebelum kita kenal istilah psikologi lingkungan yang sudah baku, semula Lewin memberikan istilah ekologi psikologi. Lalu pada tahun 1947, Roger Barker dan Herbert Wright memperkenalkan istilah setting perilaku untuk suatu unit ekologi kecil yang melingkupi perilaku manusia sehari-hari. Istilah psikologi arsitektur pertama kali diperkenalkan ketika diadakan konferensi pertama di Utah dan jurnal profesional pertama yang diterbitkan pada akhir tahun 1960-an banyak menggunakan istilah lingkungan dan perilaku. Baru pada tahun 1968, Harold Proshansky dan William Ittelson memperkenalkan program tingkat doktoral yang pertama dalam bidan psikologi lingkungan di CNUY (City University of New York) (Gifford, 1987
B. Definisi Psikologi Lingkungan
Dalam mengupayakan keinginannya ini manusia bisa melakukan hal-hal yang dalam jangka panjang atau pada akhirnya bisa merugikan dirinya sendiri. Oleh karena itu, dalam psikologi berkembang keperluan untuk mempelajari secara lebih khusus kaitan anatara tingkah laku manusia dengan lingkungannya. Cabang psikologi yang dimaksud adalah psikologi lingkungan
C. Lingkup Psikologi Lingkungan
Berdasarkan objek yang dipelajarinya, psikologi dapat dibedakan atas:
٭ Psikologi yang mempelajari manusia
٭ Psikologi yang mempelajari hewan.
Psikologi Manusia
Cakupan yang cukup luas, menyebabkan dilakukannya pengelompokkan dalam psikologi manusia.
Atas dasar tujuannya, dibedakan atas:
Psikologi Teoritis
Psikologi Praktis
Atas dasar objek yang dipelajarinya, dibedakan atas:
Psikologi Umum
Psikologi Khusus
Sumber Artikel :images.nunukmulandari.multiply.multiplycontent.com/.../Ruang%20Lingkup%20Psikologi%20(Pertemuan%202).ppt?...
elearning.gunadarma.ac.id/...psikologi_lingkungan/bab1-pendahuluan.pdf.
Kamis, 13 Januari 2011
Jenis-jenis Penelitian Deskriptif
Ditinjau dari jenis masalah yang diselidiki, teknik dan alat yang digunakan dalam meneliti, serta tempat dan waktu penelitian dilakukan, penelitian deskriptif dapat dibagi atas beberapa jenis, yaitu:
1. metode survei
2. metode deskriptif berkesinambungan
3. penelitian studi kasus
4. penelitian analisis pekerjaan dan aktivitas
5. penelitian tindakan
6. penelitian perpustakaan dan dokumenter
Sumber : Buku Metode Penelitian (Moh.Nazir, Ph.D)
1. metode survei
2. metode deskriptif berkesinambungan
3. penelitian studi kasus
4. penelitian analisis pekerjaan dan aktivitas
5. penelitian tindakan
6. penelitian perpustakaan dan dokumenter
Sumber : Buku Metode Penelitian (Moh.Nazir, Ph.D)
Langkah-langkah Pokok
Langkah-langkah pokok dalam penelitian sejarah sebagai berikut:
1. Definisi Masalah
2. Rumuskan tujuan penelitian
3. Rumuskan hipotesis
4. Kumpulkan data
5. Evaluasi data
6. Interpretasi dan generalisasi
7. Laporan
Sumber : Buku Metode Penelitian (Moh.Nazir, Ph.D)
1. Definisi Masalah
2. Rumuskan tujuan penelitian
3. Rumuskan hipotesis
4. Kumpulkan data
5. Evaluasi data
6. Interpretasi dan generalisasi
7. Laporan
Sumber : Buku Metode Penelitian (Moh.Nazir, Ph.D)
Kriteria Metode ilmiah
Upaya suatu metode yang digunakan dalam penelitian disebut metode ilmiah, maka metode tersebut harus mempunyai kriteria sebagai berikut:
1.berdasarkan fakta
2.bebas dari prasangka (bias)
3.menggunakan prinsip-prinsip analisis
4.menggunakan hipotesis
5.menggunakan ukuran objektif
6.menggunakan teknik kuantitatif
Sumber : Buku Metode Penelitian (Moh.Nazir,Ph.D)
1.berdasarkan fakta
2.bebas dari prasangka (bias)
3.menggunakan prinsip-prinsip analisis
4.menggunakan hipotesis
5.menggunakan ukuran objektif
6.menggunakan teknik kuantitatif
Sumber : Buku Metode Penelitian (Moh.Nazir,Ph.D)
Kebenaran Non-ilmiah
Tidak selamanya penemuan kebenaran diperoleh secara ilmiah, kadangkala kebenatan dapat ditemukan melalui proses nonilmiah, seperti:
a. penemuan kebenaran secara kebetulan
b. penemuan kebenaran secara common sense (akal sehat)
c. penemuan kebenaran melalui wahyu
d. penemuan kebenaran secara intuitif
e. penemuan kebenaran secara trial dan error
f. penemuan kebenaran melalui spekulasi
g. penemuan kebenaran karena kewibawaan
Sumber : Buku Metode Penelitian (Moh.Nazir, Ph.D)
a. penemuan kebenaran secara kebetulan
b. penemuan kebenaran secara common sense (akal sehat)
c. penemuan kebenaran melalui wahyu
d. penemuan kebenaran secara intuitif
e. penemuan kebenaran secara trial dan error
f. penemuan kebenaran melalui spekulasi
g. penemuan kebenaran karena kewibawaan
Sumber : Buku Metode Penelitian (Moh.Nazir, Ph.D)
Syarat-syarat Percobaan yang baik
Beberapa syarat-syarat harus dipenuhi oleh suatu percobaan yang memenuhi syarat. Syarat-syarat pokok anatara lain adalah sebagai berikut:
1. Percobaan harus bebas dari bias
2. Percobaan harus punya ukuran terhadap error
3. Percobaan harus punya ketetapan
4. Tujuan harus didefinisikan sejelas-jelasnya
5. Percobaan harus punya jangkauan yang cukup
Sumber : Buku Metode Penelitian (Moh. Nazir, Ph.D)
1. Percobaan harus bebas dari bias
2. Percobaan harus punya ukuran terhadap error
3. Percobaan harus punya ketetapan
4. Tujuan harus didefinisikan sejelas-jelasnya
5. Percobaan harus punya jangkauan yang cukup
Sumber : Buku Metode Penelitian (Moh. Nazir, Ph.D)
Jenis-Jenis Penelitian Sejarah
Penelitian historis banyak sekali macamnya. akan tetapi, secara umum, dapat dibagi atas empat jenis, yaitu sebagai berikut:
1. Penelitian sejarah komparatif
2. Penelitian yuridis atau legal
3. Penelitian biografis
4. Penelitian Bibliografis
Sumber : Buku Metode Penelitian (Moh.Nazir, Ph.D)
1. Penelitian sejarah komparatif
2. Penelitian yuridis atau legal
3. Penelitian biografis
4. Penelitian Bibliografis
Sumber : Buku Metode Penelitian (Moh.Nazir, Ph.D)
Penelitian
Penelitian dibagi oleh Crawford (1928) atas 14 jenis, yaitu sebagai berikutt:
1. Eksperimen
2. Sejarah
3. Psikologis
4. Case study
5. Survei
6. Membuat Kurikulum
7. Analisis Pekerjaan
8. Interview
9. Questionair
10.Observasi
11.Pengukuran
12.Statistik
13.Tabel dan Grafik
14.Teknik Perpustakaan
Sumber : Buku Metode Penelitian (Moh. Nazir, Ph.D)
1. Eksperimen
2. Sejarah
3. Psikologis
4. Case study
5. Survei
6. Membuat Kurikulum
7. Analisis Pekerjaan
8. Interview
9. Questionair
10.Observasi
11.Pengukuran
12.Statistik
13.Tabel dan Grafik
14.Teknik Perpustakaan
Sumber : Buku Metode Penelitian (Moh. Nazir, Ph.D)
Kamis, 06 Januari 2011
Potensi Primordial
Setiap manifestasi dari keempat prinsip kuantitatif terdahulu akan ditimbun di atas potensi awal individu yang bervariasi.
Sumber : Pengantar Psikologi Inteligensi (Drs. Saifuddin Azwar, MA)
Sumber : Pengantar Psikologi Inteligensi (Drs. Saifuddin Azwar, MA)
Kontrol Konatif
Intensitas kognisi dapat dikendalikan oleh konasi (motivasi).
Sumber : Pengantar Psikologi Inteligensi (Drs.Saifuddin Azwar, MA)
Sumber : Pengantar Psikologi Inteligensi (Drs.Saifuddin Azwar, MA)
Kelelahan
Terjadinya peristiwa kognitif menimbulkan kecenderungan untuk melawan terulangnya peristiwa tersebut.
Sumber : Pengantar Psikologi Inteligensi (Drs. Saifuddin Azwar, MA)
Sumber : Pengantar Psikologi Inteligensi (Drs. Saifuddin Azwar, MA)
Kekuatan Menyimpan (retentivity)
Terjadinya peristiwa kognitif menimbulkan kecenderungan untuk terulang kembali
Sumber : Pengantar Psikologi Inteligensi (Drs. Saifuddin Azwar, MA)
Sumber : Pengantar Psikologi Inteligensi (Drs. Saifuddin Azwar, MA)
Energi Mental
Setiap fikiran cenderung untuk menjaga total output kognitif simultannya dalam kuantitas yang tetap walau bagaimanapun variasi kualitatifnya.
Sumber : Pengantar Psikologi Inteligensi (Drs. Saifuddin Azwar, MA)
Sumber : Pengantar Psikologi Inteligensi (Drs. Saifuddin Azwar, MA)
Lima Prinsip Kuantitatif dalam kognisi
Spearman juga mengemukakan lima prinsip kuantitatif dalam kognisi, yaitu:
a. Energi Mental
b. Kekuatan Menyimpan
c. Kelelahan
d. Kontrol Konatif
e. Potensi Primordial
Sumber : Pengantar Psikologi Inteligensi (Drs. Saifuddin Azwar, MA)
a. Energi Mental
b. Kekuatan Menyimpan
c. Kelelahan
d. Kontrol Konatif
e. Potensi Primordial
Sumber : Pengantar Psikologi Inteligensi (Drs. Saifuddin Azwar, MA)
Definisi Inteligensi menurut Alfred Binet
Alfred Binet, seorang tokoh utama perintis pengukuran intelegensi yang hidup antara tahun 1857-1911, bersama dengan Theodore Simon mendefinisikan inteligensi sebagai terdiri atas 3 komponen, yaitu :
a. kemampuan untuk mengarahkan fikiran atau mengarahkan tindakan,
b. kemampuan untuk mengubah arah tindakan bila tindakan tersebut telah dilaksanakan, dan
c. kemampuan untuk mengeritik diri sendiri atau melakukan autocriticism
Sumber : Pengantar Psikologi Inteligensi (Drs. Saifuddin Azwar, MA)
a. kemampuan untuk mengarahkan fikiran atau mengarahkan tindakan,
b. kemampuan untuk mengubah arah tindakan bila tindakan tersebut telah dilaksanakan, dan
c. kemampuan untuk mengeritik diri sendiri atau melakukan autocriticism
Sumber : Pengantar Psikologi Inteligensi (Drs. Saifuddin Azwar, MA)
Facebook dan Gejala Autisme Sosial Remaja
Kategori Sosial
Oleh : Ubaydillah, AN
Jakarta, 05 Maret 2010
Dimanakah Bahayanya FB?
Di awal tahun 2010 ini, kita dikejutkan oleh pemberitaan miring seputar penyimpangan sejumlah remaja yang gara-garanya Facebook (FB). Seorang remaja putri di Jawa Timur, nekat lari ke Jakarta, meninggalkan orangtuanya, setelah berkenalan dengan teman baru dari Tangerang melalui FB. Kata polisi, mereka telah melakukan perbuatan yang jauh belum saatnya.
Kasus yang sama menimpa remaja A di Jawa Tengah. Setelah sering menggunakan seluler untuk FB-an, remaja itu menghilang entah kemana. Ada semakin banyak orangtua yang menggelisahakan aktivitas putra-putrinya sehabis sekolah. Mereka tidak pulang. Mereka mampir di warnet untuk FB-an.
Bahkan, di jam-jam yang mestinya mereka masuk kelas pun, mereka kedapatan nongkrong di warnet, seperti yang terjadi di Depok. Setelah dilihat apa yang mereka lakukan, ternyata isinya balik lagi ke YM dan FB. Di Lampung, 4 pelajar remaja diberhentikan dari sekolahnya karena dinilai telah menghina guru mereka melalui FB.
Berdasarkan kasus-kasus itu, muncul pro-kontra dalam masyarakat. Ada yang berpendapat, FB harus diharamkan karena madhorot-nya. Tapi, kenyataan di lapangan sepertinya kurang bisa menerima secara plong pendapat ini. Alasannya, menurut pendapat yang tidak setuju, “ Kan bukan FB-nya yang salah. Yang salah kan otak manusianya?”, begitu kira-kira.
Alasan lainnya, FB tidak otomatik memberikan madhorot. Bahkan sempat terbukti memberikan maslahat, minimalnya untuk kelompok atau orang tertentu. Katakanlah di sini dukungan untuk Pak Bibit-Chanda, dukungan untuk pulau Komodo, dan lain-lain. Malah sekarang ini, FB telah dijadikan tren menggalang dukungan.
Terlepas pro-kontra itu, tetapi faktanya FB itu sudah ada di depan mata dan nyata. Sebagai produk tehnologi, dia hanya enabler (perangkat yang membuat kita mampu), bukan creator (perangkat yang berinisiatif sendiri). Karena enabler, dia bisa berbahaya dan juga bisa bermafaat, tergantung di tangan siapa. Man behind the gun.
Autisme Sosial Remaja
Sebut saja di sini keluarga Pak Djodi yang secara ekonomi masuk di kelas menengah. Karena ayah dan ibu bekerja di luar rumah, keluarga ini punya agenda memanfaatkan waktu liburnya untuk kumpul keluarga: ayah, ibu, dan kedua anaknya yang remaja.
Tapi apa yang terjadi selama di kendaraan dan di restoran? Kedua anaknya sibuk memainkan hape untuk sms-an atau FB-an dengan temannya yang entah di mana. Walhasil, hanya kelihatannya saja itu acara keluarga. Batin anaknya tidak involve 100% di proses acara keluarga itu. Malah terkesan buru-buru ingin meninggalkan acara karena ada urusan di luar lewat hape.
Ilustrasi di atas rasa-ranya sudah bukan fiktif lagi saat ini. Itu sudah menjadi fakta. Anak-anak remaja saat ini menghadapi banyaknya pilihan dan godaan yang ditawarkan layar kaca dan dunia maya, dari mulai hape, internet, game, dan lain-lain. Mungkin, orangtuanya dulu menghadapi tantangan berupa sedikitnya pilihan dan banyaknya keterbatasan.
Pertanyaannya, tantangan manakah yang sebetulnya lebih berat? Tantangan yang kita hadapi dulu atau tantangan yang dihadapi anak-anak kita sekarang ini? Namanya tantangan, pasti sama-sama berat. Karena itu, terkadang tidak seluruhnya tepat kalau kita mengatakan kepada anak, misalnya begini: “Kan hidupmu sudah enak, tidak seperti ayah-ibu dulu?”
Layar kaca dan dunia maya adalah tantangan generasi sekarang. Jika sikap mentalnya tidak tepat, misalnya berlebihan atau disalahgunakan, akan memberikan bahaya yang ekstrimnya seperti pada kasus-kasus di atas. Bahaya lain yang kelihatannya tidak ekstrim, tetapi tidak bisa dianggap remeh adalah melumpuhnya ketrampilan sosial (autisme sosial).
Padahal itu sangat dibutuhkan bagi kehidupannya di alam nyata, di sekolah, di tempat kerja, di keluarga, di masyarakat, dan seterusnya. Beberapa gejala kelumpuhan sosial yang perlu kita amati itu antara lain:
§ Rendahnya kemampuan bertatakrama, tatasusila dan etika dalam berkomunikasi.
§ Rendahnya kemampuan membaca bahasa batin dalam berkomunikasi
§ Melemahnya kepekaan terhadap kenyataan sehingga tidak mampu menyelami “What is happening” dan “What to do”
§ Membudayanya berpikir yang serba tehnik dalam menghadapi hidup karena terbiasa menghadapi tehnologi sehingga kurang bisa “soft” atau bijak
§ Rendahnya kemampuan menyelesaikan konflik dalam interaksi
Itu semua akan terjadi apabila penggunaan layar kaca dan dunia maya berlebihan atau tidak berkonsep, misalnya hanya untuk hahak-huhuk atau hanya karena desakan tren dan distraksi (gangguan pengembangan-diri) yang jauh dari sesuatu yang important (penting) atau priority (sangat penting).
Lain soal kalau digunakan untuk menjalankan konsep, seperti mahasiswa di Malang yang berhasil menciptakan game kelas internasional karena sering di warnet dekat rumahnya. Atau juga untuk mengkaji dan menambah pengetahuan, seperti yang dilakukan anak MAN di Bandung yang ilmunya lebih bagus dari gurunya gara-gara internet.
Pentingnya Interaksi Langsung
Sejak zaman dulu, peradaban manusia telah menawarkan berbagai cara untuk berkomunikasi, tidak selalu langsung berhadapan dan bergesekan. Misalnya saja surat-menyurat yang sudah dikenal sejak dula kala. Kemudian muncul tehnologi dengan menggunakan telepon. Dan kini muncul yang lebih canggih, chating atau FB.
Ada fakta menarik yang kerap luput dari kesadaran kita bahwa meski kemajuan zaman itu menawarkan sekian cara berkomunikasi, tetapi untuk kepentingan learning (mendewasakan manusia), belum ada yang bisa menggantikan atau mengungguli peranan komunikasi langsung (interaksi).
Malah kalau menurut laporan riset mengenai social learning (belajar dengan melihat orang lain), ternyata pengaruh interaksi melebihi pengajaran di kelas, seminar, atau belajar dari internet, terutama untuk pembelajaran perilaku. Adapun untuk menambah pengetahuan (pembelajaran intelektual) memang sekolah tidak ada duanya.
Kalau logika ini kita kaitkan dengan masalah yang mengancam kemampuan sosial remaja di atas, maka beberapa poin penting yang perlu kita sadari adalah:
§ Semakin berlebihan dia berinteraksi dengan kaca dan maya, akan semakin berkurang kesempatannya untuk belajar bertatakrama, tatasusila dan beretika. Dunia maya hanya mengajarkan apa yang ditulis. Soal tatakrama, tentu sangat minim. Seorang mahasiswa yang kebetulan asyik sms-an lalu menabrak dosennya, mungkin hanya akan bilang sori, dengan muka yang biasa-biasa. Padahal, secara tatakramanya mestinya tidak begitu.
§ Semakin berlebihan dia berinteraksi dengan kaca dan maya, akan semakin sedikit kesempatannya membaca suara batin orang lain. Kemampuan membaca suara yang tidak terdengar dalam komunikasi hanya bisa digali dari interaksi langsung. Menurut Peter Drucker dan juga praktek hidup yang kita alami, kemampuan membaca menjadi kunci dan tertinggi kualitasnya.
§ Semakin berlebihan dia berinteraksi dengan kaca dan maya, akan semakin kecil kesempatannya untuk merasakan dan menangkap apa yang terjadi nyata di sekelilingnya, seperti pada kasus ilustrasi keluarga Pak Djodi di atas. Atau juga bisa menjadikan FB sebagai pelampiasan mengatasi rasa malu dengan cara melarikan diri dari realitas, bukan work on reality.
§ Semakin berlebihan dia berinteraksi dengan kaca dan maya, akan semakin kecil kesempatannya untuk menggunakan pikirannya bagaimana berkreasi secara kreatif menghadapi konflik dalam praktek hubungan. Di dunia maya, begitu kita tidak cocok dengan seseorang, tulis aja atau delete aja. Tapi, dalam praktek hidup, itu tidak bisa.
Kalau dilihat dari konsep pendidikannya, dunia maya dan layar kaca pun dibutuhkan dalam mendewasakan manusia. Tetapi, jangan sampai itu menggantikan interaksi langsung, kecuali untuk ruang dan jarak yang tak bisa ditembus. Kenapa?
Dunia maya dan layar kaca hanya sampai pada memberi sumbangan dalam bentuk data, informasi, dan pengetahuan. Untuk praktek hidup, ini perlu ditambah lagi dengan wisdom. Darimana ini digali? Wisdom digali dari praktek, dari interaksi, dari konflik, dari gesekan, dan dari pemaknaan.
“DATA – INFORMATION – KNOWLEDGE – WISDOM”
Manajemen Layak Kaca & Maya Di Sekolah Dan Rumah
Akhirnya, mau tidak mau, kita harus berurusan dengan manajemen (pengaturan dan pengelolaan) untuk anak-anak kita yang sedang gandrung-gandrungnya FB dan Hape. Cara yang paling simpel, namun biasanya kurang ngefek itu adalah yang ekstrim, misalnya melarang atau membiarkan.
Ini karena pada setiap perkembangan manusia itu memunculkan watak ganda. Pada remaja, satu sisi dia harus tahu perkembangan zaman dan terlibat di dalamnya agar dia bisa bersikap. Kalau kita memaksa dia harus seperti kita, mungkin dia akan manjadi manusia terkuno di zamannya nanti.
Tetapi di sisi lain, konsistensi dia dalam memegangi ajaran moral dan mental itu masih labil, belum terkonstruksi secara kuat, layaknya orang dewasa. Karena itu, memberi cek kosong kepercayaan pada remaja, seringkali membuahkan penyesalan di kemudian hari.
Nah, manajemen di sini berguna untuk bagaimana kita tetap memberi kesempatan kepada mereka terlibat dalam perkembangan zaman, namun tidak sampai termakan oleh asumsi bahwa anak kita pasti sudah bisa menjaga dirinya sehingga kita terlalu membiarkan.
Agar manajemen ini bekerja, tentu dibutuhkan aksi, entah itu sosialisasi pemahaman, regulasi penggunaan, atau antisipasi penyalahgunaan. Untuk tehniknya, pasti kita punya cara sendiri yang lebih membumi. Hanya, secara umum, tehnik yang bisa kita acu itu antara lain:
§ Memberi bekal pengetahuan dan penyadaran mengenai hebatnya tehnologi dan potensi bahaya yang bisa ditimbulkannya. Anak kita sudah tahu itu, tetapi ucapan kita tetap diperlukan
§ Mengorek sikap anak terhadap kasus-kasus remaja terutama yang ditudingkan ke FB untuk memperkuat konstruksi sikapnya dalam menghadapi hidup
§ Beradu kompetisi untuk menemukan data, informasi, dan pengetahuan melalui internet dengan anak atau minimalnya belajar dari anak atau belajar bersama dia.
§ Perlu memonitor apa yang dilakukan anak selama berinteraksi dengan hape atau FB untuk memberikan ide-ide evaluasi konstruktif (membangun).
§ Perlu untuk tidak memberikan privacy yang berlebihan pada anak, misalnya kamarnya dikunci, di lantai II, bebas main internet tanpa pantauan, sms-an sampai tengah malam, pulang sekolah seenaknya, dan seterusnya.
§ Tetap memberi ruang untuk berinteraksi dengan kita secara nyata, face-to-face, dan real life agar terjadi gesekan, social learning, dan dinamika.
Yang Baik Pun Kalau Berlebihan Menjadi Kurang
Sampai pun kita tahu bahwa anak kita menggunakan internet itu untuk kebaikan, namun kalau berlebihan, misalnya berjam-jam di depan komputer, itu bisa menjadi kekurangan buat dia. Membaca buku itu sangat bagus, tetapi kalau berlebihan, terkadang menciptakan kekurangan, misalnya tidak bisa ngomong secara flow (mengalir), kurang tahan menghadapi kenyataan, atau keseimbangan fisiknya kurang.
Selama masih usia remaja, akan lebih bagus kalau dia merasakan berbagai pengalaman hidup, lebih-lebih pengalaman yang sedang ngetren di zamannya, namun tetap kita arahkan untuk memfokusi beberapa bidang yang nantinya berguna untuk dia, sambil bekerjasama untuk memantangkan mental dan moralnya.
Semoga bermanfaat.
Sumber Artikel : http://www.e-psikologi.com/epsi/sosial.asp
Oleh : Ubaydillah, AN
Jakarta, 05 Maret 2010
Dimanakah Bahayanya FB?
Di awal tahun 2010 ini, kita dikejutkan oleh pemberitaan miring seputar penyimpangan sejumlah remaja yang gara-garanya Facebook (FB). Seorang remaja putri di Jawa Timur, nekat lari ke Jakarta, meninggalkan orangtuanya, setelah berkenalan dengan teman baru dari Tangerang melalui FB. Kata polisi, mereka telah melakukan perbuatan yang jauh belum saatnya.
Kasus yang sama menimpa remaja A di Jawa Tengah. Setelah sering menggunakan seluler untuk FB-an, remaja itu menghilang entah kemana. Ada semakin banyak orangtua yang menggelisahakan aktivitas putra-putrinya sehabis sekolah. Mereka tidak pulang. Mereka mampir di warnet untuk FB-an.
Bahkan, di jam-jam yang mestinya mereka masuk kelas pun, mereka kedapatan nongkrong di warnet, seperti yang terjadi di Depok. Setelah dilihat apa yang mereka lakukan, ternyata isinya balik lagi ke YM dan FB. Di Lampung, 4 pelajar remaja diberhentikan dari sekolahnya karena dinilai telah menghina guru mereka melalui FB.
Berdasarkan kasus-kasus itu, muncul pro-kontra dalam masyarakat. Ada yang berpendapat, FB harus diharamkan karena madhorot-nya. Tapi, kenyataan di lapangan sepertinya kurang bisa menerima secara plong pendapat ini. Alasannya, menurut pendapat yang tidak setuju, “ Kan bukan FB-nya yang salah. Yang salah kan otak manusianya?”, begitu kira-kira.
Alasan lainnya, FB tidak otomatik memberikan madhorot. Bahkan sempat terbukti memberikan maslahat, minimalnya untuk kelompok atau orang tertentu. Katakanlah di sini dukungan untuk Pak Bibit-Chanda, dukungan untuk pulau Komodo, dan lain-lain. Malah sekarang ini, FB telah dijadikan tren menggalang dukungan.
Terlepas pro-kontra itu, tetapi faktanya FB itu sudah ada di depan mata dan nyata. Sebagai produk tehnologi, dia hanya enabler (perangkat yang membuat kita mampu), bukan creator (perangkat yang berinisiatif sendiri). Karena enabler, dia bisa berbahaya dan juga bisa bermafaat, tergantung di tangan siapa. Man behind the gun.
Autisme Sosial Remaja
Sebut saja di sini keluarga Pak Djodi yang secara ekonomi masuk di kelas menengah. Karena ayah dan ibu bekerja di luar rumah, keluarga ini punya agenda memanfaatkan waktu liburnya untuk kumpul keluarga: ayah, ibu, dan kedua anaknya yang remaja.
Tapi apa yang terjadi selama di kendaraan dan di restoran? Kedua anaknya sibuk memainkan hape untuk sms-an atau FB-an dengan temannya yang entah di mana. Walhasil, hanya kelihatannya saja itu acara keluarga. Batin anaknya tidak involve 100% di proses acara keluarga itu. Malah terkesan buru-buru ingin meninggalkan acara karena ada urusan di luar lewat hape.
Ilustrasi di atas rasa-ranya sudah bukan fiktif lagi saat ini. Itu sudah menjadi fakta. Anak-anak remaja saat ini menghadapi banyaknya pilihan dan godaan yang ditawarkan layar kaca dan dunia maya, dari mulai hape, internet, game, dan lain-lain. Mungkin, orangtuanya dulu menghadapi tantangan berupa sedikitnya pilihan dan banyaknya keterbatasan.
Pertanyaannya, tantangan manakah yang sebetulnya lebih berat? Tantangan yang kita hadapi dulu atau tantangan yang dihadapi anak-anak kita sekarang ini? Namanya tantangan, pasti sama-sama berat. Karena itu, terkadang tidak seluruhnya tepat kalau kita mengatakan kepada anak, misalnya begini: “Kan hidupmu sudah enak, tidak seperti ayah-ibu dulu?”
Layar kaca dan dunia maya adalah tantangan generasi sekarang. Jika sikap mentalnya tidak tepat, misalnya berlebihan atau disalahgunakan, akan memberikan bahaya yang ekstrimnya seperti pada kasus-kasus di atas. Bahaya lain yang kelihatannya tidak ekstrim, tetapi tidak bisa dianggap remeh adalah melumpuhnya ketrampilan sosial (autisme sosial).
Padahal itu sangat dibutuhkan bagi kehidupannya di alam nyata, di sekolah, di tempat kerja, di keluarga, di masyarakat, dan seterusnya. Beberapa gejala kelumpuhan sosial yang perlu kita amati itu antara lain:
§ Rendahnya kemampuan bertatakrama, tatasusila dan etika dalam berkomunikasi.
§ Rendahnya kemampuan membaca bahasa batin dalam berkomunikasi
§ Melemahnya kepekaan terhadap kenyataan sehingga tidak mampu menyelami “What is happening” dan “What to do”
§ Membudayanya berpikir yang serba tehnik dalam menghadapi hidup karena terbiasa menghadapi tehnologi sehingga kurang bisa “soft” atau bijak
§ Rendahnya kemampuan menyelesaikan konflik dalam interaksi
Itu semua akan terjadi apabila penggunaan layar kaca dan dunia maya berlebihan atau tidak berkonsep, misalnya hanya untuk hahak-huhuk atau hanya karena desakan tren dan distraksi (gangguan pengembangan-diri) yang jauh dari sesuatu yang important (penting) atau priority (sangat penting).
Lain soal kalau digunakan untuk menjalankan konsep, seperti mahasiswa di Malang yang berhasil menciptakan game kelas internasional karena sering di warnet dekat rumahnya. Atau juga untuk mengkaji dan menambah pengetahuan, seperti yang dilakukan anak MAN di Bandung yang ilmunya lebih bagus dari gurunya gara-gara internet.
Pentingnya Interaksi Langsung
Sejak zaman dulu, peradaban manusia telah menawarkan berbagai cara untuk berkomunikasi, tidak selalu langsung berhadapan dan bergesekan. Misalnya saja surat-menyurat yang sudah dikenal sejak dula kala. Kemudian muncul tehnologi dengan menggunakan telepon. Dan kini muncul yang lebih canggih, chating atau FB.
Ada fakta menarik yang kerap luput dari kesadaran kita bahwa meski kemajuan zaman itu menawarkan sekian cara berkomunikasi, tetapi untuk kepentingan learning (mendewasakan manusia), belum ada yang bisa menggantikan atau mengungguli peranan komunikasi langsung (interaksi).
Malah kalau menurut laporan riset mengenai social learning (belajar dengan melihat orang lain), ternyata pengaruh interaksi melebihi pengajaran di kelas, seminar, atau belajar dari internet, terutama untuk pembelajaran perilaku. Adapun untuk menambah pengetahuan (pembelajaran intelektual) memang sekolah tidak ada duanya.
Kalau logika ini kita kaitkan dengan masalah yang mengancam kemampuan sosial remaja di atas, maka beberapa poin penting yang perlu kita sadari adalah:
§ Semakin berlebihan dia berinteraksi dengan kaca dan maya, akan semakin berkurang kesempatannya untuk belajar bertatakrama, tatasusila dan beretika. Dunia maya hanya mengajarkan apa yang ditulis. Soal tatakrama, tentu sangat minim. Seorang mahasiswa yang kebetulan asyik sms-an lalu menabrak dosennya, mungkin hanya akan bilang sori, dengan muka yang biasa-biasa. Padahal, secara tatakramanya mestinya tidak begitu.
§ Semakin berlebihan dia berinteraksi dengan kaca dan maya, akan semakin sedikit kesempatannya membaca suara batin orang lain. Kemampuan membaca suara yang tidak terdengar dalam komunikasi hanya bisa digali dari interaksi langsung. Menurut Peter Drucker dan juga praktek hidup yang kita alami, kemampuan membaca menjadi kunci dan tertinggi kualitasnya.
§ Semakin berlebihan dia berinteraksi dengan kaca dan maya, akan semakin kecil kesempatannya untuk merasakan dan menangkap apa yang terjadi nyata di sekelilingnya, seperti pada kasus ilustrasi keluarga Pak Djodi di atas. Atau juga bisa menjadikan FB sebagai pelampiasan mengatasi rasa malu dengan cara melarikan diri dari realitas, bukan work on reality.
§ Semakin berlebihan dia berinteraksi dengan kaca dan maya, akan semakin kecil kesempatannya untuk menggunakan pikirannya bagaimana berkreasi secara kreatif menghadapi konflik dalam praktek hubungan. Di dunia maya, begitu kita tidak cocok dengan seseorang, tulis aja atau delete aja. Tapi, dalam praktek hidup, itu tidak bisa.
Kalau dilihat dari konsep pendidikannya, dunia maya dan layar kaca pun dibutuhkan dalam mendewasakan manusia. Tetapi, jangan sampai itu menggantikan interaksi langsung, kecuali untuk ruang dan jarak yang tak bisa ditembus. Kenapa?
Dunia maya dan layar kaca hanya sampai pada memberi sumbangan dalam bentuk data, informasi, dan pengetahuan. Untuk praktek hidup, ini perlu ditambah lagi dengan wisdom. Darimana ini digali? Wisdom digali dari praktek, dari interaksi, dari konflik, dari gesekan, dan dari pemaknaan.
“DATA – INFORMATION – KNOWLEDGE – WISDOM”
Manajemen Layak Kaca & Maya Di Sekolah Dan Rumah
Akhirnya, mau tidak mau, kita harus berurusan dengan manajemen (pengaturan dan pengelolaan) untuk anak-anak kita yang sedang gandrung-gandrungnya FB dan Hape. Cara yang paling simpel, namun biasanya kurang ngefek itu adalah yang ekstrim, misalnya melarang atau membiarkan.
Ini karena pada setiap perkembangan manusia itu memunculkan watak ganda. Pada remaja, satu sisi dia harus tahu perkembangan zaman dan terlibat di dalamnya agar dia bisa bersikap. Kalau kita memaksa dia harus seperti kita, mungkin dia akan manjadi manusia terkuno di zamannya nanti.
Tetapi di sisi lain, konsistensi dia dalam memegangi ajaran moral dan mental itu masih labil, belum terkonstruksi secara kuat, layaknya orang dewasa. Karena itu, memberi cek kosong kepercayaan pada remaja, seringkali membuahkan penyesalan di kemudian hari.
Nah, manajemen di sini berguna untuk bagaimana kita tetap memberi kesempatan kepada mereka terlibat dalam perkembangan zaman, namun tidak sampai termakan oleh asumsi bahwa anak kita pasti sudah bisa menjaga dirinya sehingga kita terlalu membiarkan.
Agar manajemen ini bekerja, tentu dibutuhkan aksi, entah itu sosialisasi pemahaman, regulasi penggunaan, atau antisipasi penyalahgunaan. Untuk tehniknya, pasti kita punya cara sendiri yang lebih membumi. Hanya, secara umum, tehnik yang bisa kita acu itu antara lain:
§ Memberi bekal pengetahuan dan penyadaran mengenai hebatnya tehnologi dan potensi bahaya yang bisa ditimbulkannya. Anak kita sudah tahu itu, tetapi ucapan kita tetap diperlukan
§ Mengorek sikap anak terhadap kasus-kasus remaja terutama yang ditudingkan ke FB untuk memperkuat konstruksi sikapnya dalam menghadapi hidup
§ Beradu kompetisi untuk menemukan data, informasi, dan pengetahuan melalui internet dengan anak atau minimalnya belajar dari anak atau belajar bersama dia.
§ Perlu memonitor apa yang dilakukan anak selama berinteraksi dengan hape atau FB untuk memberikan ide-ide evaluasi konstruktif (membangun).
§ Perlu untuk tidak memberikan privacy yang berlebihan pada anak, misalnya kamarnya dikunci, di lantai II, bebas main internet tanpa pantauan, sms-an sampai tengah malam, pulang sekolah seenaknya, dan seterusnya.
§ Tetap memberi ruang untuk berinteraksi dengan kita secara nyata, face-to-face, dan real life agar terjadi gesekan, social learning, dan dinamika.
Yang Baik Pun Kalau Berlebihan Menjadi Kurang
Sampai pun kita tahu bahwa anak kita menggunakan internet itu untuk kebaikan, namun kalau berlebihan, misalnya berjam-jam di depan komputer, itu bisa menjadi kekurangan buat dia. Membaca buku itu sangat bagus, tetapi kalau berlebihan, terkadang menciptakan kekurangan, misalnya tidak bisa ngomong secara flow (mengalir), kurang tahan menghadapi kenyataan, atau keseimbangan fisiknya kurang.
Selama masih usia remaja, akan lebih bagus kalau dia merasakan berbagai pengalaman hidup, lebih-lebih pengalaman yang sedang ngetren di zamannya, namun tetap kita arahkan untuk memfokusi beberapa bidang yang nantinya berguna untuk dia, sambil bekerjasama untuk memantangkan mental dan moralnya.
Semoga bermanfaat.
Sumber Artikel : http://www.e-psikologi.com/epsi/sosial.asp
Apakah Kita Sering "Mut-Mut-an?"
Kategori Klinis
Oleh : Ubaydillah, AN
Jakarta, 01 Februari 2010
Keunikan Mood
Rasa-rasanya sudah biasa kita menggunakan istilah mood. Umumnya, istilah mood itu kita pahami sebagai suasana batin tertentu, bisa bad dan bisa good. Kalau melihat ke pendapat ahli, seperti yang dikutip Wikipedia misalnya, mood adalah keadaan emosi (state of emotion) yang berlangsung secara relatif, yang sebab-sebabnya seringkali subyektif atau tidak jelas. Jika seseorang merasa takut, itu ada sebabnya, entah faktual atau perceptual (sebab-sebab yang dipersepsikan seseorang). Sama juga kalau seseorang merasa gembira. Kegembiraan muncul karena sebab-sebab tertentu. Tapi untuk mood, sebabnya seringkali tidak jelas atau stimulusnya kerap kurang faktual. Misalnya saja, kita tahu-tahu merasa bad mood saat mau berangkat ke kantor.
Penjelasan yang mirip sama juga bisa kita dapatkan dari bukunya Philip G. Zimbardo (Psychology and Life: 1979) tentang mood. Mood adalah keadaan emosi tertentu yang tidak masuk dalam kategori state (emosi yang dipicu oleh faktor eksternal tertentu) atau trait (bentuk emosi yang menjadi bawaan seseorang). Perubahan mood bisa berlangsung dalam ukuran jam atau hari. Bagi sebagian orang, perubahan mood kerap mempengaruhi gairahnya untuk melakukan sesuatu atau bahkan bisa mempengaruhi keputusan dan tindakannya. Sejauh pengaruh itu tidak menyangkut ke urusan yang penting dan sangat menentukan, mungkin masih bisa kita bilang biasa. Namanya juga orang hidup. Alam saja punya musim dan cuaca.
Tapi, bila itu sudah merembet ke urusan yang sangat penting, maka sulit rasanya untuk mengatakan itu biasa. Misalnya kita sedang menekuni keahlian tertentu. Jika gairah kita lebih sering dikendalikan oleh perubahan mood, mungkin akan sangat pelan kemajuan yang bisa kita raih, yang mestinya bisa kita raih lebih cepat, jika seandainya kita tidak mut-mutan (moody). Lebih-lebih jika perubahan mood itu sering kita alami sudah menyangkut ke urusan dengan orang lain atau organisasi. Misalnya kita tiba-tiba membatalkan janji dengan mitra gara-gara mood. Kita mengubah haluan yang sudah disepakati orang banyak gara-gara mood; atau kita mengambil keputusan penting yang menyangkut keluarga karena soal mood. Gampangnya ngomong, kita sudah menjadi orang yang mut-mutan sehingga sulit dipegang.
Mood Disorder
Di dalam kajian Psikologi, ada istilah yang akrab disebut mood disorder atau perubahan mood yang sudah tidak sehat lagi atau kacau. Dr. C. George Boeree, dari Shippensburg University (Mood Disorder: 2003), menjelaskan bahwa Mood Disorder itu merupakan sisi ekstrim yang sudah tidak sehat (patologis) dari perubahan mood tertentu, misalnya terlalu girang atau terlalu malang (sadness and elation).
Definisi di atas rasa-rasanya sudah cukup untuk kita jadikan sebagai acuan perbaikan diri. Lain soal kalau kita ingin menggunakannya untuk presentasi tugas-tugas akademik yang menuntut sekian teori, perspektif, dan analisis data atau fakta. Untuk kepentingan perbaikan diri, pengaruh perubahan mood yang perlu kita deteksi itu antara lain adalah:
* Apakah perubahan mood itu sudah benar-benar ekstrim hingga sudah bisa dibilang sangat membahayakan, misalnya ugal-ugalan saat berkendaraan di jalan raya atau membanting barang-barang yang berguna buat kita hingga fatal?
* Apakah perubahan mood itu sudah benar-benar dapat melumpuhkan fungsi kita dengan sekian tanggung jawab yang harus kita jalankan hingga kita menjadi orang yang “EGP” (Emang Gue Pikiran) terhadap tugas-tugas kantor, tanggung jawab profesi, atau tugas sebagai orangtua?
* Apakah perubahan mood itu sudah membuahkan tanda-tanda rusaknya hubungan kita dengan orang lain gara-gara misalnya banyak janji yang tidak kita tepati, banyak missed call atau SMS yang tidak kita jawab, dan lain-lain?
Sekian jawaban yang bisa kita gali dari pertanyaan di atas memang masih belum tentu bisa disebut Mood Disorder secara teori keilmuannya. Hanya saja, dengan menggunakan akal sehat, pasti kita sudah bisa menyimpulkan bahwa perubahan mood yang sudah menimbulkan bahaya dan kerusakan, tentu bukan lagi urusan yang biasa atau normal.
Gaya Hidup Depresif
Apa yang pertama-tama perlu kita telaah ketika perubahan mood yang kita alami itu sudah berdampak pada hal-hal buruk seperti di atas? Salah satu yang terpenting adalah gaya hidup, kebiasaan, atau tradisi, dalam arti prilaku yang berulang-ulang kita lakukan secara hampir tidak kita sadari sepenuhnya. Pertanyaannya, gaya hidup seperti apa? Gaya hidup yang bisa menjelaskan munculnya mood secara kebablasan (patologis) adalah gaya hidup depresif. Seperti sudah sering kita baca di sini, depresi itu adalah stress yang berlanjut atau gagal kita tangani secara positif. Dalam prakteknya, depresi itu ada yang sifatnya respondent dan ada yang sifatnya sudah menjadi tradisi yang berlangsung lama.
Depresi yang sifatnya respondent umumnya dipicu oleh kejadian eksternal yang kita rasakan stressful, seperti misalnya ada tragedi diri yang membuat kita harus hengkang dari kantor atau perusahaan yang selama ini kita besarkan, perceraian yang diawali peristiwa yang menyakitkan, atau kematian yang tidak normalnya menimpa orang tersayang, dan berbagai peristiwa lain yang sulit kita terima secara langsung. Jika acuannya praktek hidup, depresi yang respondent umumnya diketahui sebab-sebabnya atau kronologisnya. Ini agak beda dengan depresi yang sudah menjadi gaya hidup. Mungkin ada pemicunya, tetapi pemicu itu tidak kita sadari sehingga menggunung dan berlahan-lahan membuat kita merasa dikelilingi oleh berbagai beban, tekanan, dan ancaman.
Untuk menelaan apakah praktek hidup kita sehari-hari sudah diliputi berbagai beban, tekanan, dan ancaman yang depresif itu, mungkin gejala umum di bawah ini dapat kita jadikan acuan:
* Menurunnya energi untuk melakukan sesuatu, bad mood.
* Sulit berpikir atau berkonsentrasi sehingga membuat kita lupa atau tidak menyadari tanggung jawab, dari mulai yang sepele, katakanlah seperti lupa membayar makanan yang kita ambil, dan semisalnya
* Inginnya tidur terus atau sulit tidur, ingin makan terus atau sulit makan
* Tidak care lagi terhadap urusan penampilan, misalnya acak-acakan
* Sulit mengambil keputusan atau cepat berubah-ubah keputusannya (tidak bisa dipegang)
* Mengalami kelambanan psikomotorik, seperti ngomongnya sepenggal-sepengal, lamban meresponi sesuatu, atau males ngomong
* Berpikir secara tidak sehat mengenai kematian
Membebaskan Diri Dari Depresi
Di literaturnya, memang banyak pernyataan ahli yang mengingatkan agar kita tidak cepat berkesimpulan bahwa perubahaan mood yang sudah menciptakan gangguan itu murni karena depresi. Untuk mengetahui sebab-sebab yang spesifik, diperlukan pendalaman oleh tenaga ahli. Dan itu umumnya butuh waktu. Tapi, hampir semua sepakat bahwa depresi dapat membuat seseorang lebih sering dikendalikan oleh suasana batin dalam mengambil keputusan sehingga layak bisa dibilang mut-mutan. Karena batin kita sedang depresif, maka keputusan kita pun mencerminkan gejala-gejala depresi seperti di atas. Misalnya tidak konsentratif, tidak bergairah untuk bertanggung jawab, dan seterusnya.
Lantas, apa yang bisa kita lakukan agar depresi itu tak sampai membuahkan kebiasaan moody? Akan dibilang sombong jika kita berpikir sanggup mengantisipasi peristiwa depresif seratus persen. Banyak peristiwa menyakitkan yang tak sanggup diantisipasi oleh manusia atau oleh negara sekali pun, misalnya bencana. Ada bencana yang karena ulah manusia, tetapi ada yang karena sudah maktub (tertulis).
Karena itu, selain memang perlu mengantisipasi, kita pun perlu melakukan mekanisasi (menciptakan mekanisme pertahanan-diri) untuk menghadapi peristiwa yang sudah tak bisa diantisipasi. Mekanisme ini dapat kita kelompokkan menjadi dua, yaitu:
1. Mekanisme eksternal
2. Mekanisme internal
Katakanlah kita kini merasakan situasi kantor atau rumah tangga yang benar-benar depresif dan sebab-sebabnya sudah ruwet, seperti benang kusut. Mekanisme eksternal yang bisa kita lakukan antara lain: mengatur (to manage), mengubah, memperbaiki, atau pindah ke situasi baru. Tapi ini men-syaratkan kemampuan, kemantapan, dan tangggung jawab. Jika itu belum sanggup kita jalankan, maka yang bisa kita lakukan adalah menciptakan mekanisme internal. Jumlah dan bentuk mekanisme internal yang diciptakan Tuhan untuk mempertahankan hidup itu sangat tak terbatas, dari mulai menciptakan interpretasi baru, opini baru, definisi baru, makna baru, refleksi baru, sikap baru dan seterusnya.
Mekanisme internal itu intinya adalah upaya kita menciptakan pikiran, perasaan, dan keyakinan yang membuat kita menjadi lebih kuat dan lebih tercerahkan. Mekanisme internal ini bahkan lebih berperan ketimbang mekanisme eksternal dalam mengkondisikan seseorang menjadi depresi atau tidak. Dalam prakteknya, belum tentu orang yang di penjara itu lebih depresif ketimbang orang yang bebas. Belum tentu orang yang namanya dan gambarnya dijadikan sasaran tudingan dan hinaan di media atau demo itu lebih depresif. Bisa ya dan bisa tidak, atau bahkan malah bisa semakin matang, tergantung mekanisme internalnya.
Yang perlu kita jauhi bersama adalah, sudah kita belum mampu menciptakan mekanisme eksternal (karena soal berbagai cost), menciptakan mekanisme internal yang gratis pun tidak kita ciptakan. Atau malah membangun mekanisme internal yang semakin men-depresi-kan diri sendiri hingga membuat kualitas keputusan hidup kita menurun drastis atau mut-mutan melulu. Memang, mekanisme internal itu muncul dari sekian dukungan, mungkin nilai, ilmu, informasi, dan yang terpenting lagi adalah latihan (proses dan prosesi).
Semua dukungan itu hanya akan kita dapatkan setelah ada pondasi yang kuat, yaitu:
1. Munculnya dorongan untuk berubah ke arah yang lebih baik
2. Menyadari adanya kebutuhan untuk berubah.
Jika dua hal ini tidak ada, mungkin semua pintu akan tertutup. Dari laporan penelitian beberapa ahli diakui bahwa yang membuat orang tak kunjung bisa menguasai mood-nya adalah karena orang itu tidak menyadari adanya kebutuhan untuk mengubah dirinya. Bahkan mungkin merasa itulah yang benar.
Berpikir Hidup Ini Hanya Sekali
Tidak semua perubahan hidup yang kita nilai sangat fundamental itu harus dimulai dari pemikiran yang canggih, pintar, dan kompleks. Itulah hebatnya keadilan Tuhan. Adakalnya bisa dimulai dari pemikiran yang sederhana, yang tidak hanya diketahui oleh para profesor, dan mungkin salah. Contohnya adalah berpikir “Hidup ini hanya sekali”. Untuk kita, ini salah karena hidup itu dua kali, tidak ada kalimat yang canggih di situ, dan tak ada teori yang melatarbelakanginya. Tapi, jika kita berhasil menggunakannya untuk mengantisipasi munculnya gaya hidup yang depresif, hasilnya akan canggih. Dengan berpikir seperti itu, kita akan segera sadar, untuk apa kita membiarkan diri larut dan hanyut ke dalam gaya hidup yang depresif, wong hidup hanya seperti mampir ngombe (numpang minum) saja? Kenapa nggak kita nikmati saja hidup yang hanya sekali ini dengan sekian mekanisme yang bisa kita buat? “Gitu aja kok repot?”, mengenang ucapan Gus Dur semasa masih hidup.
Semoga bermanfaat.
Sumber Artikel : http://www.e-psikologi.com/epsi/klinis.asp
Oleh : Ubaydillah, AN
Jakarta, 01 Februari 2010
Keunikan Mood
Rasa-rasanya sudah biasa kita menggunakan istilah mood. Umumnya, istilah mood itu kita pahami sebagai suasana batin tertentu, bisa bad dan bisa good. Kalau melihat ke pendapat ahli, seperti yang dikutip Wikipedia misalnya, mood adalah keadaan emosi (state of emotion) yang berlangsung secara relatif, yang sebab-sebabnya seringkali subyektif atau tidak jelas. Jika seseorang merasa takut, itu ada sebabnya, entah faktual atau perceptual (sebab-sebab yang dipersepsikan seseorang). Sama juga kalau seseorang merasa gembira. Kegembiraan muncul karena sebab-sebab tertentu. Tapi untuk mood, sebabnya seringkali tidak jelas atau stimulusnya kerap kurang faktual. Misalnya saja, kita tahu-tahu merasa bad mood saat mau berangkat ke kantor.
Penjelasan yang mirip sama juga bisa kita dapatkan dari bukunya Philip G. Zimbardo (Psychology and Life: 1979) tentang mood. Mood adalah keadaan emosi tertentu yang tidak masuk dalam kategori state (emosi yang dipicu oleh faktor eksternal tertentu) atau trait (bentuk emosi yang menjadi bawaan seseorang). Perubahan mood bisa berlangsung dalam ukuran jam atau hari. Bagi sebagian orang, perubahan mood kerap mempengaruhi gairahnya untuk melakukan sesuatu atau bahkan bisa mempengaruhi keputusan dan tindakannya. Sejauh pengaruh itu tidak menyangkut ke urusan yang penting dan sangat menentukan, mungkin masih bisa kita bilang biasa. Namanya juga orang hidup. Alam saja punya musim dan cuaca.
Tapi, bila itu sudah merembet ke urusan yang sangat penting, maka sulit rasanya untuk mengatakan itu biasa. Misalnya kita sedang menekuni keahlian tertentu. Jika gairah kita lebih sering dikendalikan oleh perubahan mood, mungkin akan sangat pelan kemajuan yang bisa kita raih, yang mestinya bisa kita raih lebih cepat, jika seandainya kita tidak mut-mutan (moody). Lebih-lebih jika perubahan mood itu sering kita alami sudah menyangkut ke urusan dengan orang lain atau organisasi. Misalnya kita tiba-tiba membatalkan janji dengan mitra gara-gara mood. Kita mengubah haluan yang sudah disepakati orang banyak gara-gara mood; atau kita mengambil keputusan penting yang menyangkut keluarga karena soal mood. Gampangnya ngomong, kita sudah menjadi orang yang mut-mutan sehingga sulit dipegang.
Mood Disorder
Di dalam kajian Psikologi, ada istilah yang akrab disebut mood disorder atau perubahan mood yang sudah tidak sehat lagi atau kacau. Dr. C. George Boeree, dari Shippensburg University (Mood Disorder: 2003), menjelaskan bahwa Mood Disorder itu merupakan sisi ekstrim yang sudah tidak sehat (patologis) dari perubahan mood tertentu, misalnya terlalu girang atau terlalu malang (sadness and elation).
Definisi di atas rasa-rasanya sudah cukup untuk kita jadikan sebagai acuan perbaikan diri. Lain soal kalau kita ingin menggunakannya untuk presentasi tugas-tugas akademik yang menuntut sekian teori, perspektif, dan analisis data atau fakta. Untuk kepentingan perbaikan diri, pengaruh perubahan mood yang perlu kita deteksi itu antara lain adalah:
* Apakah perubahan mood itu sudah benar-benar ekstrim hingga sudah bisa dibilang sangat membahayakan, misalnya ugal-ugalan saat berkendaraan di jalan raya atau membanting barang-barang yang berguna buat kita hingga fatal?
* Apakah perubahan mood itu sudah benar-benar dapat melumpuhkan fungsi kita dengan sekian tanggung jawab yang harus kita jalankan hingga kita menjadi orang yang “EGP” (Emang Gue Pikiran) terhadap tugas-tugas kantor, tanggung jawab profesi, atau tugas sebagai orangtua?
* Apakah perubahan mood itu sudah membuahkan tanda-tanda rusaknya hubungan kita dengan orang lain gara-gara misalnya banyak janji yang tidak kita tepati, banyak missed call atau SMS yang tidak kita jawab, dan lain-lain?
Sekian jawaban yang bisa kita gali dari pertanyaan di atas memang masih belum tentu bisa disebut Mood Disorder secara teori keilmuannya. Hanya saja, dengan menggunakan akal sehat, pasti kita sudah bisa menyimpulkan bahwa perubahan mood yang sudah menimbulkan bahaya dan kerusakan, tentu bukan lagi urusan yang biasa atau normal.
Gaya Hidup Depresif
Apa yang pertama-tama perlu kita telaah ketika perubahan mood yang kita alami itu sudah berdampak pada hal-hal buruk seperti di atas? Salah satu yang terpenting adalah gaya hidup, kebiasaan, atau tradisi, dalam arti prilaku yang berulang-ulang kita lakukan secara hampir tidak kita sadari sepenuhnya. Pertanyaannya, gaya hidup seperti apa? Gaya hidup yang bisa menjelaskan munculnya mood secara kebablasan (patologis) adalah gaya hidup depresif. Seperti sudah sering kita baca di sini, depresi itu adalah stress yang berlanjut atau gagal kita tangani secara positif. Dalam prakteknya, depresi itu ada yang sifatnya respondent dan ada yang sifatnya sudah menjadi tradisi yang berlangsung lama.
Depresi yang sifatnya respondent umumnya dipicu oleh kejadian eksternal yang kita rasakan stressful, seperti misalnya ada tragedi diri yang membuat kita harus hengkang dari kantor atau perusahaan yang selama ini kita besarkan, perceraian yang diawali peristiwa yang menyakitkan, atau kematian yang tidak normalnya menimpa orang tersayang, dan berbagai peristiwa lain yang sulit kita terima secara langsung. Jika acuannya praktek hidup, depresi yang respondent umumnya diketahui sebab-sebabnya atau kronologisnya. Ini agak beda dengan depresi yang sudah menjadi gaya hidup. Mungkin ada pemicunya, tetapi pemicu itu tidak kita sadari sehingga menggunung dan berlahan-lahan membuat kita merasa dikelilingi oleh berbagai beban, tekanan, dan ancaman.
Untuk menelaan apakah praktek hidup kita sehari-hari sudah diliputi berbagai beban, tekanan, dan ancaman yang depresif itu, mungkin gejala umum di bawah ini dapat kita jadikan acuan:
* Menurunnya energi untuk melakukan sesuatu, bad mood.
* Sulit berpikir atau berkonsentrasi sehingga membuat kita lupa atau tidak menyadari tanggung jawab, dari mulai yang sepele, katakanlah seperti lupa membayar makanan yang kita ambil, dan semisalnya
* Inginnya tidur terus atau sulit tidur, ingin makan terus atau sulit makan
* Tidak care lagi terhadap urusan penampilan, misalnya acak-acakan
* Sulit mengambil keputusan atau cepat berubah-ubah keputusannya (tidak bisa dipegang)
* Mengalami kelambanan psikomotorik, seperti ngomongnya sepenggal-sepengal, lamban meresponi sesuatu, atau males ngomong
* Berpikir secara tidak sehat mengenai kematian
Membebaskan Diri Dari Depresi
Di literaturnya, memang banyak pernyataan ahli yang mengingatkan agar kita tidak cepat berkesimpulan bahwa perubahaan mood yang sudah menciptakan gangguan itu murni karena depresi. Untuk mengetahui sebab-sebab yang spesifik, diperlukan pendalaman oleh tenaga ahli. Dan itu umumnya butuh waktu. Tapi, hampir semua sepakat bahwa depresi dapat membuat seseorang lebih sering dikendalikan oleh suasana batin dalam mengambil keputusan sehingga layak bisa dibilang mut-mutan. Karena batin kita sedang depresif, maka keputusan kita pun mencerminkan gejala-gejala depresi seperti di atas. Misalnya tidak konsentratif, tidak bergairah untuk bertanggung jawab, dan seterusnya.
Lantas, apa yang bisa kita lakukan agar depresi itu tak sampai membuahkan kebiasaan moody? Akan dibilang sombong jika kita berpikir sanggup mengantisipasi peristiwa depresif seratus persen. Banyak peristiwa menyakitkan yang tak sanggup diantisipasi oleh manusia atau oleh negara sekali pun, misalnya bencana. Ada bencana yang karena ulah manusia, tetapi ada yang karena sudah maktub (tertulis).
Karena itu, selain memang perlu mengantisipasi, kita pun perlu melakukan mekanisasi (menciptakan mekanisme pertahanan-diri) untuk menghadapi peristiwa yang sudah tak bisa diantisipasi. Mekanisme ini dapat kita kelompokkan menjadi dua, yaitu:
1. Mekanisme eksternal
2. Mekanisme internal
Katakanlah kita kini merasakan situasi kantor atau rumah tangga yang benar-benar depresif dan sebab-sebabnya sudah ruwet, seperti benang kusut. Mekanisme eksternal yang bisa kita lakukan antara lain: mengatur (to manage), mengubah, memperbaiki, atau pindah ke situasi baru. Tapi ini men-syaratkan kemampuan, kemantapan, dan tangggung jawab. Jika itu belum sanggup kita jalankan, maka yang bisa kita lakukan adalah menciptakan mekanisme internal. Jumlah dan bentuk mekanisme internal yang diciptakan Tuhan untuk mempertahankan hidup itu sangat tak terbatas, dari mulai menciptakan interpretasi baru, opini baru, definisi baru, makna baru, refleksi baru, sikap baru dan seterusnya.
Mekanisme internal itu intinya adalah upaya kita menciptakan pikiran, perasaan, dan keyakinan yang membuat kita menjadi lebih kuat dan lebih tercerahkan. Mekanisme internal ini bahkan lebih berperan ketimbang mekanisme eksternal dalam mengkondisikan seseorang menjadi depresi atau tidak. Dalam prakteknya, belum tentu orang yang di penjara itu lebih depresif ketimbang orang yang bebas. Belum tentu orang yang namanya dan gambarnya dijadikan sasaran tudingan dan hinaan di media atau demo itu lebih depresif. Bisa ya dan bisa tidak, atau bahkan malah bisa semakin matang, tergantung mekanisme internalnya.
Yang perlu kita jauhi bersama adalah, sudah kita belum mampu menciptakan mekanisme eksternal (karena soal berbagai cost), menciptakan mekanisme internal yang gratis pun tidak kita ciptakan. Atau malah membangun mekanisme internal yang semakin men-depresi-kan diri sendiri hingga membuat kualitas keputusan hidup kita menurun drastis atau mut-mutan melulu. Memang, mekanisme internal itu muncul dari sekian dukungan, mungkin nilai, ilmu, informasi, dan yang terpenting lagi adalah latihan (proses dan prosesi).
Semua dukungan itu hanya akan kita dapatkan setelah ada pondasi yang kuat, yaitu:
1. Munculnya dorongan untuk berubah ke arah yang lebih baik
2. Menyadari adanya kebutuhan untuk berubah.
Jika dua hal ini tidak ada, mungkin semua pintu akan tertutup. Dari laporan penelitian beberapa ahli diakui bahwa yang membuat orang tak kunjung bisa menguasai mood-nya adalah karena orang itu tidak menyadari adanya kebutuhan untuk mengubah dirinya. Bahkan mungkin merasa itulah yang benar.
Berpikir Hidup Ini Hanya Sekali
Tidak semua perubahan hidup yang kita nilai sangat fundamental itu harus dimulai dari pemikiran yang canggih, pintar, dan kompleks. Itulah hebatnya keadilan Tuhan. Adakalnya bisa dimulai dari pemikiran yang sederhana, yang tidak hanya diketahui oleh para profesor, dan mungkin salah. Contohnya adalah berpikir “Hidup ini hanya sekali”. Untuk kita, ini salah karena hidup itu dua kali, tidak ada kalimat yang canggih di situ, dan tak ada teori yang melatarbelakanginya. Tapi, jika kita berhasil menggunakannya untuk mengantisipasi munculnya gaya hidup yang depresif, hasilnya akan canggih. Dengan berpikir seperti itu, kita akan segera sadar, untuk apa kita membiarkan diri larut dan hanyut ke dalam gaya hidup yang depresif, wong hidup hanya seperti mampir ngombe (numpang minum) saja? Kenapa nggak kita nikmati saja hidup yang hanya sekali ini dengan sekian mekanisme yang bisa kita buat? “Gitu aja kok repot?”, mengenang ucapan Gus Dur semasa masih hidup.
Semoga bermanfaat.
Sumber Artikel : http://www.e-psikologi.com/epsi/klinis.asp
Mengatasi Sikap Nggak Enakan
Oleh : Ima Effendi
Jakarta, 10 November 2010
Seorang teman mengeluhkan sikapnya yang kerap mengorbankan diri karena perasaan nggak enak terhadap orang lain atau sebuah situasi dan kondisi. Ia mencontohkan sebuah situasi ketika ia harus membatalkan sebuah acara yang musti ia tandangi hanya karena ada tamu tak diundang bertandang kerumahnya ketika ia hendak berangkat, ketika ia membiarkan seorang pelayan restoran yang salah menghitung jumlah kembalian uang yang semestinya ia dapatkan, ketika ia enggan menegur seorang karyawan hanya karena mengetahui latar belakang keluarganya kurang mampu, ketika ia sulit mengatakan "tidak" kepada tetangga atau kerabat yang meminta bantuan finansial dan beragam peristiwa lainnya.
Dalam beberapa kasus memang kita bisa memaklumi sikap-sikap yang diambil oleh teman saya tetapi baginya, too much is enough, sesuatu di dalam hatinya berteriak meminta tolong. Selain telah merasakan kerugian langsung baik materiil, ia juga sudah tidak lagi mampu mengatasi dampak dari kerugian tenaga dan waktu yang menjadi akibat dari sikap yang ia sebut Nggak Enakan.
Nggak Enakan atau Tidak Berprinsip?
Budaya timur dalam masyarakat kita memang telah menanamkan harmonisasi dan tenggang rasa dengan sesama namun ini bukan berarti karena adanya nilai-nilai ini kita lantas bisa dengan mudah mengabaikan nilai-nilai prinsipil tiap pribadi yang juga harus dijaga dan dipertahankan oleh seseorang, apalagi jika sudah berkaitan dengan hak-hak asasi yang dimilikinya. "Mengorbankan diri" demi menghindari konflik atau situasi yang tidak nyaman tidak dibenarkan. Harmonisasi dan tenggang rasa itu tidak benar adanya jika tercapai diatas keuntungan satu pihak dan kerugian di pihak lain.
Sebelumnya kita musti melihat terlebih ke dalam diri. Apakah saya memiliki prinsip hidup? Darimana prinsip itu berasal? Pendidikan dalam keluarga dan Religi tentu saja telah menanamkan kejujuran, keadilan, disiplin dan lain sebagainya. Prinsip ini menjadi bagian dari sikap dan kepribadian seseorang. Berbeda dengan aturan, prinsip sifatnya lebih instrinsik. Prinsip adalah keyakinan yang mendasari aturan yang kita pakai dalam menjalani kehidupan. Di kantor atau organisasi Anda pasti ada banyak aturan kerja. Dengan beragam alasan, rasionalisasi atau karena memang masa bodoh, Anda bisa saja melanggar aturan-aturan itu. Anda bahkan bisa melanggar aturan tanpa menyadarinnya. Tetapi, ketika prinsip dilanggar, tidak mungkin Anda tidak menyadarinya. Hati Anda akan bergejolak, ada perasaan tarik-menarik antara kenyataan diluar dan kecamuk dalam dada. Ketika prinsip dilanggar, orang akan dengan normal merasakan kebimbangan, perasaan bersalah dan kecewa pada diri sendiri. Dalam kasus teman saya, ia sudah sampai taraf kehilangan jati dirinya sendiri.
Jika memang kejujuran, keadilan, disiplin dan lain sebagainya adalah betul menjadi prinsip hidup Anda dan Anda sendiri tidak memiliki keberanian untuk mempertahankannya, maka nilai-nilai itu bukanlah sebuah prinsip tetapi hanyalah tujuan hidup yang tidak cukup suci. Jadi, apakah Anda betul-betul nggak enakan atau memang orang yang tidak berprinsip? Silahkan tanyakan pada diri Anda sendiri. "Apa sih hal-hal yang akan membuat Anda berani berjuang untuk mempertahankannya?"
Berprinsip tanpa Konflik
Tanpa prinsip, maka cara Anda mengambil keputusan dalam kehidupan ini akan selalu didasarkan pada emosi, situasi dan kondisi sehingga ego akan mengalahkan etika. Meski mempertahankan prinsip itu sesuatu yang sulit dilakukan oleh sebagian orang tetapi tidak mempertahankannya akan jauh lebih merugikan.
Seseorang yang berani mempertahankan prinsipnya akan merasakan sebuah kepuasan diri. Ia akan tahu potensi dirinya dan posisinya dan bisa bersikap sedikit keras kepala untuk tidak bergeming. Hal ini tentu saja bukan sikap negatif jika konteksnya adalah mempertahankan prinsip hidup Anda yang suci. Tapi tentu saja dengan catatan, Anda melakukannya bukan karena demi keuntungan pribadi (hal ini mudah dilakukan tanpa memiliki prinsip hidup) namun Anda melakukannya karena karakter, kesadaran dan batin Anda mengandalkan Anda. Anda melakukannya seolah hidup Anda bergantung pada prinsip itu.
Pada akhirnya jika Anda berani mempertahankan prinsip hidup, Anda akan merasakan kedamaian dan percaya diri yang membantu pada penemuan jati diri Anda. Jika Anda adalah seorang pemimpin perusahaan, anak buah Anda akan "melihat" ini sebagai sebuah sikap kewibawaan dan kepemimpinan yang profesional, jika Anda adalah seorang Ibu atau Ayah tentu saja ini adalah sebuah sikap keteladanan yang luhur. Sebagai sebuah pribadi, Anda tidak akan lagi menjadi pribadi yang plin-plan, lemah, pengecut, tidak lagi mudah dimanfaatkan dan mudah dilecehkan hak-haknya oleh orang lain. Semoga bermanfaat.
Sumber Artikel : http://www.e-psikologi.com/epsi/artikel.asp
Jakarta, 10 November 2010
Seorang teman mengeluhkan sikapnya yang kerap mengorbankan diri karena perasaan nggak enak terhadap orang lain atau sebuah situasi dan kondisi. Ia mencontohkan sebuah situasi ketika ia harus membatalkan sebuah acara yang musti ia tandangi hanya karena ada tamu tak diundang bertandang kerumahnya ketika ia hendak berangkat, ketika ia membiarkan seorang pelayan restoran yang salah menghitung jumlah kembalian uang yang semestinya ia dapatkan, ketika ia enggan menegur seorang karyawan hanya karena mengetahui latar belakang keluarganya kurang mampu, ketika ia sulit mengatakan "tidak" kepada tetangga atau kerabat yang meminta bantuan finansial dan beragam peristiwa lainnya.
Dalam beberapa kasus memang kita bisa memaklumi sikap-sikap yang diambil oleh teman saya tetapi baginya, too much is enough, sesuatu di dalam hatinya berteriak meminta tolong. Selain telah merasakan kerugian langsung baik materiil, ia juga sudah tidak lagi mampu mengatasi dampak dari kerugian tenaga dan waktu yang menjadi akibat dari sikap yang ia sebut Nggak Enakan.
Nggak Enakan atau Tidak Berprinsip?
Budaya timur dalam masyarakat kita memang telah menanamkan harmonisasi dan tenggang rasa dengan sesama namun ini bukan berarti karena adanya nilai-nilai ini kita lantas bisa dengan mudah mengabaikan nilai-nilai prinsipil tiap pribadi yang juga harus dijaga dan dipertahankan oleh seseorang, apalagi jika sudah berkaitan dengan hak-hak asasi yang dimilikinya. "Mengorbankan diri" demi menghindari konflik atau situasi yang tidak nyaman tidak dibenarkan. Harmonisasi dan tenggang rasa itu tidak benar adanya jika tercapai diatas keuntungan satu pihak dan kerugian di pihak lain.
Sebelumnya kita musti melihat terlebih ke dalam diri. Apakah saya memiliki prinsip hidup? Darimana prinsip itu berasal? Pendidikan dalam keluarga dan Religi tentu saja telah menanamkan kejujuran, keadilan, disiplin dan lain sebagainya. Prinsip ini menjadi bagian dari sikap dan kepribadian seseorang. Berbeda dengan aturan, prinsip sifatnya lebih instrinsik. Prinsip adalah keyakinan yang mendasari aturan yang kita pakai dalam menjalani kehidupan. Di kantor atau organisasi Anda pasti ada banyak aturan kerja. Dengan beragam alasan, rasionalisasi atau karena memang masa bodoh, Anda bisa saja melanggar aturan-aturan itu. Anda bahkan bisa melanggar aturan tanpa menyadarinnya. Tetapi, ketika prinsip dilanggar, tidak mungkin Anda tidak menyadarinya. Hati Anda akan bergejolak, ada perasaan tarik-menarik antara kenyataan diluar dan kecamuk dalam dada. Ketika prinsip dilanggar, orang akan dengan normal merasakan kebimbangan, perasaan bersalah dan kecewa pada diri sendiri. Dalam kasus teman saya, ia sudah sampai taraf kehilangan jati dirinya sendiri.
Jika memang kejujuran, keadilan, disiplin dan lain sebagainya adalah betul menjadi prinsip hidup Anda dan Anda sendiri tidak memiliki keberanian untuk mempertahankannya, maka nilai-nilai itu bukanlah sebuah prinsip tetapi hanyalah tujuan hidup yang tidak cukup suci. Jadi, apakah Anda betul-betul nggak enakan atau memang orang yang tidak berprinsip? Silahkan tanyakan pada diri Anda sendiri. "Apa sih hal-hal yang akan membuat Anda berani berjuang untuk mempertahankannya?"
Berprinsip tanpa Konflik
Tanpa prinsip, maka cara Anda mengambil keputusan dalam kehidupan ini akan selalu didasarkan pada emosi, situasi dan kondisi sehingga ego akan mengalahkan etika. Meski mempertahankan prinsip itu sesuatu yang sulit dilakukan oleh sebagian orang tetapi tidak mempertahankannya akan jauh lebih merugikan.
Seseorang yang berani mempertahankan prinsipnya akan merasakan sebuah kepuasan diri. Ia akan tahu potensi dirinya dan posisinya dan bisa bersikap sedikit keras kepala untuk tidak bergeming. Hal ini tentu saja bukan sikap negatif jika konteksnya adalah mempertahankan prinsip hidup Anda yang suci. Tapi tentu saja dengan catatan, Anda melakukannya bukan karena demi keuntungan pribadi (hal ini mudah dilakukan tanpa memiliki prinsip hidup) namun Anda melakukannya karena karakter, kesadaran dan batin Anda mengandalkan Anda. Anda melakukannya seolah hidup Anda bergantung pada prinsip itu.
Pada akhirnya jika Anda berani mempertahankan prinsip hidup, Anda akan merasakan kedamaian dan percaya diri yang membantu pada penemuan jati diri Anda. Jika Anda adalah seorang pemimpin perusahaan, anak buah Anda akan "melihat" ini sebagai sebuah sikap kewibawaan dan kepemimpinan yang profesional, jika Anda adalah seorang Ibu atau Ayah tentu saja ini adalah sebuah sikap keteladanan yang luhur. Sebagai sebuah pribadi, Anda tidak akan lagi menjadi pribadi yang plin-plan, lemah, pengecut, tidak lagi mudah dimanfaatkan dan mudah dilecehkan hak-haknya oleh orang lain. Semoga bermanfaat.
Sumber Artikel : http://www.e-psikologi.com/epsi/artikel.asp
Langganan:
Postingan (Atom)