Teori-Teori tentang hubungan antara tingkah laku dengan lingkungan
Sebagaimana cabang dari suatu ilmu pengatahuan, psikologi lingkungan pun memerlukan teori-teori. Teori-teori ini diperlukan untuk menata berbagai data dan informasi yang jumlahnya besar dan sangat bervariasi sedemikian rupa sehingga para peneliti bisa memahaminya. Atas dasar itulah dapat dibuat berbagai kesimpulan, peramalan, generalisasi, pengembangan riset, atau melaksanakan usaha-usaha operasional.
Sebagai ilmu yang baru berkembang, belum banyak teori yang telah disusun oleh pakar-pakar psikologi lingkungan apalagi jika di pertimbangkan bahwa cabang ini belum mendapatkan bentuknya yang mapan. Konsep-konsep yang ada belum bisa didefeniskan dengan jelas dan hubungan antara variable-variabel belum dapat diterangkan dengan tuntas. Walaupun demikian, teori-teori yang sudah sempat tumbuh dan berkembang setidak-tidaknya dapat memberikan jawaban terhadap sebagian permasalahan yang timbul dalam psikologi lingkungan.
1. Teori stress lingkungan. Menurut teori ini, ada dua elemen dasar yang menyebabkan manusia bertingkahlaku terhadap lingkungannya. Elemen pertama adalah stressor dan elemen kedua adalah stress itu sendiri. Stressor adalah elemen lingkungan (stimuli) yang merangsang individu seperti kebisingan, suhu udara, dan kepadatan. Stress (ketegangan, tekanan jiwa) adalah hubungan antara stressor dengan reaksi yang ditimbulkan dalam diri individu.
Dalam rangka teori stress lingkungan ini ada dua pendapat mengenai stress itu. Menurut Selye (1956, dalam Bell et al, 1978:68) stress diawali dengan reaksi waspada (alarm reaction) terhadap adanya ancaman yang ditandai oleh proses tubuh secara otomatis seperti meningkatnya produksi adrenalin. Keadaan ini segera disusul yang menggigil di udara dingin atau berkeringat di udara panas.
Namun, menurut Lazarus (1966 dalam Bell et al, 1978:69) stress bukan hanya mengandung factor faal, melainkan juga melibatkan kesadaran (kognisi), khususnya dalam tingkah laku coping. Ketika individu hendak bereaksi terhadap stressor ia harus menentukan strategi dengan memilih tingkah laku, yaitu menghindar, menyerang secara fisik atau dengan kata-kata saja, dan mencari kompromi. Penetuan pilihan itu dilakukan di dalam kognisi.
2. Teori pembangkitan (arousal approach). Inti dari teori ini adalah meningkatnya (bangun, bangkit) atau berkurangnya kegiatan di otak sebagai suatu akibat dari proses faal tertentu (Hebb, 1972 dalam fisher et al, 1984:663-665). Perubahan kegiatan otak ini merupakan variable perantara (Intervening variable) antara rangsang yang datang dari lingkungan dengan tingkah lakuyang terjadi. Misalnya, seseorang datang dari desa dengan kereta api. Ketika turun di stasiun ia menghadapi berbagai stimuli seperti keramain, kebisingan, udara yang panas, dan polusi udara. Sebagai indicator bahwa pada diri orang desa itu terjadi peningkatan kegiatan pada syaraf otonom seperti bertambah cepatnya detak jantung, naiknya tekanan darah, dan produksi adrenalin yang lebih cepat.
Setelah ada tanda-tanda peningkatan kegiatan di otak itu maka dapat kita ramalkan akan terjadi perilaku tertentu seperti bertambah waspada, segera melakukan sesuatu, misalnya mencari kendaraan umum, atau menjadi agresif (marah-marah). Selanjutnya dikatakan oleh teori ini bahwa arousal yang rendahakan menghasilkan pekerjaan (performance) yang rendah pula. Makin tinggi arousalnya, makin tinggi hasil pekerjaan itu. Pada tugas-tugas yang mudah, hasilnya akan terus meningkat dengan meningkatnya arousal, tetapi pada pekerjaan-pekerjaan yang sulit, hasil pekerjaan justru akan menurun jika arousal sudah melebihi batas tertentu. Dalam psikologi lingkungan, dalam hubungan antara arousal dan performance ini dinamakan hokum Yerkes dan Dodson.
Hukum Yerkes-dodson. Pembangkitan penginderaan (arousal) melalui peningkatan rangsang, dapat meningkatan hasil kerja pada tugas-tugas yang sederhana, tetapi justru akan menggangu dan menurunkan prestasi kerja dalam tugas-tugas yang rumit. Misalnya, suara music didalam mobil bisa merangsang semangat pengemudi, tetapi suara music yang sama dapat mengganggu konsentrasi orang yang sedang memecahkan persoalan matematika. Hokum ini paling nyata efeknya jika berhubungan dengan rangsang suhu udara, kepadatan penduduk, dan suara bising (Bell et al, 1978:73). Misalnya kalau seorang sedang santai menggambar atau mencuci mobil maka bunyi radio yang memperdengarkan music rock, akan menambah semangat kerja orang itu. Makin keras musiknya, dia makin senang. Namun jika ia sedang serius membuat pekerjaan rumahnya dan kebetulan ada soal yang sulit maka setelah melalui titik tertentu, kebisingan itu dianggap menggangu dan sudah tidak menyenangkan lagi.
3. Teori kelebihan beban (environmental load theory). Teori ini dikemukakan oleh cohen (1977) dan milgram (1970) (dalam fisher et al, 1984:65-66). Prinsip dasar teori ini adalah manusia mempunyai keterbatasan dalam mengolah stimulus dari lingkungannya. Jika stimulus lebih besar dari pada kapasitas pengolahan informasi maka terjadilah kelebihan beban (overload) yang mengakibatkan sejumlah stimuli harus dia abaikan agar individu dapat memusatkan perhatiannya pada stimuli tertentu saja. Strategi pemilihan tingkah laku coping untuk memilih stimuli mana yang mau diprioritaskan atau diabaikan pada suatu waktu tertentu inilah yang menetukan reaksi positif atau negative dari individu itu terhadap lingkungannya.
4. Teori kekurangan beban (understimulation theory). Teori ini kebalikan dari teori kelebihan beban yang justru menyatakan bahwa manusia tidak akan senang jika ia tidak mendapat cukup rangsang dari lingkungannya. Zubek (69, dalam Bell et al, 1978;76) mengatakan bahwa kurangnya rangsang terhadap indera manusia menyebabkan timbulnya rasa kosong, sepi, dan cemas. Akibatnya juga bisa timbul kebosanan dan kejenuhan.
5. Teori tingkat adaptasi (adaptation level theory). Seperti sudah diuraikan diatas, manusia menyesuaikan responsnya terhadap rangsang yang datang dari luar, sedangkan stimulus pun dapat diubah sesuai dengan keperluan manusia . Wohlwill (1974, dalam Bell et al,78:78) menamankan penyesuian respons terhdap stimulus sebagai adaptasi, sedngkan penyesuian stimulus pada keadaan individu sebagai adjustment. Dalam hubungan ini dikatakan oleh Wohlwill bahwa setiap orang mempunyai tingkat adaptasi (adaptation level) tertentu terhadap rangsang atau kondisi lingkungan tertentu. Misalnya, orang Tibet mempunyai tingkat adaptasi yang sangat tinggi terhadap kadar oksigen dalam udara karena mereka biasa hidup di pegunungan yang sangat tinggi diatas permukaan laut. Untuk orang-orang biasa, berada ditempat yang kadar oksigennya rendah seperti itu tentu akan menimbulkan masalah. Dengan demikian jelaslah bahwa reaksi orang terhadap lingkungannya bergangtung pada tingkat adapts orang yang bersangkutan pada lingkungan itu. Makin jauh perbedaan antara keadaan lingkungan dengan tingkat adaptasi, makin kuat pula reaksi orang itu.
Kondisi lingkungan yang dekat atau sama dengan tingkat adaptasi adalah kondisi optimal. Orang cenderung selalu mempertahankan kondisi optimal ini, dalam skema Bell dinamakan Kondisi homeostatis. Ada tiga kategori stimulus yang dijadikan tolak ukur dalam hubungan lingkungan dan tingkah laku, yaitu stimulus fisik yang merangsang indera (suara, cahaya, suhu udara), stimulus social, dan gerakan. Untuk ketiga stimulus itu masing-masing mengandungtiga dimensi lagi, yaitu intensitas, diversitas dan pola.
6. Teori kendala tingkah laku (the behavior constraint theory). Seperti pernah diuraikan diatas, manusia pada hakikatnya ingin mempunyai kebebasan untuk menetukan sendiri tingkah lakunya. Dikatakan oleh J.Bhrem (Bell et al, 1978: 82-83) bahwa jika individu mendapat hambatan terhadap kebebasannya untuk melakukan sesuatu ia akan berusaha untuk memperoleh kebebasannya itu kembali. Reaksi untuk mendapatkan kembali kebebasan itu dinamakan Psychology reactance yang tidak selalu perlu terjadi hanya setelah individu langsung mengalami sendiri suatu situasi, tetapi juga dimungkinkan timbulnya psychological reactance berdasarkan antisipasi kemasa depan.
7. Teori psikologi ekologi. Teori ini dikemukakan oleh Barker (1968,dalam Bell et al, 1978:83-85). Kekhususannya adalah teori ini mempelajari hubungan timabl balik antara lingkungan dan tingkah laku, sedangkan teori-teori sebelumnya pada umumnya hanya memberikan perhatian pada pengaruh lingkungan terhadap tingkah laku saja. Suatu hal yang unik pada teori ini adalah adanya set tingkah laku (Behavioral setting) yang dipandang sebagai factor tersendiri. Set tingkah laku adalah pola tingkah laku kelompok (bukan tingkah laku individu) yang terjadi sebagai akibat kondisi lingkungan tertentu (phsycal milleu).
8. Teori cara berpikir. Berbeda dari teori-teori sebelumnya, teori ini justru mengkhususkan diri pada pengaruh tingkah laku pada lingkungan. H.L. Leff (1978:10-11) menyatakan bahwa ada dua macam cara orang berpikir dalam menanggapi rangsang dari lingkungan. Pertama adalah cara berpikir linier dan kedua adalah cara berpikir system. Perbedaan cara berpikir ini menyebabkan perbedaan dalam reaksi terhadpa lingkungan.
Metode penelitian Psikologi Lingkungan
Pada umumnya psikologi lingkungan menggunakan juga metode-metode yang digunakan dalam psikologi umum dan cabang-cabang psikologi lainnya. Secara garis besar ada tiga macam rancangan penelitian yang biasa digunakan dalam psikologi, yaitu rancangan eksperimental, rancangan korelasional, dan rancangan deskriptif.
Rancangan eksprimental adalah yang paling sulit diterapkan dalam psikologi lingkungan karena dalam pelakasanaannya rancangan ini mempersyaratkan agar semua variabel (faktor) di luar variabel yang sedang diteliti, dapat dikontrol oleh peneliti. Selain itu, biasanya penelitian eksperimental dilakukan dalam laboratorium. Padahal kejadian-kejadian dan gejala-gejala dalam alam seperti bencana alam, pemandangan alam, atau urbanisasi, sulit sekali dikontrol, apalagi dibawa kedalam laboratorium. Oleh karena itu, rancangan penelitian eksperimental ini hanya dapat dilakukan dalam topik-topik yang sangat terbatas saja dalam psikologi lingkungan, misalnya tentang pengaruh bising, kadar oksigen, pencahayaan, altitude (ketinggian dari permukaan laut), dan variabel-variabel lain yang bisa disimulasikan dalam laboratorium terhadap konsentrasi kerja atau daya pikir seseorang.
Rancangan kedua yang lebih banyak dilakukan dalam penelitian psikologi lingkungan adalah rancangan korelasional. Dengan rancangan ini peneliti berusaha mencari bagaimana hubungan antara satu variabel dengan variabel lainnya. Misalnya, hubungan antara musim tanam atau musim panen di pedesaan dengan mobilitas penduduk desa-kota. Atau hubungan antara kesuburan tanah di lokasi transmigrasi dengan frekuensi transmigran yang melarikan diri dari lokasi tersebut.
Rancangan ini lebih mudah dilakukan karena bisa dilakukan dengan langsung mengadakan pengamatan atau pengumpulan data di lapangan. Akan tetapi, kelemahannya adalah kadang-kadang tidak bisa diketahui dalam hubungan itu variabel mana yang merupakan penyebab dan mana yang merupakan akibat. Rancangan yang terbanyak dipakai adalah rancangan deskriptif, yaitu rancangan penelitian yang tujuannya hanya untuk menggambarkan keadaan manusia dalam suatu lingkungan tertentu dan bagaimana melakukan rekayasa atau campur tangan sehingga hubungan yang ada mengoptimalkan kondisi manusia maupunlingkungannya. Persyaratan dari rancang deskriptif ini hanyalah alat-alat pengumpul data yang valid dan reliable. Rancangan ini tidak terbatas pada laboratorium maupun waktu.
Sumber :
Sarwono, SW. 1992. Psikologi Lingkungan. Jakarta : Grasindo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar