A.Pengertian kesesakan
Menurut Altman (1975), kesesakan adalah suatu proses interpersonal pada suatu tingkatan interaksi manusia satu dengan lainnya dalam suatu pasangan atau kelompok kecil. Perbedaan pengertian antara Crowding (kesesakan) dengan density (kepadatan) sebagaimana yang telah dibahas di bab terdahulu tidaklah jelas benar, bahkan kadang-kadang keduanya memiliki pengertian yang sama dalam merefleksikan pemikiran secara fisik dari sejumlah manusia dalam suatu kesatuan ruang.
Menurut Altman (1975), Heimstra dan McFarling (1978) antara kepadatan dan kesesakan memiliki hubungan yang erat karena kepadatan merupakan salah satu syarat yang dapat menimbulkan kesesakan, tetapi bukan satu-satunya syarat yang dapat menimbulkan kesesakan, kepadatan yang tinggi dapat mengakibatkan kesesakan pada individu (Heimstra dan McFarling,1978; Holahan,1982).
Baum dan Paulus (1987) menerangkan bahwa proses kepadatan dapat dirasakan sebagai kesesakan atau tidak dapat ditentukan oleh penilaian individu berdasarkan empat faktor :
a. Karakteristik seting fisik
b. Karakteristik seting sosial
c. Karakteristik personal
d. Kemampuan beradaptasi
Stokols (dalam Altman,1975) membedakan antara kesesakan bukan social (nosocial crowding) yaitu dimana factor-faktor fisik menghasilkan perasaan terhadap ruang yang tidak sebanding, seperti sebuah raung yang sempit, dan kesesakan social (social crowding) yaitu perasaan sesak mula-mula datang dari kehadiran orang lain yang terlalu banyak. Stokols juga menambahkan perbedaan antara kesesakan moleculer dan molar. Kesesakan molatr (molar crowding) yaitu perasaan sesak yang dapat dihubungkan dengan skala luas, populasi penduduk kota, sedangkan kesesakan molekuler (Molekuler crowing) yaitu perasaan sesak yang menganalisis individu, kelompok kecil dan keajadian-kejadian interpersonal.
B.Teori-teori kesesakan
Untuk menerangkan terjadinya kesesakan dapat digunakan tiga model teori, yaitu beban stimulus, kendala perilakau dan teori ekologi (Bell.,1978; Holahan,1982).
Toeri beban stimulus. Pendapat teori ini berdasarkan diri pada pandangan bahwa kesesakan timbul kegagalan memproses stimulus atau informasi dari lingkungan. Schmidt dan Keating (1979) mengatakan bahwa stimulus disini dapat berasal dari kehadiran banyak orang beserta aspek-aspek interaksinya, maupun kondisi-kondisi fisik dari lingkungan sekitar yang menyebabkan bertambahnya kepadatan social. Berlebihnya informasi dapat terjadi karena bebrapa factor, seperti :
a. Kondisi lingkungan fisik yang tidak menyenangkan
b. Jarak antar individu (dalam arti fisik) yang terlalu dekat
c. Suatu percakapan yang tidak dikehendaki
d. Terlalu banyak mitra interaksi
e. Interaksi yang terjadi dirasa terlalu dalam atau terlalu lama
Teori Ekologi. Micklin (dalam Holahan,1982) mengemukakan sifat-sifat umum model ekologi pada manusia. Pertama, teori ekologi perilaku memfokuskan pada hubungan timbal balik antara orang dengan lingkungannya. Kedua, unit analisisnya adalah kelompok social dan bukan individu, dan organisasi social memegang peranan sangat penting. Ketiga, menekankan pada distribusi dan penggunaan sumber-sumber material dan social. Undermanning atau undercrowding. Adequate manning terjadi bila jumlah warga sesuai (tidak kuarng dan tidak lebih) dengan syarat seting. Overmanning atau overcrowding terjadi bila jumlah penghuni berlebihan sehingga seting tersebut tidak mampu lagi menampungnya.
Teori Kendala Perilaku. Menurut teori ini, suatu situasi akan dianggap sesak bila kepadatan atau kondisi lain yang berhubungan dengannya membatasi aktifitas individu dalam suatu tempat. Pendekatan ini didasari oleh teori reaktansi psikologi (Psychological reactance) dari Brehm (dalam Schmidt dan Keating,1979) yang menekankan kebebasan memilih sebagai factor pendorong penting dalam persepsi dan perilaku manusia. Ia mengatakan bahwa bila kebebasan itu terhambat, maka individu akan mengadakan suatu reaksi dengan berusaha menemukan kebebasan yang hilang tadi, yang digunakan untuk mencapai tujuannya.
Proshansky dan kawan-kawan (1976) mengemukakan bahwa pengaruh psikologis dari kesesakan yang utama adalah kebebasn memilih individu dalam situasi yang sesak. Dengan bertambahnya kehadiran orang lain menyebabkan gagalnya usaha yang dilakukan individu dalam mencapai tujuannya. Kesesakan terjadi bila kehadiran orang lain dalam suatu seting membatasi kebebasan individu dalam mencapai tujuannya.
C.Faktor-faktor yang mempengaruhi kesesakan
Terdapat tiga factor yang mempengaruhi kesesakan yaitu : personal, social, dan fisik, yang akan dibahas satu persatu.
Faktor Personal. Factor personal terdiri dari control pribadi dan locus of control; budaya, pengalaman, dan proses adaptasi ; serta jenis kelamin dan usia.
a). Kontrol pribadi dan locus of control
Seligman dan kawan-kawan (dalam Worchel dan Cooper,1983) mengatakan bahwa kepadatan tinggi baru akan menghasilkan kesesakan apabila individu sudah tidak mempunyai control terhadap lingkungan di sekitarnya, sehingga kesesakan dapat dikurangi pengaruhnya bila individu tersebut memainkan peran control pribadi didalamnya.
b). Budaya, pengalaman, dan proses adaptasi
Suatu penelitian yang dilakukan oleh Nasar dan Min (dalam Gifford,1987), yang mencoba membandingkan kesesakan yang dialami oleh orang Asia dan orang Mediterania yang tinggal di asrama yang sama di Amerika Utara, menemukan adanya perbedaan persepsi terhadap kesesakan pada individu dengan latar belakang budaya yang berbeda, dimana orang Mediterania merasa lebih sesak daripada orang Asia.
Sundsstrom (dalam Gifford,1987) mengatakan bahwa pengalaman pribadi dalam kondisi padat dimana kesesakan terjadi dapat mempengaruhi tingkat toleransi individu terhadap stress akibat kesesakan yang dialami. Tingkat toleransi akibat adaptasi ini berguna bila individu dihadapkan pada situasi yang baru.
Bell dan kawa-kawan (1978) mengatakan bahwa semakin sering atau konstan suatu stimulus muncul, maka akan timbul proses pembiasaan yang bersifat psikologis (adaptasi) dan fisik (habituasi) dalam bentuk respon yang menyebabkan kekuatan stimulus tadi melemah. Karena proses pembiasaan ini berhubungan dengan waktu, maka dalam kaitannya dengan kesesakan di kawasan tempat tinggal, lamanya individu tinggal dikawasan tersebut akan mempengaruhi perasaan sesaknya.
c). Jenis kelamin dan usia
Penelitian yang telah dilakukan menunjukan bahwa pada pria pengalaman akan kesesakan ini lebih terlihat dibanding wanita karena lebih menunjukan sikap-sikap reaktif terhadap kondisi tersebut. Sikap reaktif itu tercermin dalam sikap yang lebih agresif, kompetitif, dan negative dalam berinteraksi dengan orang lain (Altman, 1975; Freedman,1975; Holahan,1982). Sementara itu Dabbs (1977) mengatakan bahwaa perbedaan jenis kelamin tidaklah berpengaruh terhadap kesesakan, meliankan lenih dipengaruhi oleh jenis kelamin mitra yang dihadapi.
Faktor Sosial. Menurut Gifford (1987) secara personal individu dapat mengalami lebih banyak atau lebih sedikit mengalami kesesakan cenderung di pengaruhi oleh karakteristik yang sudah dimiliki, tetapi di lain pihak pengaruh orang lain dalam lingkungan dapat juga memperburuk keadaan akibat kesesakan. Factor-faktor social yang berpengaruh tersebut adalah :
a).Kehadiran dan perilaku orang lain
Kehadiran orang lain akan menimbulkan perasaan sesak bila individu merasa terganggu dengan kehadiran orang lain. Schiffenbauer (dalam Gifford,1987) melaporkan bahwa penghuni asrama akan merasa lebih sesak bila terlalu banyak menerima kunjungan orang lain. Penghuni yang menerima kunjungan lebih banyak juga merasa lebih tidak puas dengan ruangan, teman sekamar, dan proses belajar mereka.
b). Formasi Koalisi
Keadaan ini didasari pada pendapat yang mengatakan bahwa meningkatnya kepadatan sosiial akan dapat meningkatkan kesesakan. Karenanya banyak penelitian yang menemukan akibat penambahan teman sekamar (dari satu menjadi dua orang teman) dalam asrama sebagai suatu keadaan yang negative. Keadaan negative yang muncul berupa stress, perasaan tidak enak, dan kehilangan control, yang disebabkan karena terbentuknya koalisi di satu pihak dan satu orang yang terisolasi di lain pihak (Gifford,1987).
c). Kualitas Hubungan
Kesesakan menurut penelitian yang dilakukan oleh Schaffer dan Pstterson (dalam Gifford,1987) sangat dipengaruhi oleh seberapa baik seorang individu dapat bergaul dengan orang lain. Individu yang percaya bahwa orang lain mempunyai pandangan yang sama dengan dirinya merasa kurang mengalami kesesakan bila berhubungan dengan orang-orang tersebut.
d). informasi yang tersedia.
Kesesakan juga dipengaruhi oleh jumlah dan bentuk informasi yang muncul sebelumdan selama mengalami keadaan yang padat. Individu yang tidak mempunyai informasi tentang kepadatan merasa lebih sesak daripada individu yang sebelumnya sudah mempunyai informasi tentang kepadatan (Fisher dan Baum dalam Gifford,1987).
Faktor Fisik. Gove dan Hughes (1983) menemukan bahwa kesesakan di dalam rumah berhubungan dengan factor-faktor fisik yang berhubungan dengan kondisi rumah seperti jenis rumah, urutan lantai, ukuran rumah (perbandingan jumlah penghuni dan luas ruangan yang tersedia) dan suasana sekitar rumah.
Variasi arsitektural
Dari penelitian yang telah dilakukan oleh Baum dan Valins (1977) di temukan bahwa desain koridor yang panjang akan menimbulkan perilaku kompetitif, penarikan diri, rendahnya perilaku kooperatif, dan rendahnya kemampuan untuk mengontrol interaksi.
McCartey dan Saegert (dalam Gifford,1987) menemukan bahwa bila dibandingkan dengan bangunan horizontal, kehidupan dibangun vertical dapat menyebabkan perasaan sesak yang lebih besar dan menimbulkan sikap-sikap negative seperti kurangnya kemampuan untuk mengontrol, rendahnya rasa aman, merasa kesulitan dalam mencapai privasi, rendahnya kepuasan terhadap bangunan yang ada, dan hubungan yang tidak erat di antara sesame penghuni.
D.Pengaruh Kesesakan terhadap perilaku
Bila suatu lingkungan berubah menjadi sesak (crowded), sumber-sumber yang ada di dalamnya pun bisa menjadi berkurang, aktivitas seseorang terganggu oleh aktivitas orang lain, interaksi interpersonal yang tidak diinginkan akan menggangu individu dalam mencapai tujuan personalnya, gangguan terhadap norma tempat dapat meningkatkan gejolak dan ketidaknyamanan (Epstien,1982) serta disorganisasi keluarga, agresi penarikan diri secara psikologis (psychological withdrawal), dan menurunnya kualitas hidup (Freedman,1973).
Freedman (1975) memandang kesesakan sebagai suatu keadaan yang dapat bersifat positif maupun negative tergantung ari situasinya. Jadi kesesakan dapat dirasakan sebagai suatu pengalaman yang kadang-kadang menyenangkan dan kadang-kadang tidak menyenangkan. Bahkan dari banyak penelitiannya diperoleh kesimpulan bahwa kesesakan sama sekali tidak berpengaruh negative terhadap subjek penelitian.
Proshansky dkk.(1976) dan Altman (1975) juaga memiliki asumsi yang sama dengan Freedman. Kesesakan mempunyai konotasi positif maupun negative. Kadang-kadang situasi yang sesak justru dapat dinikmati, misalnya saja dalam suatu pertandingan olah raga di stadion besar, jika penontonnya hanya sedikit, tentu suasana akan menjadi kurang meriah dan hal ini dapat mempengaruhi pemain. Dalam pesta, pameran, pertunjukan seni, dan sejenisnya, orang lebih suka kalau suasananya ramai.
Pengaruh negative kesesakan tercermin dalam bentuk penurunan-penurunan psikologis, fisiologis, dan hubungan social individu. Penagruh psikologis yang ditimbulkan oleh kesesakan antara lain adalah perasaan kurang nyaman, stress, kecemasan, suasana hati yang kurang baik, prestasi kerja dan prestasi belajar menurun, agresivitas meningkat, dan bahkan juga gangguan mental yang serius.
Individu yang berada dalam kesesakan juga akan mengalami malfungsi fisiologis seperti meningkatnya tekanan darah dan detak jantung, gejala-gejala psikosomatik, dan penyakit-penyakit fisik yang serius(Worchel and Cooper,1983)
Perilaku sosial yang sering kali timbul karena situasi yang sesak antara lain adalah kenakalan remaja, menurunya sikap gotong-royong dan saling membantu, penarikan diri dari lingkuangan social, berrkembangnya sikap acuh tak acuh, dan semakin berkurangnya intensitas hubunagn sosial (Hoalahan,1982).
Sumber : Prabowo, H. 1998. Pengantar Psikologi Lingkungan. Seri Diktat Kuliah. Jakarta: Penerbit Gunadarma
Senin, 18 April 2011
Minggu, 10 April 2011
Peran Stress Dalam Memahami Hubungan Manusia Dengan Lingkungan
Menurut Veitch & Arkkelin (1995) stress dicirikan sebagai proses yang membuka pikiran kita, sehingga kita akan ketemu dengan sensor,menjadi sadar akan bahaya,memobilisasi usaha kita untuk mengatasinya, mendorong untuk melawannya, serta yang membuat kiata berhasil atau gagal dalam beradaptasi. Proses ini akan mengikuti suatu alur yang logis seperti pada gambar 3.7. ketika suatu sensor kita evaluasi, kita seleksi stategi-stategi untuk mengatasinya kita lakukan “pergerakan-pergerakan “ tubuh secara fisiologis dan psikologi untuk melawan stressor,dan lalu mengatasinya dengan suatu tindakan.jika coping berhavior (perlakuan penyesuaian diri) ini berhasil, maka adaptasi akan meningkat dan pengaruh stress menghilangkan. Sementara jika coping berhavior gagal, maka stress akan menerus, pembangkitan fisik dan fisiologis tidak dapat dihindari sehingga penyakit fisik akan menyerang.
Ketika tidak mengalami stress, individu umumnya menggunakan banyak waktunya untuk mencapai keseimbangan dengan lingkungannya. Dalam keadaan seperti itu, ada waktu-waktu tertentu dimana kita sebenarnya justru mengalami stress. Bahkan suatu stress terkadang tidak terkait dengan masalah ketidakseimbangan (disekuilibrium). Ada waktu-waktu tertentu, dimana lingkungan menyajikan tantangan yang terlalu besar atau individu dapat menghilangkannya dengan kemampuan coping behavior. Di lain pihak, individu juga dapat mengalami keduanya. Pada kondisi inilah terjadi disekuilibrium, yang tergantung dari proses-proses fisik, psikologis, dan fisiologis.
Hal lain yang belum dibahas adalah elemen-elemen lingkungan yang dapat mempengaruhi proses terjadinya disekuilibrium maupun ekuilibrium dalam kaitan dalam kaitan manusia dengan lingkungannya. Kita dapat merasakan suara dibawah kondisi tertentu dapat dipersepsi sebgai kebisingan dan bagaimana persepsi ini mempengaruhi respon psikologis dan fisiologis terhadap sumber kebisingan. Sama halnya ketika kita menghadapi elemen-elemen lingkungan lainnya seperti kondisi atmosfir, kepadatan penduduk, rancangan arsitektur, dan produk tekhnologi. Singkatnya, terdapat banyak aspek lingkungan yang dapat menciptakan stress. Kita akan mencoba meguraikan kondisi-kondisi dimana hal tersebut akan terjadi dan mencermatinya pada individu-individu yang dipengaruhi. Pada akhirnya kita dapat menyarankan cara-cara pencegahan terhadap stress dan pengaruh yang merugikan. Sehingga, kedua hal tersebut dapat diasumsikan untuk dapat kita hindari.
Sumber : Prabowo, H. 1998. Pengantar Psikologi Lingkungan. Seri Diktat Kuliah. Jakarta: Penerbit Gunadarma.
Ketika tidak mengalami stress, individu umumnya menggunakan banyak waktunya untuk mencapai keseimbangan dengan lingkungannya. Dalam keadaan seperti itu, ada waktu-waktu tertentu dimana kita sebenarnya justru mengalami stress. Bahkan suatu stress terkadang tidak terkait dengan masalah ketidakseimbangan (disekuilibrium). Ada waktu-waktu tertentu, dimana lingkungan menyajikan tantangan yang terlalu besar atau individu dapat menghilangkannya dengan kemampuan coping behavior. Di lain pihak, individu juga dapat mengalami keduanya. Pada kondisi inilah terjadi disekuilibrium, yang tergantung dari proses-proses fisik, psikologis, dan fisiologis.
Hal lain yang belum dibahas adalah elemen-elemen lingkungan yang dapat mempengaruhi proses terjadinya disekuilibrium maupun ekuilibrium dalam kaitan dalam kaitan manusia dengan lingkungannya. Kita dapat merasakan suara dibawah kondisi tertentu dapat dipersepsi sebgai kebisingan dan bagaimana persepsi ini mempengaruhi respon psikologis dan fisiologis terhadap sumber kebisingan. Sama halnya ketika kita menghadapi elemen-elemen lingkungan lainnya seperti kondisi atmosfir, kepadatan penduduk, rancangan arsitektur, dan produk tekhnologi. Singkatnya, terdapat banyak aspek lingkungan yang dapat menciptakan stress. Kita akan mencoba meguraikan kondisi-kondisi dimana hal tersebut akan terjadi dan mencermatinya pada individu-individu yang dipengaruhi. Pada akhirnya kita dapat menyarankan cara-cara pencegahan terhadap stress dan pengaruh yang merugikan. Sehingga, kedua hal tersebut dapat diasumsikan untuk dapat kita hindari.
Sumber : Prabowo, H. 1998. Pengantar Psikologi Lingkungan. Seri Diktat Kuliah. Jakarta: Penerbit Gunadarma.
Stres Lingkungan
A. Stres
Istilah stress dikemukakan oleh Hans Selye (dalam Sehnert,1981) yang mendefinisikan stress sebagai respon yang tidak spesifik dari tubuh pada tiap tututan yang dikenakan padanya. Dengan kata lain istilah stress dapat digunakan untuk menunjukan suatu perubahan fisik yang luas yang disulut oleh berbagai faktor psikologis atau faktor fisik atau kombinasi kedua faktor tersebut. Menurut Lazarus (1976) stress adalah suatu keadaan psikologis individu yang disebabkan karena individu dihadapkan pada situasi internal dan eksternal. Menurut Korchin (1976) keadaan stress muncul apabila tuntutan-tuntutan yang luar biasa atau terlalu banyak mengancam kesejahteraan atau integritas seseorang. Stress tidak saja kondisi yang menekan seseorang ataupun keadaan fisik atau psikologis seseorang maupun reaksinya terhadap tekanan nadi, akan tetapi stress adalah keterkaitan antar ketiganya (Prawitasari,1989). Karena banyaknya definisi mengenai stres, maka Sarafino (1994) mencoba mengkonseptualisasikan kedalam tiga pendekatan, yaitu : stimulus, respon, dan proses.
B. MODEL STRES
a. Response-based model
Stress model ini mengacu sebagai sekelompok gangguan kejiwaan dan respon-respon psikis yang timbul pada situasi sulit. Model ini mencoba untuk mendefinisikan pola-pola kejiwaan dan respon-respon kejiwaan yang diukur pada lingkunagn yang sulit. Suatu pola atau sekelompok dari respon disebut sebagai sebuah sindrom. Pusat perhatian dari model ini adalah bagaimana stressor yang berasal dari peristiwa lingkungan yang berbeda-beda dapat menghasilkan respon stress yang sama.
b. Stimulus-based model
Model stress ini memusatkan perhatian pada sifat-sifat stimuli stress. Tiga karakteristik penting dari stimuli strees adalah sebagai berikut :
(1) Overload
Karakteristik ini diukur ketika sebuah stimulus datang secara intens dan individu tidak dapat mengadaptasi lebih lama lagi.
(2) Conflict
Konflik diukur ketika sebuah secara simultan membangkitkan dua atau lebih respon-respon yang tidak berkesesuaian. Situasi-situasi konflik bersifat ambigu, dalam arti stimulus tidak memperhitungkan kecenderungan respon yang wajar.
(3) Uncontrollability
Uncontrollability adalah peristiwa-peristiwa dari kehidupan yang bebas/ tidak tergantung pada perilaku dimana pada situasi ini menunjukan tingkat stress yang tinggi. Penelitian tentang tujuan ini menunjukan bahwa stress diproduksi oleh stimulus aversive yang mungkin diolah melebihi kemampuan dan kontrol waktu serta jangka waktu dari stimuli ini daripada dengan kenyataan penderitaan yang dialami. Dampak stress dari stimuli aversive dapat diperkecil jika individu percaya dapat mengontrolnya.
c. Interactional model
Model ini merupakan perpaduan dari response-based model dan stimulus-based model. Ini mengingatkan bahwa dua model terdahulu membutuhkan tambahan informasi mengenai motif-motif individual dan kemampuan mencoping (mengatasi). Model ini memperkirakan bahwa stress dapat diukur ketika dua kondisi bertemu,yaitu :
(1) Ketika individu menerima ancaman akan motif dan kebutuhan penting yang dimilikinya. Jika telah berpengalaman stress sebelumnya, individu harus menerima bahwa lingkungan mempunyai ancaman pada motif-motif atau kebutuhan-kebutuhan penting pribadi.
(2) Ketika individu tidak mampu untuk mengcoping lebih merujuk pada kesimpulan total dari metode personal, dapat digunakan untuk menguasai situasi yang penuh stress. Coping termasuk rangkaian dari kemampuan untuk bertindak pada lingkungan dan mengelola gangguan emosioanal, kognitif serta reaksi psikis.
Pendekatan interaksional beranggapan bahwa keseluruhan pengalaman stress didalam beberapa situasi akan tergantung pada keseimbangan antara stressor, tuntutan dan kemampuan mencoping. Stress dapat menjadi tinggi apabila ada ketidak seimbangan antara dua faktor, yaitu karena tuntutan melampaui kemampuan coping. Stress dapat menjadi rendah apabila kemampuan coping melebihi tuntutan.
C. Jenis Stres
Holahan (1981) menyebutkan jenis stress yang dibedakan menjadi dua bagian, yaitu systematic stress dan pshycological stress. Systematic stress didefiniskan oleh Selye (dalam Holahan,1981) sebagai respon non spesifik dari tubuh terhadap beberapa tuntutan lingkungan. Ia menyebut kondisi-kondisi pada lingkungan yang menghasilkan stress, misalnya racun kimia atau temperature ekstrim, sebagai stressor. Selye mengidentifikasi tiga tahap dalam respon sistematik tubuh terhadap kondisi-kondisi penuh stress, yang diistilahkan General Adaptation syndrome (GAS).
Tahap pertama adalah alarm reaction dari system syaraf otonom, termasuk didalamnya penigkatan sekresi andrenalin, detak jantung, tekanan darah dan otot menegang. Tahap ini bisa diartikan sebagai pertahanan tubuh.
Selanjutnya ketiga, exhaustion atau kelelahan, akan terjadi kemudian apabila stressor datang secara intens dan dalam jangka waktu yang cukup lama, dan jika usaha-usaha perlawanan gagal untuk menyelesaikan secara adekuat.
Psychological stress terjadi ketika individu menjumpai kondisi lingkungan yang penuh stress sebagai ancaman yang kuat menantang atau melampaui kemampuan copingnya (Lazarus dalam Holahan,1981).sebuah secara potensi dapat terlihat sebagai suatu ancaman dan berbahaya secara potensial apabila melihat hal yang memalukan, kehilangan harga diri, kehilangan dan seterusnya.(dalam Heimstra & Mc Farling, 1978)
Hasil penelitian dari Levy dkk.(1978) ditemukan bahwa stress dapat timbul dari kondisi-kondisi yang bermacam-macam,seperti tempat kerja, dilingkungan fisik dan kondisi sosial. Stress yang timbul dari kondisi sosial bisa dari lingkungan rumah, sekolah atau pun tempat kerja.
Sumber : Prabowo, H. 1998. Pengantar Psikologi Lingkungan. Seri Diktat Kuliah. Jakarta: Penerbit Gunadarma
Istilah stress dikemukakan oleh Hans Selye (dalam Sehnert,1981) yang mendefinisikan stress sebagai respon yang tidak spesifik dari tubuh pada tiap tututan yang dikenakan padanya. Dengan kata lain istilah stress dapat digunakan untuk menunjukan suatu perubahan fisik yang luas yang disulut oleh berbagai faktor psikologis atau faktor fisik atau kombinasi kedua faktor tersebut. Menurut Lazarus (1976) stress adalah suatu keadaan psikologis individu yang disebabkan karena individu dihadapkan pada situasi internal dan eksternal. Menurut Korchin (1976) keadaan stress muncul apabila tuntutan-tuntutan yang luar biasa atau terlalu banyak mengancam kesejahteraan atau integritas seseorang. Stress tidak saja kondisi yang menekan seseorang ataupun keadaan fisik atau psikologis seseorang maupun reaksinya terhadap tekanan nadi, akan tetapi stress adalah keterkaitan antar ketiganya (Prawitasari,1989). Karena banyaknya definisi mengenai stres, maka Sarafino (1994) mencoba mengkonseptualisasikan kedalam tiga pendekatan, yaitu : stimulus, respon, dan proses.
B. MODEL STRES
a. Response-based model
Stress model ini mengacu sebagai sekelompok gangguan kejiwaan dan respon-respon psikis yang timbul pada situasi sulit. Model ini mencoba untuk mendefinisikan pola-pola kejiwaan dan respon-respon kejiwaan yang diukur pada lingkunagn yang sulit. Suatu pola atau sekelompok dari respon disebut sebagai sebuah sindrom. Pusat perhatian dari model ini adalah bagaimana stressor yang berasal dari peristiwa lingkungan yang berbeda-beda dapat menghasilkan respon stress yang sama.
b. Stimulus-based model
Model stress ini memusatkan perhatian pada sifat-sifat stimuli stress. Tiga karakteristik penting dari stimuli strees adalah sebagai berikut :
(1) Overload
Karakteristik ini diukur ketika sebuah stimulus datang secara intens dan individu tidak dapat mengadaptasi lebih lama lagi.
(2) Conflict
Konflik diukur ketika sebuah secara simultan membangkitkan dua atau lebih respon-respon yang tidak berkesesuaian. Situasi-situasi konflik bersifat ambigu, dalam arti stimulus tidak memperhitungkan kecenderungan respon yang wajar.
(3) Uncontrollability
Uncontrollability adalah peristiwa-peristiwa dari kehidupan yang bebas/ tidak tergantung pada perilaku dimana pada situasi ini menunjukan tingkat stress yang tinggi. Penelitian tentang tujuan ini menunjukan bahwa stress diproduksi oleh stimulus aversive yang mungkin diolah melebihi kemampuan dan kontrol waktu serta jangka waktu dari stimuli ini daripada dengan kenyataan penderitaan yang dialami. Dampak stress dari stimuli aversive dapat diperkecil jika individu percaya dapat mengontrolnya.
c. Interactional model
Model ini merupakan perpaduan dari response-based model dan stimulus-based model. Ini mengingatkan bahwa dua model terdahulu membutuhkan tambahan informasi mengenai motif-motif individual dan kemampuan mencoping (mengatasi). Model ini memperkirakan bahwa stress dapat diukur ketika dua kondisi bertemu,yaitu :
(1) Ketika individu menerima ancaman akan motif dan kebutuhan penting yang dimilikinya. Jika telah berpengalaman stress sebelumnya, individu harus menerima bahwa lingkungan mempunyai ancaman pada motif-motif atau kebutuhan-kebutuhan penting pribadi.
(2) Ketika individu tidak mampu untuk mengcoping lebih merujuk pada kesimpulan total dari metode personal, dapat digunakan untuk menguasai situasi yang penuh stress. Coping termasuk rangkaian dari kemampuan untuk bertindak pada lingkungan dan mengelola gangguan emosioanal, kognitif serta reaksi psikis.
Pendekatan interaksional beranggapan bahwa keseluruhan pengalaman stress didalam beberapa situasi akan tergantung pada keseimbangan antara stressor, tuntutan dan kemampuan mencoping. Stress dapat menjadi tinggi apabila ada ketidak seimbangan antara dua faktor, yaitu karena tuntutan melampaui kemampuan coping. Stress dapat menjadi rendah apabila kemampuan coping melebihi tuntutan.
C. Jenis Stres
Holahan (1981) menyebutkan jenis stress yang dibedakan menjadi dua bagian, yaitu systematic stress dan pshycological stress. Systematic stress didefiniskan oleh Selye (dalam Holahan,1981) sebagai respon non spesifik dari tubuh terhadap beberapa tuntutan lingkungan. Ia menyebut kondisi-kondisi pada lingkungan yang menghasilkan stress, misalnya racun kimia atau temperature ekstrim, sebagai stressor. Selye mengidentifikasi tiga tahap dalam respon sistematik tubuh terhadap kondisi-kondisi penuh stress, yang diistilahkan General Adaptation syndrome (GAS).
Tahap pertama adalah alarm reaction dari system syaraf otonom, termasuk didalamnya penigkatan sekresi andrenalin, detak jantung, tekanan darah dan otot menegang. Tahap ini bisa diartikan sebagai pertahanan tubuh.
Selanjutnya ketiga, exhaustion atau kelelahan, akan terjadi kemudian apabila stressor datang secara intens dan dalam jangka waktu yang cukup lama, dan jika usaha-usaha perlawanan gagal untuk menyelesaikan secara adekuat.
Psychological stress terjadi ketika individu menjumpai kondisi lingkungan yang penuh stress sebagai ancaman yang kuat menantang atau melampaui kemampuan copingnya (Lazarus dalam Holahan,1981).sebuah secara potensi dapat terlihat sebagai suatu ancaman dan berbahaya secara potensial apabila melihat hal yang memalukan, kehilangan harga diri, kehilangan dan seterusnya.(dalam Heimstra & Mc Farling, 1978)
Hasil penelitian dari Levy dkk.(1978) ditemukan bahwa stress dapat timbul dari kondisi-kondisi yang bermacam-macam,seperti tempat kerja, dilingkungan fisik dan kondisi sosial. Stress yang timbul dari kondisi sosial bisa dari lingkungan rumah, sekolah atau pun tempat kerja.
Sumber : Prabowo, H. 1998. Pengantar Psikologi Lingkungan. Seri Diktat Kuliah. Jakarta: Penerbit Gunadarma
Pengaruh Privasi terhadap Perilaku & Privasi dalam Konteks Budaya
C.PENGARUH PRIVASI TERHADAP PERILAKU
Altman (1975) menjelaskan bahwa fungsi psikologis dari perilaku yang penting adalah untuk mengatur interaksi antara seseorang atau kelompok dengan lingkungan sosial. Bila seseorang dapat mendapatkan privasi seperti yang diinginkannya maka ia akan dapat mengatur kapan harus berhubungan dengan orang lain dan kapan harus sendiri.
Maxine Wolfe dan kawan-kawan (dalam Holahan,1982) mencatat bahwa pengelolaan hubungan interpersonal adalah pusat dari pengamatan tentang privasi dalam kehidupan sehari-hari. Menurutnya, orang yang terganggu privasinya akan merasakan keadaan yang tidak mengenakkan.
Westin (dalam Holahan,1982) mengatakan bahwa ketertupan terhadap informasi personal yang selektif, memenuhi kebutuhan individu untuk membagi kepercayaan dengan orang lain. Keterbukaan membantu individu untuk menjaga jarak psikologis yang pas dengan orang lain dalam banyak situasi.
Schwartz (dalam Holahan,1982) menemukan bahwa kemampuan untuk menarik diri kedalam privasi (privasi tinggi) dapat membantu hidup ini lebih mengenakan saat harus berurusan dengan oarng-orang yang “sulit”.sementara oleh Westin bahwa saat-saat kita mendapatkan privasi seperti yang kita inginkan. Kita dapat melakukan pelepasan emosi dari akumulasi tekanan hidup sehari-hari.
D.Privasi dalam Konteks Budaya.
Menurut Altman (1975) “ruang keluarga” didalam rumah pada rumah-rumah didaerah pinggiran Amerika Serikat umumnya dijadikan tempat untuk berinteraksi sosial dalam keluarga. Rumah-rumah disana, menggunakan ruang-ruang tertentu seperti ruang baca, ruang tidur, dan kamar mandi sebagai tempat untuk menyendiri dan tempat untuk berpikir. Dengan cara itu seseorang yang tidak memiliki cukup ruang didalam rumah dapat memperoleh privasi secara maksimal. Selama ini kita terpaku bahwa suatu desain tertentu memiliki fungsi tunggal, sebagai ruang untuk berinteraksi secara terbatas atau sebaliknya secara berlebihan, tetapi bukan untuk fungsi keduanya sekaligus. Oleh karena itu, untuk mencapai privasi yang berbeda kita harus pergi kesuatu tempat lain. Kita tidak pernah berpikir untuk memiliki ruang yang sama untuk beberapa fungsi serta dapat diubah seseuai dengan kebutuhan kita. Loginya adalah bahwa penggunaan lingkungan yang mudah diubah-ubah tersebut adalah cara agar lingkungan tersebut fleksibel terhadap perubahan kebutuhan privasi.
Sumber : Prabowo, H. 1998. Pengantar Psikologi Lingkungan. Seri Diktat Kuliah. Jakarta: Penerbit Gunadarma.
Altman (1975) menjelaskan bahwa fungsi psikologis dari perilaku yang penting adalah untuk mengatur interaksi antara seseorang atau kelompok dengan lingkungan sosial. Bila seseorang dapat mendapatkan privasi seperti yang diinginkannya maka ia akan dapat mengatur kapan harus berhubungan dengan orang lain dan kapan harus sendiri.
Maxine Wolfe dan kawan-kawan (dalam Holahan,1982) mencatat bahwa pengelolaan hubungan interpersonal adalah pusat dari pengamatan tentang privasi dalam kehidupan sehari-hari. Menurutnya, orang yang terganggu privasinya akan merasakan keadaan yang tidak mengenakkan.
Westin (dalam Holahan,1982) mengatakan bahwa ketertupan terhadap informasi personal yang selektif, memenuhi kebutuhan individu untuk membagi kepercayaan dengan orang lain. Keterbukaan membantu individu untuk menjaga jarak psikologis yang pas dengan orang lain dalam banyak situasi.
Schwartz (dalam Holahan,1982) menemukan bahwa kemampuan untuk menarik diri kedalam privasi (privasi tinggi) dapat membantu hidup ini lebih mengenakan saat harus berurusan dengan oarng-orang yang “sulit”.sementara oleh Westin bahwa saat-saat kita mendapatkan privasi seperti yang kita inginkan. Kita dapat melakukan pelepasan emosi dari akumulasi tekanan hidup sehari-hari.
D.Privasi dalam Konteks Budaya.
Menurut Altman (1975) “ruang keluarga” didalam rumah pada rumah-rumah didaerah pinggiran Amerika Serikat umumnya dijadikan tempat untuk berinteraksi sosial dalam keluarga. Rumah-rumah disana, menggunakan ruang-ruang tertentu seperti ruang baca, ruang tidur, dan kamar mandi sebagai tempat untuk menyendiri dan tempat untuk berpikir. Dengan cara itu seseorang yang tidak memiliki cukup ruang didalam rumah dapat memperoleh privasi secara maksimal. Selama ini kita terpaku bahwa suatu desain tertentu memiliki fungsi tunggal, sebagai ruang untuk berinteraksi secara terbatas atau sebaliknya secara berlebihan, tetapi bukan untuk fungsi keduanya sekaligus. Oleh karena itu, untuk mencapai privasi yang berbeda kita harus pergi kesuatu tempat lain. Kita tidak pernah berpikir untuk memiliki ruang yang sama untuk beberapa fungsi serta dapat diubah seseuai dengan kebutuhan kita. Loginya adalah bahwa penggunaan lingkungan yang mudah diubah-ubah tersebut adalah cara agar lingkungan tersebut fleksibel terhadap perubahan kebutuhan privasi.
Sumber : Prabowo, H. 1998. Pengantar Psikologi Lingkungan. Seri Diktat Kuliah. Jakarta: Penerbit Gunadarma.
PRIVASI
A.PENGERTIAN PRIVASI
Privasi merupakan tingkatan interaksi atau keterbukaan yang dikehendaki seseorang pada suatu kondisi atau situasi tertentu. Tingkatan privasi yang diinginkan itu menyangkut keterbukaan atau ketertutupan, yaitu adanya keinginan untuk berinteraksi dengan orang lain, atau justru ingin menghindar atau berusaha supaya sukar dicapai oleh orang lain (Dibyo Hartono,1986).
Rapport (dalam Soesilo,1988) mendefinisikan privasi sebagai suatu kemampuan untuk mengontrol interaksi seperti yang diinginkan. Privasi jangan dipandang hanya sebagai penarikan diri seseorang secara fisik terhadap pihak-pihak lain dalam rangka menyepi saja. Hal ini agak berbeda dengan yang dikatakan oleh Marshall (dalam Wrightman & Deaux, 1981) dan ahli-ahli lain (seperti Bates, 1964; Kira,1966 dalam Altman,1975) yang mengatakan bahwa privasi menunjukan adanya pilihan untuk menghindarkan diri dari keterlibatan dengan orang lain dan lingkungan sosilanya.
Altman (1975) menjabarkan beberapa fungsi privasi. Pertama, privasi adalah pengatur dan pengontrol interaksi personal yang berarti sejauh mana hubungan dengan orang lain diinginkan, kapan waktunya menyendiri dan kapan waktunya bersama-sama dengan orang lain. Privasi dibagi menjadi dua macam, yaitu privasi rendah yang terjadi bila hubungan dengan orang lain dikehendaki, dan privasi tinggi yang terjadi bila ingin menyendiri dan hubungan dengan orang lain dikurangi. Fungsi privasi kedua adalah merencanakan dan membuat strategi untuk berhubungan dengan orang lain, yang meliputi keintiman atau jarak dalam berhubungan dengan orang lain. Fungsi ketiga privasi adalah memeperjelas identitas diri.
Dalam hubungannya dengan orang lain, manusia memiliki referensi tingkat privasi yang diinginkannya. Ada saat-saat dimana seseorang ingin berinteraksi dengan orang lain (privasi rendah) dan ada saat-saat dimana ia ingin menyendiri dan terpisah dari orang lain (privasi tinggi). Untuk mencapai hal itu, ia akan mengontrol dan mengatur melalui suatu mekanisme perilaku, yang digambarkan oleh Altman sebagai berikut :
a). Perilaku Verbal
Perilaku ini dilakukan dengan cara mengatakan kepada orang lain secara verbal, sejauh mana orang lain boleh berhubungan dengannya. Misalnya “Maaf, saya tidak punya waktu”
b). Perilaku Non Verbal
Perilaku ini dilakukan dengan menunjukan ekspresi wajah atau gerakan tubuh tertentu sebagai tanda senang atau tidak senang. Misalnya, seseorang akan menjauh dan membentuk jarak dengan orang lain, membuang muka ataupun terus-menerus melihat waktu yang menandakan bahwa dia tidak ingin berinteraksi dengan orang lain. Sebaliknya dengan mendekati dan menghadapkan muka, tertawa, menganggukan kepala memberikan indikasi bahwa dirinya siap untuk berkomunikasi dengan orang lain.
c). Mekanisme Kultural
Budaya mempunyai bermacam-macam adat istiadat, aturan atau norma, yang menggambarkan keternbukaan atau ketutupan kepada orang lain dan hal ini sudah diketahui oleh banyak orang pada budaya tertentu (Altman, 1975; Altman & Chenners dalam Dibyo Hartono,1986).
d). Ruang Personal
Ruang personal adalah salah satu mekanisme perilaku untuk mencapai tingkat privasi tertentu. Sommer (dalam Altman,1975) mendefinisikan beberapa karakteristik ruang personal. Pertama, daerah batas diri yang diperbolehkan dimasuki oelh ornag lain. Ruang personal adalah nbtas maya yang mengelilingi individu sehingga tidak kelihatan oleh orang lain. Kedua ruang personal itu tidak berupa pagar yang tampak mengelilingi seseorang dan terletak pada satu tempat tetapi batas itu melekat pada diri dan dibawa kemana-mana, Fisher dkk. (1984), mengatakan bahwa ruang personal adalah batas maya yang mengelilingi individu. Ketiga, sama dengan privasi ruang personal adalah batas kawasan yang dinamis, yang berubah-berubah besarnya sesuai dengan waktu dan situasi.
e). Teritorialitas
Pembentukan kawasan territorial adalah mekanisme perilaku lain untuk mencapai privasi tertentu. Kalau mekanisme ruang personal tidak memperlihatkan dengan jelas kawasan yang menjadi pembatas antar dirinya dengan orang lain maka pada teritorialitas batas-batas tersebut nyata dengan tempat yang relative tetap.
B.Faktor-faktor yang mempengaruhi Privasi
Faktor Situasional. Beberapa hasil penelitian tentang privasi dalam dunia kerja, secara umum menyimpulkan bahwa kepuasan terhadap kebutuhan akan privasi sangat berhubungan dengan seberapa besar lingkungan mengijinkan orang-orang didalamnya untuk menyendiri (Gifford,1987).
Penelitian Marshall (dalam Gifford,1987) tentang privasi dalam rumah tinggal, menemukan bahwa tinggi rendahnya privasi didalam rumah antara lain disebabkan oleh seting rumah. Seting rumah disini sangat berhubungan seberapa sering para penghuni berhubungan dengan orang, jarak antar rumah dan banyaknya tetangga sekitar rumah, seseorang yang mempunyai rumah yang jauh dari tetangga dan tidak dapat melihat banyak rumah lain disekitarnya dari jendela dikatakan memiliki kepuasan akan privasi yang lebih besar.
Faktor Budaya. Penemuan dari beberapa peneliti tentang privasi dalam berbagai budaya (seperti Patterson dan Chiswick pada suku Iban di Kalimantan, Yoors pada orang Gypsy dan Geertz pada orang Jawa dan Bali) memandang bahwa pada tiap-tiap budaya tidak ditemukan adanya perbedaan dalam banyaknya privasi yang diinginkan, tetapi sangat berbeda dalam cara bagaimana mereka mendapatkan privasi (Gifford,1987). Dua buah studi tersebut antara lain akan disajikan pada alinea-alinea berikut.
Tidak terdapat keraguan bahwa perbedaan masyarakat menunjukan variasi yang besar dalam jumlah privasi yang dimiliki anggotanya. Dalam masyarakat Arab, keluarga-keluarga menginginkan tinggal didalam rumah dengan dinding yang padat dan tinggi mengelilinginya (Gifford,1987). Hasil pengamatan Gifford (1987) disuatu desa dibagian Selatan India menunjuakn bahwa semau keluarga memiliki ruamh yang sangat dekat satu sama lain, sehingga akan sangat sedikit privasi yang diperolehnya. Orang-orang desa tersebut merasa tidak betah bila terpisah dari tetangganya. Sejumlah studi menunjukan bahwa pengamatan yang dangkal seringkali menipu kita. Kebutuhan akan privasi barangkali adalah sama besarnya antara orang Arab dengan orang India
Sumber : Prabowo, H. 1998. Pengantar Psikologi Lingkungan. Seri Diktat Kuliah. Jakarta: Penerbit Gunadarma.
Privasi merupakan tingkatan interaksi atau keterbukaan yang dikehendaki seseorang pada suatu kondisi atau situasi tertentu. Tingkatan privasi yang diinginkan itu menyangkut keterbukaan atau ketertutupan, yaitu adanya keinginan untuk berinteraksi dengan orang lain, atau justru ingin menghindar atau berusaha supaya sukar dicapai oleh orang lain (Dibyo Hartono,1986).
Rapport (dalam Soesilo,1988) mendefinisikan privasi sebagai suatu kemampuan untuk mengontrol interaksi seperti yang diinginkan. Privasi jangan dipandang hanya sebagai penarikan diri seseorang secara fisik terhadap pihak-pihak lain dalam rangka menyepi saja. Hal ini agak berbeda dengan yang dikatakan oleh Marshall (dalam Wrightman & Deaux, 1981) dan ahli-ahli lain (seperti Bates, 1964; Kira,1966 dalam Altman,1975) yang mengatakan bahwa privasi menunjukan adanya pilihan untuk menghindarkan diri dari keterlibatan dengan orang lain dan lingkungan sosilanya.
Altman (1975) menjabarkan beberapa fungsi privasi. Pertama, privasi adalah pengatur dan pengontrol interaksi personal yang berarti sejauh mana hubungan dengan orang lain diinginkan, kapan waktunya menyendiri dan kapan waktunya bersama-sama dengan orang lain. Privasi dibagi menjadi dua macam, yaitu privasi rendah yang terjadi bila hubungan dengan orang lain dikehendaki, dan privasi tinggi yang terjadi bila ingin menyendiri dan hubungan dengan orang lain dikurangi. Fungsi privasi kedua adalah merencanakan dan membuat strategi untuk berhubungan dengan orang lain, yang meliputi keintiman atau jarak dalam berhubungan dengan orang lain. Fungsi ketiga privasi adalah memeperjelas identitas diri.
Dalam hubungannya dengan orang lain, manusia memiliki referensi tingkat privasi yang diinginkannya. Ada saat-saat dimana seseorang ingin berinteraksi dengan orang lain (privasi rendah) dan ada saat-saat dimana ia ingin menyendiri dan terpisah dari orang lain (privasi tinggi). Untuk mencapai hal itu, ia akan mengontrol dan mengatur melalui suatu mekanisme perilaku, yang digambarkan oleh Altman sebagai berikut :
a). Perilaku Verbal
Perilaku ini dilakukan dengan cara mengatakan kepada orang lain secara verbal, sejauh mana orang lain boleh berhubungan dengannya. Misalnya “Maaf, saya tidak punya waktu”
b). Perilaku Non Verbal
Perilaku ini dilakukan dengan menunjukan ekspresi wajah atau gerakan tubuh tertentu sebagai tanda senang atau tidak senang. Misalnya, seseorang akan menjauh dan membentuk jarak dengan orang lain, membuang muka ataupun terus-menerus melihat waktu yang menandakan bahwa dia tidak ingin berinteraksi dengan orang lain. Sebaliknya dengan mendekati dan menghadapkan muka, tertawa, menganggukan kepala memberikan indikasi bahwa dirinya siap untuk berkomunikasi dengan orang lain.
c). Mekanisme Kultural
Budaya mempunyai bermacam-macam adat istiadat, aturan atau norma, yang menggambarkan keternbukaan atau ketutupan kepada orang lain dan hal ini sudah diketahui oleh banyak orang pada budaya tertentu (Altman, 1975; Altman & Chenners dalam Dibyo Hartono,1986).
d). Ruang Personal
Ruang personal adalah salah satu mekanisme perilaku untuk mencapai tingkat privasi tertentu. Sommer (dalam Altman,1975) mendefinisikan beberapa karakteristik ruang personal. Pertama, daerah batas diri yang diperbolehkan dimasuki oelh ornag lain. Ruang personal adalah nbtas maya yang mengelilingi individu sehingga tidak kelihatan oleh orang lain. Kedua ruang personal itu tidak berupa pagar yang tampak mengelilingi seseorang dan terletak pada satu tempat tetapi batas itu melekat pada diri dan dibawa kemana-mana, Fisher dkk. (1984), mengatakan bahwa ruang personal adalah batas maya yang mengelilingi individu. Ketiga, sama dengan privasi ruang personal adalah batas kawasan yang dinamis, yang berubah-berubah besarnya sesuai dengan waktu dan situasi.
e). Teritorialitas
Pembentukan kawasan territorial adalah mekanisme perilaku lain untuk mencapai privasi tertentu. Kalau mekanisme ruang personal tidak memperlihatkan dengan jelas kawasan yang menjadi pembatas antar dirinya dengan orang lain maka pada teritorialitas batas-batas tersebut nyata dengan tempat yang relative tetap.
B.Faktor-faktor yang mempengaruhi Privasi
Faktor Situasional. Beberapa hasil penelitian tentang privasi dalam dunia kerja, secara umum menyimpulkan bahwa kepuasan terhadap kebutuhan akan privasi sangat berhubungan dengan seberapa besar lingkungan mengijinkan orang-orang didalamnya untuk menyendiri (Gifford,1987).
Penelitian Marshall (dalam Gifford,1987) tentang privasi dalam rumah tinggal, menemukan bahwa tinggi rendahnya privasi didalam rumah antara lain disebabkan oleh seting rumah. Seting rumah disini sangat berhubungan seberapa sering para penghuni berhubungan dengan orang, jarak antar rumah dan banyaknya tetangga sekitar rumah, seseorang yang mempunyai rumah yang jauh dari tetangga dan tidak dapat melihat banyak rumah lain disekitarnya dari jendela dikatakan memiliki kepuasan akan privasi yang lebih besar.
Faktor Budaya. Penemuan dari beberapa peneliti tentang privasi dalam berbagai budaya (seperti Patterson dan Chiswick pada suku Iban di Kalimantan, Yoors pada orang Gypsy dan Geertz pada orang Jawa dan Bali) memandang bahwa pada tiap-tiap budaya tidak ditemukan adanya perbedaan dalam banyaknya privasi yang diinginkan, tetapi sangat berbeda dalam cara bagaimana mereka mendapatkan privasi (Gifford,1987). Dua buah studi tersebut antara lain akan disajikan pada alinea-alinea berikut.
Tidak terdapat keraguan bahwa perbedaan masyarakat menunjukan variasi yang besar dalam jumlah privasi yang dimiliki anggotanya. Dalam masyarakat Arab, keluarga-keluarga menginginkan tinggal didalam rumah dengan dinding yang padat dan tinggi mengelilinginya (Gifford,1987). Hasil pengamatan Gifford (1987) disuatu desa dibagian Selatan India menunjuakn bahwa semau keluarga memiliki ruamh yang sangat dekat satu sama lain, sehingga akan sangat sedikit privasi yang diperolehnya. Orang-orang desa tersebut merasa tidak betah bila terpisah dari tetangganya. Sejumlah studi menunjukan bahwa pengamatan yang dangkal seringkali menipu kita. Kebutuhan akan privasi barangkali adalah sama besarnya antara orang Arab dengan orang India
Sumber : Prabowo, H. 1998. Pengantar Psikologi Lingkungan. Seri Diktat Kuliah. Jakarta: Penerbit Gunadarma.
Sabtu, 09 April 2011
TERITORIALITAS
A. Pengertian Teritorialitas
Holahan (dalam Iskandar,1990), mengungkapkan bahwa teritorialitas adalah suatu tingkah laku yang diasosiasikan pemilihan atau tempat yang ditempatinya atau area yang sering melibatkan cirri pemilikannya dan pertahanan dari serangga oranmg lain. Dengan demikian menurut Altman (1975) penghuni tempat tersebut dapat mengontrol daerahnya atau unitnya dengan benar, atau merupakan suatu territorial yang primer.
B. Elemen-elemen Teritorialitas
Menurut Lang (1987), terdapat emapat karakter dari teritorialitas, yaitu :
1. Kepemilikan atau hak dari suatu tempat.
2. Personalisasi atau penendaan dari suatu area tertentu
3. Hak untuk mempertahankan diri dari gangguan luar.
4. Pengatur dari beberapa fungsi, mulai dari bertemunya kebutuhan dasar psikologis sampai kepada kepuasan kognitif dan kebutuhan-kebutuhan estetika.
Porteus (dalam Lang,1987) mengidentifikasikan 3 kumpulan tingkat spasial yang saling terkait satu sama lain :
1. Personal space, yang telah banyak dibahs dimuka.
2. Home base, ruang-ruang yang dipertahankan secara aktif, misalnya rumah tinggal atau lingkungan rumah tinggal.
3. Home Range, setting-setting perilaku yang terbentuk dari bagian kehidupan seseorang.
Dalam usahanya membangun suatu model yang memberi perhatian secara khusus pada desain lingkungan, maka Husesein El-Sharkawy (dalam Lang,1987) mengidentifikasikan empat tipe tertori yaitu : attached, central, supporting, & peripheral.
1. Attached Teritory adalah “gelembung ruang” sebagaimana telah dibahas dalam ruang personal.
2. Central Teritory, seperti rumah seseorang, ruang kelas, ruang kerja, dimana kesemuanya itu kurang memiliki personalisasi : Oscar Newman menyebutnya “ruang Privat”
3. Supporting Teritory adalah ruang-rauang yang bersifat semi privat dan semi public pada semi privat terbentuknya ruang terjadi pada ruang duduk asrama, ruang duduk/santai di tepi kolam renang, atau araea-area pribadi pada rumah tinggal seperti pada halaman depan rumah yang berfungsi sebagai pengawasan terhadap kehadiran orang lain. Ruang-ruang semi public antara lain adalah salah satu sudut ruangan dalam took, kedai minuman. Semi privat cenderung untuk dimiliki, sedangkan semi publiktidak dimiliki oleh pemakai.
4. Peripheral Teritory adalah ruang public, yaitu area-area yang dipakai oleh individu-individu atau suatu kelompok tetapi tidak dapat memiliki dan menuntutnya.
Sementara itu, Altman membagi teritorialitas menjadi tiga, yaitu : territorial primer, territorial sekunder, dan territorial umum.
1. Teritorial Primer
Jenis teori ini dimiliki serta dipergunakan secara khusus bagi pemiliknya. Pelanggaran terhadap teori utama ini akan mengakibatkan timbulnya perlawanan dari pemiliknya dan ketidakmampuan untuk mempertahankan teori utama ini akan mengakibatkan masalahyang serius terhadap aspek psikologis pemiliknya, yaitu dalam hal harga diri dan identitasnya. Yang termasuk dalam territorial ini adalah ruang kerja, ruang tidur, pekarangan, wilayah Negara, dan sebagainya.
2. Teritori Sekunder
Jenis teori ini lebih longgar pemakaiannya dan pengontrolan oleh perorangan. Teritorial ini dapat digunakan oleh orang lain yang masih di dalam kelompok ataupun orang yang mempunyai kepentingan kepada kelompok itu. Sifat territorial sekunder adalah semi-publik. Yang termasuk dalam territorial ini adalah sirkulasi lalu lintas didalam kantor, toilet, zona servis dan sebagainya.
3. Territorial Umum
Teritorial umum dapat digunakan oleh setiap orang dengan mengikuti aturan-aturan yang lazim didalam masyarakat dimana territorial umum itu berada. Territorial umum dapat dipergunakan secara sementara dalam jangka waktu lama maupun singkat. Contoh territorial umum ini adalah taman kota, tempat duduk dalam bis kota, gedung bioskop, ruang kuliah, dan sebagainya. Berdasarkan pemakaiannya, territorial umum dapat dibagi menjadi tiga : Stalls, Turns, dan Use Space.
a. Stalls
Stalls merupakan suatu tempat yang dapat disewa atau dipergunakan dalam jangka waktu tertentu, biasanya berkisar antara jangka waktu lama dan agak lama. Contohnya adalah kamar-kamar dihotel, kamar-kamar di asrama, ruangan kerja , lapangan tenis, sampai ke bilik telepon umum. Kontrol terhadap stalls terjadi pada saat penggunaan saja dan akan berhenti pada saat penggunaan waktu habis.
b. Turns
Turns mirip dengan stalss, hanya berbeda dalam jangka waktu penggunaannya saja. Turns dipakai orang dalam waktu yang singkat, misalnya tempat antrian karcis, antrian bensin, dan sebagainya.
c. Use Space
Use space adalah teritori yang berupa ruang yang dimulai dari titik kedudukan seseorang ke titik kedudukan objek yang sedang diamati seseorang. Contohnya adalah seseorang yang sedang mengamati objek lukisan dalam suatu pameran, maka ruang antara objek lukisan dengan orang yang sedang mengamati tersebut adalah “Use Space” atau ruang terpakai yang dimiliki oleh orang itu, serta tidak dapat diganggu gugat selama orang tersebut masih mengamati lukisan tersebut.
Privasi suatu lingkungan dapat dicapai melalui pengontrolan territorial, karena di dalamnya tercakup pemenuhan kebutuhan dasar manusia yang meliputi :
1. Kebutuhan akan identitas, berkaitan dengan kebutuhan akan kepemilikan, kebutuhan terhadap aktulisasi diri, yang pada prinsipnya adalah dapat menggambarkan kedudukan serta peran seseorang dalam masyarakat.
2. Kebutuhan terhadap stimulasi yang berkaitan erat dengan aktualisasi dan pemenuhan diri
3. Kebutuhan akan rasa aman, dalam bentuk bebas kecaman, bebas dari serangan oleh dari pihak luar, dan memiliki keyakinan diri.
4. Kebutuhan yang berkaitan dengan pemeliharaan hubungan dengan pihak-pihak lain dan lingkungan sekitarnya (Lang dan Sharkawy dalam Lang,1987).
C. Teritorialitas dan Perbedaan Budaya
Suatu studi menarik dilkuakn oleh Smith (dalam Gifford,1987) yang melakukan studi tentang penggunaanpantai orang-orang Perancis dan Jerman. Studi ini yang memiliki pola yang sama dengan studi yang lebih awal dari Amerika, sebagaimana yang dilakukan oleh Edney dan Jordan-Edney (dalam Gifford,1987). Hasil dari kedua penelitian ini menunjukan bahwa pengunaan pantai antara orang Perancis, Jerman, dan Amerika membuktikan sesuatu hal yang kontras. Smith menemukan bahwa dari ketiga budaya ini memiliki persamaan dalam hal respek. Sebagai contoh, pada ketiga kelompok menurut ruang yang lebih kecil setiap orang. Kelompok dibagi berdasarkan jenis kelamin, menuntut ruang yang lebih kecil, dimana wanita menuntut ruang yang lebih kecil dibandingkan dengan pria. Sedangkan untuk respek, mereka memiliki kesulitan dengan konsep teritorialitas yang mengatakan bahwa “pantai untuk semua orang”. Orang Jerman membuat lebih banyak tanda.
Mereka seringkali menegakan penghalang benteng pasir, suatu tanda untuk menyatakan bahwa area pantai disediakan untuk antara dua hari tertentu dan merupakan tanda yang disediakan untuk kelompok tertentu. Akhirnya ukuran teritorialitas ternyata berbeda di antara ketiga budaya tersebut. Walaupun dengan bentuk yang sama. Orang Jerman lebih sering menuntut teritorialitas yang lebih besar, tetapi pada tiga budayamaupun dalam pembagian kelompok-kelompoknya menandai teritorialitas dengan suatu lingkaran yang sama. Orang Jerman lebih sering menuntut Teritori yang lebih besar sekali, tetapi dari ketiga budaya tersebut secara individu menandai territorial dalam bentuk elips dan secara kelompok dalam bentuk lingkaran.
Sumber : Prabowo, H. 1998. Pengantar Psikologi Lingkungan. Seri Diktat Kuliah. Jakarta: Penerbit Gunadarma.
Holahan (dalam Iskandar,1990), mengungkapkan bahwa teritorialitas adalah suatu tingkah laku yang diasosiasikan pemilihan atau tempat yang ditempatinya atau area yang sering melibatkan cirri pemilikannya dan pertahanan dari serangga oranmg lain. Dengan demikian menurut Altman (1975) penghuni tempat tersebut dapat mengontrol daerahnya atau unitnya dengan benar, atau merupakan suatu territorial yang primer.
B. Elemen-elemen Teritorialitas
Menurut Lang (1987), terdapat emapat karakter dari teritorialitas, yaitu :
1. Kepemilikan atau hak dari suatu tempat.
2. Personalisasi atau penendaan dari suatu area tertentu
3. Hak untuk mempertahankan diri dari gangguan luar.
4. Pengatur dari beberapa fungsi, mulai dari bertemunya kebutuhan dasar psikologis sampai kepada kepuasan kognitif dan kebutuhan-kebutuhan estetika.
Porteus (dalam Lang,1987) mengidentifikasikan 3 kumpulan tingkat spasial yang saling terkait satu sama lain :
1. Personal space, yang telah banyak dibahs dimuka.
2. Home base, ruang-ruang yang dipertahankan secara aktif, misalnya rumah tinggal atau lingkungan rumah tinggal.
3. Home Range, setting-setting perilaku yang terbentuk dari bagian kehidupan seseorang.
Dalam usahanya membangun suatu model yang memberi perhatian secara khusus pada desain lingkungan, maka Husesein El-Sharkawy (dalam Lang,1987) mengidentifikasikan empat tipe tertori yaitu : attached, central, supporting, & peripheral.
1. Attached Teritory adalah “gelembung ruang” sebagaimana telah dibahas dalam ruang personal.
2. Central Teritory, seperti rumah seseorang, ruang kelas, ruang kerja, dimana kesemuanya itu kurang memiliki personalisasi : Oscar Newman menyebutnya “ruang Privat”
3. Supporting Teritory adalah ruang-rauang yang bersifat semi privat dan semi public pada semi privat terbentuknya ruang terjadi pada ruang duduk asrama, ruang duduk/santai di tepi kolam renang, atau araea-area pribadi pada rumah tinggal seperti pada halaman depan rumah yang berfungsi sebagai pengawasan terhadap kehadiran orang lain. Ruang-ruang semi public antara lain adalah salah satu sudut ruangan dalam took, kedai minuman. Semi privat cenderung untuk dimiliki, sedangkan semi publiktidak dimiliki oleh pemakai.
4. Peripheral Teritory adalah ruang public, yaitu area-area yang dipakai oleh individu-individu atau suatu kelompok tetapi tidak dapat memiliki dan menuntutnya.
Sementara itu, Altman membagi teritorialitas menjadi tiga, yaitu : territorial primer, territorial sekunder, dan territorial umum.
1. Teritorial Primer
Jenis teori ini dimiliki serta dipergunakan secara khusus bagi pemiliknya. Pelanggaran terhadap teori utama ini akan mengakibatkan timbulnya perlawanan dari pemiliknya dan ketidakmampuan untuk mempertahankan teori utama ini akan mengakibatkan masalahyang serius terhadap aspek psikologis pemiliknya, yaitu dalam hal harga diri dan identitasnya. Yang termasuk dalam territorial ini adalah ruang kerja, ruang tidur, pekarangan, wilayah Negara, dan sebagainya.
2. Teritori Sekunder
Jenis teori ini lebih longgar pemakaiannya dan pengontrolan oleh perorangan. Teritorial ini dapat digunakan oleh orang lain yang masih di dalam kelompok ataupun orang yang mempunyai kepentingan kepada kelompok itu. Sifat territorial sekunder adalah semi-publik. Yang termasuk dalam territorial ini adalah sirkulasi lalu lintas didalam kantor, toilet, zona servis dan sebagainya.
3. Territorial Umum
Teritorial umum dapat digunakan oleh setiap orang dengan mengikuti aturan-aturan yang lazim didalam masyarakat dimana territorial umum itu berada. Territorial umum dapat dipergunakan secara sementara dalam jangka waktu lama maupun singkat. Contoh territorial umum ini adalah taman kota, tempat duduk dalam bis kota, gedung bioskop, ruang kuliah, dan sebagainya. Berdasarkan pemakaiannya, territorial umum dapat dibagi menjadi tiga : Stalls, Turns, dan Use Space.
a. Stalls
Stalls merupakan suatu tempat yang dapat disewa atau dipergunakan dalam jangka waktu tertentu, biasanya berkisar antara jangka waktu lama dan agak lama. Contohnya adalah kamar-kamar dihotel, kamar-kamar di asrama, ruangan kerja , lapangan tenis, sampai ke bilik telepon umum. Kontrol terhadap stalls terjadi pada saat penggunaan saja dan akan berhenti pada saat penggunaan waktu habis.
b. Turns
Turns mirip dengan stalss, hanya berbeda dalam jangka waktu penggunaannya saja. Turns dipakai orang dalam waktu yang singkat, misalnya tempat antrian karcis, antrian bensin, dan sebagainya.
c. Use Space
Use space adalah teritori yang berupa ruang yang dimulai dari titik kedudukan seseorang ke titik kedudukan objek yang sedang diamati seseorang. Contohnya adalah seseorang yang sedang mengamati objek lukisan dalam suatu pameran, maka ruang antara objek lukisan dengan orang yang sedang mengamati tersebut adalah “Use Space” atau ruang terpakai yang dimiliki oleh orang itu, serta tidak dapat diganggu gugat selama orang tersebut masih mengamati lukisan tersebut.
Privasi suatu lingkungan dapat dicapai melalui pengontrolan territorial, karena di dalamnya tercakup pemenuhan kebutuhan dasar manusia yang meliputi :
1. Kebutuhan akan identitas, berkaitan dengan kebutuhan akan kepemilikan, kebutuhan terhadap aktulisasi diri, yang pada prinsipnya adalah dapat menggambarkan kedudukan serta peran seseorang dalam masyarakat.
2. Kebutuhan terhadap stimulasi yang berkaitan erat dengan aktualisasi dan pemenuhan diri
3. Kebutuhan akan rasa aman, dalam bentuk bebas kecaman, bebas dari serangan oleh dari pihak luar, dan memiliki keyakinan diri.
4. Kebutuhan yang berkaitan dengan pemeliharaan hubungan dengan pihak-pihak lain dan lingkungan sekitarnya (Lang dan Sharkawy dalam Lang,1987).
C. Teritorialitas dan Perbedaan Budaya
Suatu studi menarik dilkuakn oleh Smith (dalam Gifford,1987) yang melakukan studi tentang penggunaanpantai orang-orang Perancis dan Jerman. Studi ini yang memiliki pola yang sama dengan studi yang lebih awal dari Amerika, sebagaimana yang dilakukan oleh Edney dan Jordan-Edney (dalam Gifford,1987). Hasil dari kedua penelitian ini menunjukan bahwa pengunaan pantai antara orang Perancis, Jerman, dan Amerika membuktikan sesuatu hal yang kontras. Smith menemukan bahwa dari ketiga budaya ini memiliki persamaan dalam hal respek. Sebagai contoh, pada ketiga kelompok menurut ruang yang lebih kecil setiap orang. Kelompok dibagi berdasarkan jenis kelamin, menuntut ruang yang lebih kecil, dimana wanita menuntut ruang yang lebih kecil dibandingkan dengan pria. Sedangkan untuk respek, mereka memiliki kesulitan dengan konsep teritorialitas yang mengatakan bahwa “pantai untuk semua orang”. Orang Jerman membuat lebih banyak tanda.
Mereka seringkali menegakan penghalang benteng pasir, suatu tanda untuk menyatakan bahwa area pantai disediakan untuk antara dua hari tertentu dan merupakan tanda yang disediakan untuk kelompok tertentu. Akhirnya ukuran teritorialitas ternyata berbeda di antara ketiga budaya tersebut. Walaupun dengan bentuk yang sama. Orang Jerman lebih sering menuntut teritorialitas yang lebih besar, tetapi pada tiga budayamaupun dalam pembagian kelompok-kelompoknya menandai teritorialitas dengan suatu lingkaran yang sama. Orang Jerman lebih sering menuntut Teritori yang lebih besar sekali, tetapi dari ketiga budaya tersebut secara individu menandai territorial dalam bentuk elips dan secara kelompok dalam bentuk lingkaran.
Sumber : Prabowo, H. 1998. Pengantar Psikologi Lingkungan. Seri Diktat Kuliah. Jakarta: Penerbit Gunadarma.
PERSONAL SPACE (RUANG PERSONAL)
A.Pengertian Ruang Personal
Istilah personal space pertama kali digunakan oleh Katz pada tahun 1973 dan bukan merupakan sesuatu yang unik dalam istilah psikologi, karena istilah ini juga dipakai dalam bidang biologi, antropologi, dan arsitektur (Yusuf,1991).
Selanjutnya dikatakan bahwa studi personal space merupakan tinjauan terhadap perilaku hewan dengan cara mengamati perilaku mereka berkelahi, terbang, dan jarak sosial antara yang satu dengan yang lain. Kajian ini kemudian ditransformasikan dengan cara membentuk pemabatasserta dapat pula diumpamakan semacam gelembung yang mengelilingi individu dengan individu lain.
Masalah mengenai ruang personal ini berhubungan dengan batas-batas disekeliling seseorang. Menurut Sommer (dalam Altman,1975) ruang personal adalah daerah disekeliling seseorang dengan batas-batas yang tidak jelas dimana seseorang tidak boleh memasukiny. Goffman (dalam Altman,1975) menggambarkan ruang personal sebagai jarak/daerah disekitar individu dimana jika dimasuki orang lain, menyebabkan ia merasa batasnya dilanggar, merasa tidak senang, dan kadang-kadang menarik diri.
Beberapa definisi ruang personal secara implicit berdasarkan hasil-hasil penelitian, antara lain : Pertama, ruang personal adalah batas-batas yang tidak jelas antara seseorang dengan orang lain. Kedua, ruang personal sesungguhnya berdekatan dengan diri sendiri. Ketiga, pengaturan ruang personal merupakan proses dinamis yang memungkinkan diri kita keluar darinya sebagai suatu perubahan situasi. Keempat, ketika seseorang melanggar ruang personal orang lain, maka dapat berakibat kecamasan, stress, dan bahkan pekelahian. Kelima, ruang personal berhubungan secara langsung dengan jarak-jarak antara manusia, walaupun ada tiga orientasi dari orang lain : berhadapan, saling membelakangi, dan searah.
Menurut Edward T. Hall, seorang antropolog, bahwa dalam interaksi sosial terdapat empat zona spesial yang meliputi : jarak intim, jarak personal, jarak sosial, dan jarak public. Kajian ini kemudian dikenal dengan istilah Proksemik (kedekatan) atau cara seseorang menggunakan ruang dalam berkomunikasi (dalam Altman,1975).
Jika daerah/zona ini mnyenangkan dalam suatu situasi, yaitu ketika seseorang berinteraksi dengan orang lain yang dicintainya, mungkin akan menjadi tidak menyenangkan dalam situasi ini. Misalnya, ketika orang dengan tidak sengaja terpaksa untuk masuk kedalam elevator yang penuh sesak, mereka sering kali menjadi tidak bergerak/kaku, melihat dengan gugup kepada nomor-nomor lantai. Hal ini mungkin juga sebagai tanda bahwa mereka menyadari telah saling melanggar “jarak kedekatan” (intimate distance), tetapi berusaha untuk berbuat yang terbaik untuk menghindari interaksi yang tidak pantas.
Zona yang kedua adalah personal distance (jarak pribadi), yang memiliki jarak antara 1,5-4 kaki. Jarak ini adalah karakteristik ketegangan yang biasa dipakai individu satu sama lain. Gangguan diluar jarak ini menjadi tidak menyenangkan. Jarak pribadi ini masih mengenal pembagian fase menjadi dua : fase dekat (1,5-2,5 kaki) dan fase jauh (2,5-4 kaki). Pada fase dekat masih memungkinkan banyak sekali pertukaran sentuhan, bau, pandangan, dan isyarat-isyarat lainnya, meski tidak sebanyak pada intimate distance. Otot-otot, wajah, pori-pori, dan rambut wajah, masih nampak/dapat dilihat, sama halnya pada intimate zone. Hall merasa bahwa pada fase dekat pada jarak personal ini diperuntukan bagi pasangan intim. Pada fase jauh yang meliputi jarak antara 2,5-4 kaki, jaraknya dapat memanjang sampai jarak dimana masing-masing orang dapat saling menyentuh dengan mengulurkan tangannya. Diluar jarak ini menurut Hall seseorang tidak dapat dengan mudah memegang tangan orang lain. Pada jarak ini komunikasi halus (fine grain communication) masih dapat diamati, termasuk warna rambut, tekstur kulit, dan roman muka. Isyarat suara masih banyak, namun bau dan panas tubuh kadang-kadang tidak terdeteksi jika tidak menggunakan parfum. Zona jarak pribadi adalah transisi antara kontak intim dengan tingkah laku umum yang agak formal.
Daerah ketiga adalah jarak sosial (social distance) yang mempunyai jarak antara 4-25 kaki dan merupakan jarak-jarak normal yang memungkinkan terjadinya kontak sosial yang umum serta hubungan bisnis.
B.Ruang Personal dan Perbedaan Budaya
Dalam studi budaya yang berkaitan dengan ruang personal, Hall (dalam Altman,1976) mengamati bahwa norma dan adat istiadat dari kelompok budaya dan etnik yang berbeda akan tercermin dari penggunaan ruang (space)-nya, seperti susunan perabot, konfigurasi tempat tinggal, dan orientasi yang dijaga oleh individu satu dengan individu lainnya. Hall menggambarkan secara kualitatif bagaimana anggota dari macam-macam kelompok budaya tersebut memiliki kebiasaan spasial yang berbeda. Orang Jerman lebih sensitive terhadap gangguan, memiliki gelembung ruang personal yang lebih besar, dan lebih khawatir akan pemisahan fisik ketimbang orang Amerika. Sementara itu orang Inggris merupakan orang-orang pribadi (Private people). Akan tetapi mereka mengatur jarak psikologis dengan orang lain dengan menggunakan sarana-sarana verbal dan non verbal (seperti karakter suara dan kontak mata) dibandingkan dengan sarana fisik atau lingkungan. Orang-orang Perancis berinteraksi dengan keterlibatan yang lebih dalam. Kebiasaan mereka berupa rasa estetika terhadap fashion merupakan bagian dari fungsi gaya hidup dan pengalaman.
Dalam eksperimen Waston& Graves (dalam Gfford,1987), yang mengadakan studi perbedaan budaya secara terinci, mereka menggunakan sampel kelompok siswa yang terdiri dari empat orang yang diminta datang ke laboratorium. Siswa-siswa ini diberitahu bahwa mereka akan diamati, tetapi tanpa diberi petunjuk dan perintah. Kelompok pertama terdiri dari orang-orang Arab dan kelompok lainnya terdiri dari orang Amerika. Rerata jarak interpersonal yang dipakaiorang Arab kira-kira sepanjang dari perpanjangan tangannya. Sedangkan jarak interpersonal orang Amerika terlihat lebih jauh. Orang-orang Arab menyentuh satu sama lain lebih sering dan orientasinya lebih langsung. Umumnya orang Arab lebih dekat daripada orang Amerika.
Mengikuti Hall, Watson (dalam Gifford,1987) menegaskan bahwa budaya dapat dibagi menjadi dua : budaya kontak (Amerika latin, Spanyol, dan Maroko) duduk berjauhan satu sama lain daripada siswa-siswa dari kebudayaan non kontak (yaitu Amerika). Penelitian ini dibantu oleh Shuter, yang menjelaskan adanya bahaya dalam generalisasi yang mengatakan bahwa semua orang Amerika Latin menggunakan sejumlah ruang tertentu. Orang Costa Rika menyukai jarak personal yang lebih dekat dari pada orang Panama atau Kolombia. Sussman dan Rosenfeld (dalam Gifford,1987) menemukan bahwa orang jepang menggunakan jarak personal yang lebih lebar daripada orang Amerika, yang menggunakan lebih besar daripada orang Venezuela. Akan tetapi ketika orang jepang dan Venezuela berbicara dalam bahasa Inggris, jarak percakapan mereka seperti orang Amerika. Bahasa sebagai bagian pentingdari kebudayaan dapat mengubah kecenderungan budayaseseorang untuk menggunakan jarak interpersonal yang lebih atau kurang.
Sumber : Prabowo, H. 1998. Pengantar Psikologi Lingkungan. Seri Diktat Kuliah. Jakarta: Penerbit Gunadarma.
Istilah personal space pertama kali digunakan oleh Katz pada tahun 1973 dan bukan merupakan sesuatu yang unik dalam istilah psikologi, karena istilah ini juga dipakai dalam bidang biologi, antropologi, dan arsitektur (Yusuf,1991).
Selanjutnya dikatakan bahwa studi personal space merupakan tinjauan terhadap perilaku hewan dengan cara mengamati perilaku mereka berkelahi, terbang, dan jarak sosial antara yang satu dengan yang lain. Kajian ini kemudian ditransformasikan dengan cara membentuk pemabatasserta dapat pula diumpamakan semacam gelembung yang mengelilingi individu dengan individu lain.
Masalah mengenai ruang personal ini berhubungan dengan batas-batas disekeliling seseorang. Menurut Sommer (dalam Altman,1975) ruang personal adalah daerah disekeliling seseorang dengan batas-batas yang tidak jelas dimana seseorang tidak boleh memasukiny. Goffman (dalam Altman,1975) menggambarkan ruang personal sebagai jarak/daerah disekitar individu dimana jika dimasuki orang lain, menyebabkan ia merasa batasnya dilanggar, merasa tidak senang, dan kadang-kadang menarik diri.
Beberapa definisi ruang personal secara implicit berdasarkan hasil-hasil penelitian, antara lain : Pertama, ruang personal adalah batas-batas yang tidak jelas antara seseorang dengan orang lain. Kedua, ruang personal sesungguhnya berdekatan dengan diri sendiri. Ketiga, pengaturan ruang personal merupakan proses dinamis yang memungkinkan diri kita keluar darinya sebagai suatu perubahan situasi. Keempat, ketika seseorang melanggar ruang personal orang lain, maka dapat berakibat kecamasan, stress, dan bahkan pekelahian. Kelima, ruang personal berhubungan secara langsung dengan jarak-jarak antara manusia, walaupun ada tiga orientasi dari orang lain : berhadapan, saling membelakangi, dan searah.
Menurut Edward T. Hall, seorang antropolog, bahwa dalam interaksi sosial terdapat empat zona spesial yang meliputi : jarak intim, jarak personal, jarak sosial, dan jarak public. Kajian ini kemudian dikenal dengan istilah Proksemik (kedekatan) atau cara seseorang menggunakan ruang dalam berkomunikasi (dalam Altman,1975).
Jika daerah/zona ini mnyenangkan dalam suatu situasi, yaitu ketika seseorang berinteraksi dengan orang lain yang dicintainya, mungkin akan menjadi tidak menyenangkan dalam situasi ini. Misalnya, ketika orang dengan tidak sengaja terpaksa untuk masuk kedalam elevator yang penuh sesak, mereka sering kali menjadi tidak bergerak/kaku, melihat dengan gugup kepada nomor-nomor lantai. Hal ini mungkin juga sebagai tanda bahwa mereka menyadari telah saling melanggar “jarak kedekatan” (intimate distance), tetapi berusaha untuk berbuat yang terbaik untuk menghindari interaksi yang tidak pantas.
Zona yang kedua adalah personal distance (jarak pribadi), yang memiliki jarak antara 1,5-4 kaki. Jarak ini adalah karakteristik ketegangan yang biasa dipakai individu satu sama lain. Gangguan diluar jarak ini menjadi tidak menyenangkan. Jarak pribadi ini masih mengenal pembagian fase menjadi dua : fase dekat (1,5-2,5 kaki) dan fase jauh (2,5-4 kaki). Pada fase dekat masih memungkinkan banyak sekali pertukaran sentuhan, bau, pandangan, dan isyarat-isyarat lainnya, meski tidak sebanyak pada intimate distance. Otot-otot, wajah, pori-pori, dan rambut wajah, masih nampak/dapat dilihat, sama halnya pada intimate zone. Hall merasa bahwa pada fase dekat pada jarak personal ini diperuntukan bagi pasangan intim. Pada fase jauh yang meliputi jarak antara 2,5-4 kaki, jaraknya dapat memanjang sampai jarak dimana masing-masing orang dapat saling menyentuh dengan mengulurkan tangannya. Diluar jarak ini menurut Hall seseorang tidak dapat dengan mudah memegang tangan orang lain. Pada jarak ini komunikasi halus (fine grain communication) masih dapat diamati, termasuk warna rambut, tekstur kulit, dan roman muka. Isyarat suara masih banyak, namun bau dan panas tubuh kadang-kadang tidak terdeteksi jika tidak menggunakan parfum. Zona jarak pribadi adalah transisi antara kontak intim dengan tingkah laku umum yang agak formal.
Daerah ketiga adalah jarak sosial (social distance) yang mempunyai jarak antara 4-25 kaki dan merupakan jarak-jarak normal yang memungkinkan terjadinya kontak sosial yang umum serta hubungan bisnis.
B.Ruang Personal dan Perbedaan Budaya
Dalam studi budaya yang berkaitan dengan ruang personal, Hall (dalam Altman,1976) mengamati bahwa norma dan adat istiadat dari kelompok budaya dan etnik yang berbeda akan tercermin dari penggunaan ruang (space)-nya, seperti susunan perabot, konfigurasi tempat tinggal, dan orientasi yang dijaga oleh individu satu dengan individu lainnya. Hall menggambarkan secara kualitatif bagaimana anggota dari macam-macam kelompok budaya tersebut memiliki kebiasaan spasial yang berbeda. Orang Jerman lebih sensitive terhadap gangguan, memiliki gelembung ruang personal yang lebih besar, dan lebih khawatir akan pemisahan fisik ketimbang orang Amerika. Sementara itu orang Inggris merupakan orang-orang pribadi (Private people). Akan tetapi mereka mengatur jarak psikologis dengan orang lain dengan menggunakan sarana-sarana verbal dan non verbal (seperti karakter suara dan kontak mata) dibandingkan dengan sarana fisik atau lingkungan. Orang-orang Perancis berinteraksi dengan keterlibatan yang lebih dalam. Kebiasaan mereka berupa rasa estetika terhadap fashion merupakan bagian dari fungsi gaya hidup dan pengalaman.
Dalam eksperimen Waston& Graves (dalam Gfford,1987), yang mengadakan studi perbedaan budaya secara terinci, mereka menggunakan sampel kelompok siswa yang terdiri dari empat orang yang diminta datang ke laboratorium. Siswa-siswa ini diberitahu bahwa mereka akan diamati, tetapi tanpa diberi petunjuk dan perintah. Kelompok pertama terdiri dari orang-orang Arab dan kelompok lainnya terdiri dari orang Amerika. Rerata jarak interpersonal yang dipakaiorang Arab kira-kira sepanjang dari perpanjangan tangannya. Sedangkan jarak interpersonal orang Amerika terlihat lebih jauh. Orang-orang Arab menyentuh satu sama lain lebih sering dan orientasinya lebih langsung. Umumnya orang Arab lebih dekat daripada orang Amerika.
Mengikuti Hall, Watson (dalam Gifford,1987) menegaskan bahwa budaya dapat dibagi menjadi dua : budaya kontak (Amerika latin, Spanyol, dan Maroko) duduk berjauhan satu sama lain daripada siswa-siswa dari kebudayaan non kontak (yaitu Amerika). Penelitian ini dibantu oleh Shuter, yang menjelaskan adanya bahaya dalam generalisasi yang mengatakan bahwa semua orang Amerika Latin menggunakan sejumlah ruang tertentu. Orang Costa Rika menyukai jarak personal yang lebih dekat dari pada orang Panama atau Kolombia. Sussman dan Rosenfeld (dalam Gifford,1987) menemukan bahwa orang jepang menggunakan jarak personal yang lebih lebar daripada orang Amerika, yang menggunakan lebih besar daripada orang Venezuela. Akan tetapi ketika orang jepang dan Venezuela berbicara dalam bahasa Inggris, jarak percakapan mereka seperti orang Amerika. Bahasa sebagai bagian pentingdari kebudayaan dapat mengubah kecenderungan budayaseseorang untuk menggunakan jarak interpersonal yang lebih atau kurang.
Sumber : Prabowo, H. 1998. Pengantar Psikologi Lingkungan. Seri Diktat Kuliah. Jakarta: Penerbit Gunadarma.
Langganan:
Postingan (Atom)