A. Pengertian Kepadatan
Kepadatan atau density ternyata mendapat perhatian yang serius dari para ahli psikologi lingkungan. Menurut Sundstrom, kepadatan adalah sejumlah manusia dalam setiap unit ruangan (dalam Wringhtsman & Deaux, 1981). Atau sejumlah individu yang berada di suatu ruangan atau wilayah tertentu dan lebih bersifat fisik (Holahan,1982; Heimstra dan Mcfarling, 1978; Stokols dalam Schmidt dan Keating,1978). Suatu keadaan akan dikatakan semakin padat bila jumlah manusia pada suatu batas ruang tertentu semakin banyak dibandingkan dengan luas ruangannya (Sarwano,1992).
Penelitian tentang kepadatan pada manusia berawal dari penelitian terhadap hewan yang dilakukan oleh John Calhoun. Penelitian Calhoun ini bertujuan untuk mengetahui dampak negative kepadatan dengan menggunakan hewan percobaan tikus. Hasil penelitian ini menunjukan adanya perilaku kanibal pada hewan tikus seiring dengan bertambahnya jumlah tikus (dalam Worchel dan Cooper, 1983)
Pertama dalam jumlah yang tidak padat (kepadatan rendah), kondisi fisik dan perilaku tikus berjalan normal. Tikus-tikus tersebut dapat melaksanakan perkawinan, membuat sarang, melahirkan, dan membesarkan anaknya seperti halnya kehidupan alamiah.
Kedua, adalah kondisi kepadatan tinggi dengan pertumbuhan populasi yang tak terkendali, ternyata memberikan dampak negative terhadap tikus-tikus tersebut. Terjadi penurunan fisik padda ginjal, otak, hati, dan jaringan kelenjar, serta penyimpangan perilaku seperti hiperaktif, homoseksual, dan kanibal.
Penelitian terhadap manusia yang pernah dilakukan oleh Bell (dalam Setiadi,1991) mencoba memerinci : bagaimana manusia merasakan dan bereaksi terhadap kepadatan yang terjadi; bagaimana dampaknya terhadap tingkah laku social; dan bagaimana dampaknya terhadap task performance (kinerja Tugas)? Hasil nya memperlihatkan ternyata banyak hal yang negative akibat dari kepadatan.
Pertama ketidak nyamanan dan kecemasan, peningkatan denyut jantung dan tekanan darah, hingga terjadi penurunan kesehatan atau peningkatan pada kelompok manusia tertentu.
Kedua, peningkatan agresifitas pada anak-anak dan orang dewasa (Mengikuti kurva linear) atau menjadi sangat menurun (berdiam diri/murung) bila kepadatan tinggi sekali Hight spatial density). Juga kehilangan minat berkomunikas, kerjasama, dan tolong menolong sesama anggota kelompok.
Ketiga, terjadi penurunan ketekunan dalam pemecahan persoalan atau pekerjaan. Juga penurunan hasil kerja terutama pada pekerjaan yang menutut hasil kerja yang kompleks.
B. Kategori kepadatan.
Menurut Altman (1975), di dalam studi sosiologi sejak tahun 1920an, variasi indicator kepadatan berhubungan dengan tingkah laku social. Variasi indicator kepadatan itu meliputi jumlah individu dalam sebuah kota, jumlah individu pada daerah sensus, jumlah individu pada unit tempat tinggal, jumlah ruangan pada unit tempat tinggal, jumlah bangunan pada lingkungan sekitar dan lain-lain. Sedangkan Jain (1987) berpendapat bahwa tingkat kepadatan penduduk akan di pengaruhi oleh unsur –unsur yaitu jumlah individu pada setiap ruang, jumlah ruang pada setiap unit ruamh tinggal, jumlah unit rumah tinggal pada setiap struktur hunian dan jumlah struktur hunian pada setiap wilayah pemukiman. Hal itu berarti bahwa setipa pemukiman memiliki tingkat kepadatan yang berbeda tergantung dari kontribusi unsure-unsur tersebut.
Kepadatan dapat dibedakan kedalam bebrapa kategori Holahan (1982) mengggolongkan kepadatan kedalam dua kategori, yaitu kepadatan spasial (Spatial density) yang terjadi bila besar atau luas ruangan diubah menjadi lebih kecil atau sempit sedangkan jumlah individu tetap, sehingga didapatkan kepadatan meningkat sejalan menurunnya besar ruang, dan kepadatan sosoial (social density) yang terjadi bila jumlah individu ditambah tanpa diiringi dengan penambahan besar atau luas ruangan sehingga didapatkan kepadatan meningkat dalam (inside density) yaitu jumlah individu yang berada dalam suatu ruang atau tempat tinggal seperti kepdatan didalam rumah, kamar, dan kepadatan luar (outside density) yaitu sejumlah individu yang berada pada suatu wilayah tertentu, seperti jumlah penduduk yang bermukim disuatu wilayah pemukiman.
C. Akibat-akibat kepadatan tinggi
Rumah dan lingkungan pemukiman akan member pengaruh psikologis pada individu yang menempatinya. Taylor (dalam Gilford,182) berpendapat bahwa lingkungan sekitar dapat merupakan sumber yang penting dalm mempengaruhi sikap, perilaku dan keadaan internal individu disuatu tempat tinggal. Rumah dan lingkungan pemukiman yang memiliki situasi dan kondisi yang baik dan nyaman seperti memiliki ruang yang cukup untuk kegiatan pribadi akan memberikan kepuasan psikis pada individu yang menempatinya. Schorr (dalam ittelson, 1974) mempercayai bahwa macam dan kualitas pemukiman dapat memberikan pengaruh penting terhadap persepsi diri penghuninya, stress dan kesehatan fisik, sehingga kondisi pemukiman ini tampaknya berpengaruh pada perilaku dan sikap-sikap orang yang tinggal disana (Ittelson, 1974). Penelitian Valins dan Baum ( dalam Heimstra dan McFarling,1978) menunjukan addanya hubungan yang erat antara kepdatan dengan interaksi social. Para mahasiswa yang bertempat tinggal diasrama yang padat sengaja mencari dan memilih tempat duduk yang jauh dari orang lain, tidak berbicara dengan orang lain yang berada di tempat yang sama. Dengan kata lain mahasiswa yang tinggal ditempat padat cenderung untuk menghindari kontak social dengan orang lain.
Penelitian terhadap kehidupan dalam penjara juga membuktikan tentang pengaruh kepadatan tempat tinggal. Penelitian D’Atri dan McCain (dalam Sears dkk, 1994) membuktiakn bahwa narapidana yang ditempatkan seorang diri di dalam sel ternyata memiliki tekanan yang lebih rendah bila dibandingkan dengan narapidana yang tinggal dalam penjara tipe asrama.
Rumah dengan luas lantai yang sempit dan terbatas apabila oleh sejumlah individu umumnya menimbulkan pengaruh negative pada penghuninya (Jain,1987). Hal ini terjadi karena dalam rumah tinggal yang terbatas umumnya individu tidak memilki ruang atau tempat yang dapat dipakai untuk kegiatan pribadi. Keterbatasan ruang memungkinkan individu sering harus bertemu dan berhubungan dengan orang lain baik secara fisik maupun verbal, sehingga individu memperoleh masukan yang berlebihan. Keadaan tersebut dapat menyebabkan individu merasa tidak mampu mengolah dan mengatur masukan yang diterima. Individu menjadi terhambat untuk memperoleh apa yang diinginkannya. Keadaan tersebut pada akhirnya menimbulkan perasaan sesak pada individu penghuni ruamh tinggal tersebut.
Kepadatan tinggi merupakan stressor lingkungan yang dapat menimbulkan kesesakan bagi individu yang berada didalamnya (Holahan,1982). Stressor lingkungan, menurut Stokols (dalam Brigham,1991), merupakan salah satu aspek lingkungan yang dapat menyebabkan stress, penyakit atau akibat-akibat negative pada perilaku masyarakat.
Akibat secara fisik yaitu reaksi fisik yang dirasakan individu seperti peningkatan detak jantung, tekanan darah, dan penyakit fisik lain (Heimstra dan McFarling,1978). Akibat secara social antara lain adanya masalah social yang terjadi dalam masyarakat seperti meningkatnya kriminalitas dan kenakalan remaja (Heimstra dan Mc Farling, 1978;Gifford,1987).
Akibat secara psikis antara lain :
a. Stress, kepadatan tinggi dapat menumbuhkan persaan negative, rasa cemas, stress (Jain,1987) dan perubahan suasana hati (Holahan,1982).
b. Menarik diri, kepadatan tinggi menyebabkan individu cenderung untuk menarik diri dan kurang mau berinteraksi dengan lingkungan sosialnya (Heimstra dan McFarling,1978;Holahan ,1982;Gifford,1987).
c. Perilaku menolong (perilaku prososial), kepadatan tinggi juga menurunkan keinginan individu untuk menolong atau member bantuan pada orang lain yang membutuhkan, terutama orang yang tidak dikenal (Holahan 1982;Fisher dkk,1984).
d. Kemampuan mengerjakan tugas, situasi padat menurunkan kemampuan individu untuk mengerjakan tugas-tugasnya pada saat tertentu (Holahan,1982).
e. Perilaku agresi, situasi padat yang di alami individu dapat menumbuhkan frustasi dan kemarahan, serta pada akhirnya akan terbentuk perilaku agresi (Heimstra dan McFarling, 1978; Holahan,1982).
D. Kepadatan dan perbedaan Budaya
Menurut Koerta (dalam Budihardjo,1991) faktor-faktor seperti ras, kebiasaan, adat istiadat, pengalaman masa silam, struktur social, dan lain-lain, akan sangat menentukan apakah kepadatan tertentu dapat menimbulkan perasaan sesak atau tidak.
Epstein (dalam Sears dkk.,1994) menemukan bahwa pengaruh kepadatan tinggi tempat tinggal tidak akan terjadi apabila penghuni mempunyai sikap kooperatif dan tingkat pengendalian tertentu. Pada suatu keluarga tampaknya tidak akan banyak mengalami kesesakan, karena mereka umumnya mampu “mengendalikan” rumah mereka dan mempunyai pola interaksi yang dapat meminimalkan timbulnya masalah tempat tinggal yang memiliki kepadatan tinggi.
Hasil penelitian Anderson (dalam Budihardjo,1991) terungkap bahwa komunitas tradisional etnis china di Hongkong, Singapura, dan Penang sudah sejak dulu terbiasa dengan kepadatan tinggi, tanpa merasa sesak. Ideologi nenek moyang mereka yang mendorong setiap keluarga agar melestarikan kehidupan lima generasi sekaligus di bahwa satu atap yang sama, telah berhasil menangkal kesesakan itu. Suara-suara bising dari anak-anak cucu justru dinilai sangat tinggi dalam kehidupan. Selain itu, atas dasar pertimbangan ekonomi, keluarga dari Negara-negara timur tidak segan-segan untuk menyewakan kamar-kamar didalam rumahnya untuk disewakan kepada orang lain, demi memperoleh penghasilan ekstra. Jadi kepadatan bukanlah penyebab stress, melainkan justru mencegahnya. Karena selain memperoleh tambahan penghasilan, mereka juga dapat memperluas persaudaraan dan interaksi social.
Gambaran lain di ungkap oleh Setiadi (1991) bahwa bangsa amerika sudah dapat merasakan dampak negative yang luar biasa pada kepadatan sekitar 1500 orang/ha, dengan terjadinya banyak penyimpangan perilaku social, pembunuhan, perkosaan dan tindak criminal lainnya. Sementara itu, di jepang dan Hongkong dengan kepadatan 5000/ha pada bagian kota-kota tertentu, ternyata kejahatan/criminal disana masih lebih rendah.
Sumber : Prabowo, H. 1998. Pengantar Psikologi Lingkungan. Seri Diktat Kuliah. Jakarta: Penerbit Gunadarma.
Senin, 28 Februari 2011
Rabu, 23 Februari 2011
Ambient condition & Architectural Features
A. Definisi Ambient condition
Ambient condition yaitu kualitas fisik dari keadaan yang mengelilingi individu seperti sound, cahaya/ penerangan, warna, kualitas udara, temperature, dan kelembaban.
B. Definisi Architectural Features
Architectural features yang tercangkup di dalamnya adalah seting-seting yang bersifat permanent, misalnya di dalam ruangan, yang termasuk didalamnya antara lain konfigurasi dinding, lantai, atap, serta pengaturan perabot dan dekorasi. Dalam suatu gedung architectural features meliputi layout tiap lantai, desain, dan perlakuan ruang dalam dan sebagainya.
Sumber :
elearning.gunadarma.ac.id/...psikologi_lingkungan/bab1-pendahuluan.pdf.
Ambient condition yaitu kualitas fisik dari keadaan yang mengelilingi individu seperti sound, cahaya/ penerangan, warna, kualitas udara, temperature, dan kelembaban.
B. Definisi Architectural Features
Architectural features yang tercangkup di dalamnya adalah seting-seting yang bersifat permanent, misalnya di dalam ruangan, yang termasuk didalamnya antara lain konfigurasi dinding, lantai, atap, serta pengaturan perabot dan dekorasi. Dalam suatu gedung architectural features meliputi layout tiap lantai, desain, dan perlakuan ruang dalam dan sebagainya.
Sumber :
elearning.gunadarma.ac.id/...psikologi_lingkungan/bab1-pendahuluan.pdf.
Senin, 14 Februari 2011
Teori-Teori tentang hubungan antara tingkah laku dengan lingkungan &Metode penelitian Psikologi Lingkungan
Teori-Teori tentang hubungan antara tingkah laku dengan lingkungan
Sebagaimana cabang dari suatu ilmu pengatahuan, psikologi lingkungan pun memerlukan teori-teori. Teori-teori ini diperlukan untuk menata berbagai data dan informasi yang jumlahnya besar dan sangat bervariasi sedemikian rupa sehingga para peneliti bisa memahaminya. Atas dasar itulah dapat dibuat berbagai kesimpulan, peramalan, generalisasi, pengembangan riset, atau melaksanakan usaha-usaha operasional.
Sebagai ilmu yang baru berkembang, belum banyak teori yang telah disusun oleh pakar-pakar psikologi lingkungan apalagi jika di pertimbangkan bahwa cabang ini belum mendapatkan bentuknya yang mapan. Konsep-konsep yang ada belum bisa didefeniskan dengan jelas dan hubungan antara variable-variabel belum dapat diterangkan dengan tuntas. Walaupun demikian, teori-teori yang sudah sempat tumbuh dan berkembang setidak-tidaknya dapat memberikan jawaban terhadap sebagian permasalahan yang timbul dalam psikologi lingkungan.
1. Teori stress lingkungan. Menurut teori ini, ada dua elemen dasar yang menyebabkan manusia bertingkahlaku terhadap lingkungannya. Elemen pertama adalah stressor dan elemen kedua adalah stress itu sendiri. Stressor adalah elemen lingkungan (stimuli) yang merangsang individu seperti kebisingan, suhu udara, dan kepadatan. Stress (ketegangan, tekanan jiwa) adalah hubungan antara stressor dengan reaksi yang ditimbulkan dalam diri individu.
Dalam rangka teori stress lingkungan ini ada dua pendapat mengenai stress itu. Menurut Selye (1956, dalam Bell et al, 1978:68) stress diawali dengan reaksi waspada (alarm reaction) terhadap adanya ancaman yang ditandai oleh proses tubuh secara otomatis seperti meningkatnya produksi adrenalin. Keadaan ini segera disusul yang menggigil di udara dingin atau berkeringat di udara panas.
Namun, menurut Lazarus (1966 dalam Bell et al, 1978:69) stress bukan hanya mengandung factor faal, melainkan juga melibatkan kesadaran (kognisi), khususnya dalam tingkah laku coping. Ketika individu hendak bereaksi terhadap stressor ia harus menentukan strategi dengan memilih tingkah laku, yaitu menghindar, menyerang secara fisik atau dengan kata-kata saja, dan mencari kompromi. Penetuan pilihan itu dilakukan di dalam kognisi.
2. Teori pembangkitan (arousal approach). Inti dari teori ini adalah meningkatnya (bangun, bangkit) atau berkurangnya kegiatan di otak sebagai suatu akibat dari proses faal tertentu (Hebb, 1972 dalam fisher et al, 1984:663-665). Perubahan kegiatan otak ini merupakan variable perantara (Intervening variable) antara rangsang yang datang dari lingkungan dengan tingkah lakuyang terjadi. Misalnya, seseorang datang dari desa dengan kereta api. Ketika turun di stasiun ia menghadapi berbagai stimuli seperti keramain, kebisingan, udara yang panas, dan polusi udara. Sebagai indicator bahwa pada diri orang desa itu terjadi peningkatan kegiatan pada syaraf otonom seperti bertambah cepatnya detak jantung, naiknya tekanan darah, dan produksi adrenalin yang lebih cepat.
Setelah ada tanda-tanda peningkatan kegiatan di otak itu maka dapat kita ramalkan akan terjadi perilaku tertentu seperti bertambah waspada, segera melakukan sesuatu, misalnya mencari kendaraan umum, atau menjadi agresif (marah-marah). Selanjutnya dikatakan oleh teori ini bahwa arousal yang rendahakan menghasilkan pekerjaan (performance) yang rendah pula. Makin tinggi arousalnya, makin tinggi hasil pekerjaan itu. Pada tugas-tugas yang mudah, hasilnya akan terus meningkat dengan meningkatnya arousal, tetapi pada pekerjaan-pekerjaan yang sulit, hasil pekerjaan justru akan menurun jika arousal sudah melebihi batas tertentu. Dalam psikologi lingkungan, dalam hubungan antara arousal dan performance ini dinamakan hokum Yerkes dan Dodson.
Hukum Yerkes-dodson. Pembangkitan penginderaan (arousal) melalui peningkatan rangsang, dapat meningkatan hasil kerja pada tugas-tugas yang sederhana, tetapi justru akan menggangu dan menurunkan prestasi kerja dalam tugas-tugas yang rumit. Misalnya, suara music didalam mobil bisa merangsang semangat pengemudi, tetapi suara music yang sama dapat mengganggu konsentrasi orang yang sedang memecahkan persoalan matematika. Hokum ini paling nyata efeknya jika berhubungan dengan rangsang suhu udara, kepadatan penduduk, dan suara bising (Bell et al, 1978:73). Misalnya kalau seorang sedang santai menggambar atau mencuci mobil maka bunyi radio yang memperdengarkan music rock, akan menambah semangat kerja orang itu. Makin keras musiknya, dia makin senang. Namun jika ia sedang serius membuat pekerjaan rumahnya dan kebetulan ada soal yang sulit maka setelah melalui titik tertentu, kebisingan itu dianggap menggangu dan sudah tidak menyenangkan lagi.
3. Teori kelebihan beban (environmental load theory). Teori ini dikemukakan oleh cohen (1977) dan milgram (1970) (dalam fisher et al, 1984:65-66). Prinsip dasar teori ini adalah manusia mempunyai keterbatasan dalam mengolah stimulus dari lingkungannya. Jika stimulus lebih besar dari pada kapasitas pengolahan informasi maka terjadilah kelebihan beban (overload) yang mengakibatkan sejumlah stimuli harus dia abaikan agar individu dapat memusatkan perhatiannya pada stimuli tertentu saja. Strategi pemilihan tingkah laku coping untuk memilih stimuli mana yang mau diprioritaskan atau diabaikan pada suatu waktu tertentu inilah yang menetukan reaksi positif atau negative dari individu itu terhadap lingkungannya.
4. Teori kekurangan beban (understimulation theory). Teori ini kebalikan dari teori kelebihan beban yang justru menyatakan bahwa manusia tidak akan senang jika ia tidak mendapat cukup rangsang dari lingkungannya. Zubek (69, dalam Bell et al, 1978;76) mengatakan bahwa kurangnya rangsang terhadap indera manusia menyebabkan timbulnya rasa kosong, sepi, dan cemas. Akibatnya juga bisa timbul kebosanan dan kejenuhan.
5. Teori tingkat adaptasi (adaptation level theory). Seperti sudah diuraikan diatas, manusia menyesuaikan responsnya terhadap rangsang yang datang dari luar, sedangkan stimulus pun dapat diubah sesuai dengan keperluan manusia . Wohlwill (1974, dalam Bell et al,78:78) menamankan penyesuian respons terhdap stimulus sebagai adaptasi, sedngkan penyesuian stimulus pada keadaan individu sebagai adjustment. Dalam hubungan ini dikatakan oleh Wohlwill bahwa setiap orang mempunyai tingkat adaptasi (adaptation level) tertentu terhadap rangsang atau kondisi lingkungan tertentu. Misalnya, orang Tibet mempunyai tingkat adaptasi yang sangat tinggi terhadap kadar oksigen dalam udara karena mereka biasa hidup di pegunungan yang sangat tinggi diatas permukaan laut. Untuk orang-orang biasa, berada ditempat yang kadar oksigennya rendah seperti itu tentu akan menimbulkan masalah. Dengan demikian jelaslah bahwa reaksi orang terhadap lingkungannya bergangtung pada tingkat adapts orang yang bersangkutan pada lingkungan itu. Makin jauh perbedaan antara keadaan lingkungan dengan tingkat adaptasi, makin kuat pula reaksi orang itu.
Kondisi lingkungan yang dekat atau sama dengan tingkat adaptasi adalah kondisi optimal. Orang cenderung selalu mempertahankan kondisi optimal ini, dalam skema Bell dinamakan Kondisi homeostatis. Ada tiga kategori stimulus yang dijadikan tolak ukur dalam hubungan lingkungan dan tingkah laku, yaitu stimulus fisik yang merangsang indera (suara, cahaya, suhu udara), stimulus social, dan gerakan. Untuk ketiga stimulus itu masing-masing mengandungtiga dimensi lagi, yaitu intensitas, diversitas dan pola.
6. Teori kendala tingkah laku (the behavior constraint theory). Seperti pernah diuraikan diatas, manusia pada hakikatnya ingin mempunyai kebebasan untuk menetukan sendiri tingkah lakunya. Dikatakan oleh J.Bhrem (Bell et al, 1978: 82-83) bahwa jika individu mendapat hambatan terhadap kebebasannya untuk melakukan sesuatu ia akan berusaha untuk memperoleh kebebasannya itu kembali. Reaksi untuk mendapatkan kembali kebebasan itu dinamakan Psychology reactance yang tidak selalu perlu terjadi hanya setelah individu langsung mengalami sendiri suatu situasi, tetapi juga dimungkinkan timbulnya psychological reactance berdasarkan antisipasi kemasa depan.
7. Teori psikologi ekologi. Teori ini dikemukakan oleh Barker (1968,dalam Bell et al, 1978:83-85). Kekhususannya adalah teori ini mempelajari hubungan timabl balik antara lingkungan dan tingkah laku, sedangkan teori-teori sebelumnya pada umumnya hanya memberikan perhatian pada pengaruh lingkungan terhadap tingkah laku saja. Suatu hal yang unik pada teori ini adalah adanya set tingkah laku (Behavioral setting) yang dipandang sebagai factor tersendiri. Set tingkah laku adalah pola tingkah laku kelompok (bukan tingkah laku individu) yang terjadi sebagai akibat kondisi lingkungan tertentu (phsycal milleu).
8. Teori cara berpikir. Berbeda dari teori-teori sebelumnya, teori ini justru mengkhususkan diri pada pengaruh tingkah laku pada lingkungan. H.L. Leff (1978:10-11) menyatakan bahwa ada dua macam cara orang berpikir dalam menanggapi rangsang dari lingkungan. Pertama adalah cara berpikir linier dan kedua adalah cara berpikir system. Perbedaan cara berpikir ini menyebabkan perbedaan dalam reaksi terhadpa lingkungan.
Metode penelitian Psikologi Lingkungan
Pada umumnya psikologi lingkungan menggunakan juga metode-metode yang digunakan dalam psikologi umum dan cabang-cabang psikologi lainnya. Secara garis besar ada tiga macam rancangan penelitian yang biasa digunakan dalam psikologi, yaitu rancangan eksperimental, rancangan korelasional, dan rancangan deskriptif.
Rancangan eksprimental adalah yang paling sulit diterapkan dalam psikologi lingkungan karena dalam pelakasanaannya rancangan ini mempersyaratkan agar semua variabel (faktor) di luar variabel yang sedang diteliti, dapat dikontrol oleh peneliti. Selain itu, biasanya penelitian eksperimental dilakukan dalam laboratorium. Padahal kejadian-kejadian dan gejala-gejala dalam alam seperti bencana alam, pemandangan alam, atau urbanisasi, sulit sekali dikontrol, apalagi dibawa kedalam laboratorium. Oleh karena itu, rancangan penelitian eksperimental ini hanya dapat dilakukan dalam topik-topik yang sangat terbatas saja dalam psikologi lingkungan, misalnya tentang pengaruh bising, kadar oksigen, pencahayaan, altitude (ketinggian dari permukaan laut), dan variabel-variabel lain yang bisa disimulasikan dalam laboratorium terhadap konsentrasi kerja atau daya pikir seseorang.
Rancangan kedua yang lebih banyak dilakukan dalam penelitian psikologi lingkungan adalah rancangan korelasional. Dengan rancangan ini peneliti berusaha mencari bagaimana hubungan antara satu variabel dengan variabel lainnya. Misalnya, hubungan antara musim tanam atau musim panen di pedesaan dengan mobilitas penduduk desa-kota. Atau hubungan antara kesuburan tanah di lokasi transmigrasi dengan frekuensi transmigran yang melarikan diri dari lokasi tersebut.
Rancangan ini lebih mudah dilakukan karena bisa dilakukan dengan langsung mengadakan pengamatan atau pengumpulan data di lapangan. Akan tetapi, kelemahannya adalah kadang-kadang tidak bisa diketahui dalam hubungan itu variabel mana yang merupakan penyebab dan mana yang merupakan akibat. Rancangan yang terbanyak dipakai adalah rancangan deskriptif, yaitu rancangan penelitian yang tujuannya hanya untuk menggambarkan keadaan manusia dalam suatu lingkungan tertentu dan bagaimana melakukan rekayasa atau campur tangan sehingga hubungan yang ada mengoptimalkan kondisi manusia maupunlingkungannya. Persyaratan dari rancang deskriptif ini hanyalah alat-alat pengumpul data yang valid dan reliable. Rancangan ini tidak terbatas pada laboratorium maupun waktu.
Sumber :
Sarwono, SW. 1992. Psikologi Lingkungan. Jakarta : Grasindo.
Sebagaimana cabang dari suatu ilmu pengatahuan, psikologi lingkungan pun memerlukan teori-teori. Teori-teori ini diperlukan untuk menata berbagai data dan informasi yang jumlahnya besar dan sangat bervariasi sedemikian rupa sehingga para peneliti bisa memahaminya. Atas dasar itulah dapat dibuat berbagai kesimpulan, peramalan, generalisasi, pengembangan riset, atau melaksanakan usaha-usaha operasional.
Sebagai ilmu yang baru berkembang, belum banyak teori yang telah disusun oleh pakar-pakar psikologi lingkungan apalagi jika di pertimbangkan bahwa cabang ini belum mendapatkan bentuknya yang mapan. Konsep-konsep yang ada belum bisa didefeniskan dengan jelas dan hubungan antara variable-variabel belum dapat diterangkan dengan tuntas. Walaupun demikian, teori-teori yang sudah sempat tumbuh dan berkembang setidak-tidaknya dapat memberikan jawaban terhadap sebagian permasalahan yang timbul dalam psikologi lingkungan.
1. Teori stress lingkungan. Menurut teori ini, ada dua elemen dasar yang menyebabkan manusia bertingkahlaku terhadap lingkungannya. Elemen pertama adalah stressor dan elemen kedua adalah stress itu sendiri. Stressor adalah elemen lingkungan (stimuli) yang merangsang individu seperti kebisingan, suhu udara, dan kepadatan. Stress (ketegangan, tekanan jiwa) adalah hubungan antara stressor dengan reaksi yang ditimbulkan dalam diri individu.
Dalam rangka teori stress lingkungan ini ada dua pendapat mengenai stress itu. Menurut Selye (1956, dalam Bell et al, 1978:68) stress diawali dengan reaksi waspada (alarm reaction) terhadap adanya ancaman yang ditandai oleh proses tubuh secara otomatis seperti meningkatnya produksi adrenalin. Keadaan ini segera disusul yang menggigil di udara dingin atau berkeringat di udara panas.
Namun, menurut Lazarus (1966 dalam Bell et al, 1978:69) stress bukan hanya mengandung factor faal, melainkan juga melibatkan kesadaran (kognisi), khususnya dalam tingkah laku coping. Ketika individu hendak bereaksi terhadap stressor ia harus menentukan strategi dengan memilih tingkah laku, yaitu menghindar, menyerang secara fisik atau dengan kata-kata saja, dan mencari kompromi. Penetuan pilihan itu dilakukan di dalam kognisi.
2. Teori pembangkitan (arousal approach). Inti dari teori ini adalah meningkatnya (bangun, bangkit) atau berkurangnya kegiatan di otak sebagai suatu akibat dari proses faal tertentu (Hebb, 1972 dalam fisher et al, 1984:663-665). Perubahan kegiatan otak ini merupakan variable perantara (Intervening variable) antara rangsang yang datang dari lingkungan dengan tingkah lakuyang terjadi. Misalnya, seseorang datang dari desa dengan kereta api. Ketika turun di stasiun ia menghadapi berbagai stimuli seperti keramain, kebisingan, udara yang panas, dan polusi udara. Sebagai indicator bahwa pada diri orang desa itu terjadi peningkatan kegiatan pada syaraf otonom seperti bertambah cepatnya detak jantung, naiknya tekanan darah, dan produksi adrenalin yang lebih cepat.
Setelah ada tanda-tanda peningkatan kegiatan di otak itu maka dapat kita ramalkan akan terjadi perilaku tertentu seperti bertambah waspada, segera melakukan sesuatu, misalnya mencari kendaraan umum, atau menjadi agresif (marah-marah). Selanjutnya dikatakan oleh teori ini bahwa arousal yang rendahakan menghasilkan pekerjaan (performance) yang rendah pula. Makin tinggi arousalnya, makin tinggi hasil pekerjaan itu. Pada tugas-tugas yang mudah, hasilnya akan terus meningkat dengan meningkatnya arousal, tetapi pada pekerjaan-pekerjaan yang sulit, hasil pekerjaan justru akan menurun jika arousal sudah melebihi batas tertentu. Dalam psikologi lingkungan, dalam hubungan antara arousal dan performance ini dinamakan hokum Yerkes dan Dodson.
Hukum Yerkes-dodson. Pembangkitan penginderaan (arousal) melalui peningkatan rangsang, dapat meningkatan hasil kerja pada tugas-tugas yang sederhana, tetapi justru akan menggangu dan menurunkan prestasi kerja dalam tugas-tugas yang rumit. Misalnya, suara music didalam mobil bisa merangsang semangat pengemudi, tetapi suara music yang sama dapat mengganggu konsentrasi orang yang sedang memecahkan persoalan matematika. Hokum ini paling nyata efeknya jika berhubungan dengan rangsang suhu udara, kepadatan penduduk, dan suara bising (Bell et al, 1978:73). Misalnya kalau seorang sedang santai menggambar atau mencuci mobil maka bunyi radio yang memperdengarkan music rock, akan menambah semangat kerja orang itu. Makin keras musiknya, dia makin senang. Namun jika ia sedang serius membuat pekerjaan rumahnya dan kebetulan ada soal yang sulit maka setelah melalui titik tertentu, kebisingan itu dianggap menggangu dan sudah tidak menyenangkan lagi.
3. Teori kelebihan beban (environmental load theory). Teori ini dikemukakan oleh cohen (1977) dan milgram (1970) (dalam fisher et al, 1984:65-66). Prinsip dasar teori ini adalah manusia mempunyai keterbatasan dalam mengolah stimulus dari lingkungannya. Jika stimulus lebih besar dari pada kapasitas pengolahan informasi maka terjadilah kelebihan beban (overload) yang mengakibatkan sejumlah stimuli harus dia abaikan agar individu dapat memusatkan perhatiannya pada stimuli tertentu saja. Strategi pemilihan tingkah laku coping untuk memilih stimuli mana yang mau diprioritaskan atau diabaikan pada suatu waktu tertentu inilah yang menetukan reaksi positif atau negative dari individu itu terhadap lingkungannya.
4. Teori kekurangan beban (understimulation theory). Teori ini kebalikan dari teori kelebihan beban yang justru menyatakan bahwa manusia tidak akan senang jika ia tidak mendapat cukup rangsang dari lingkungannya. Zubek (69, dalam Bell et al, 1978;76) mengatakan bahwa kurangnya rangsang terhadap indera manusia menyebabkan timbulnya rasa kosong, sepi, dan cemas. Akibatnya juga bisa timbul kebosanan dan kejenuhan.
5. Teori tingkat adaptasi (adaptation level theory). Seperti sudah diuraikan diatas, manusia menyesuaikan responsnya terhadap rangsang yang datang dari luar, sedangkan stimulus pun dapat diubah sesuai dengan keperluan manusia . Wohlwill (1974, dalam Bell et al,78:78) menamankan penyesuian respons terhdap stimulus sebagai adaptasi, sedngkan penyesuian stimulus pada keadaan individu sebagai adjustment. Dalam hubungan ini dikatakan oleh Wohlwill bahwa setiap orang mempunyai tingkat adaptasi (adaptation level) tertentu terhadap rangsang atau kondisi lingkungan tertentu. Misalnya, orang Tibet mempunyai tingkat adaptasi yang sangat tinggi terhadap kadar oksigen dalam udara karena mereka biasa hidup di pegunungan yang sangat tinggi diatas permukaan laut. Untuk orang-orang biasa, berada ditempat yang kadar oksigennya rendah seperti itu tentu akan menimbulkan masalah. Dengan demikian jelaslah bahwa reaksi orang terhadap lingkungannya bergangtung pada tingkat adapts orang yang bersangkutan pada lingkungan itu. Makin jauh perbedaan antara keadaan lingkungan dengan tingkat adaptasi, makin kuat pula reaksi orang itu.
Kondisi lingkungan yang dekat atau sama dengan tingkat adaptasi adalah kondisi optimal. Orang cenderung selalu mempertahankan kondisi optimal ini, dalam skema Bell dinamakan Kondisi homeostatis. Ada tiga kategori stimulus yang dijadikan tolak ukur dalam hubungan lingkungan dan tingkah laku, yaitu stimulus fisik yang merangsang indera (suara, cahaya, suhu udara), stimulus social, dan gerakan. Untuk ketiga stimulus itu masing-masing mengandungtiga dimensi lagi, yaitu intensitas, diversitas dan pola.
6. Teori kendala tingkah laku (the behavior constraint theory). Seperti pernah diuraikan diatas, manusia pada hakikatnya ingin mempunyai kebebasan untuk menetukan sendiri tingkah lakunya. Dikatakan oleh J.Bhrem (Bell et al, 1978: 82-83) bahwa jika individu mendapat hambatan terhadap kebebasannya untuk melakukan sesuatu ia akan berusaha untuk memperoleh kebebasannya itu kembali. Reaksi untuk mendapatkan kembali kebebasan itu dinamakan Psychology reactance yang tidak selalu perlu terjadi hanya setelah individu langsung mengalami sendiri suatu situasi, tetapi juga dimungkinkan timbulnya psychological reactance berdasarkan antisipasi kemasa depan.
7. Teori psikologi ekologi. Teori ini dikemukakan oleh Barker (1968,dalam Bell et al, 1978:83-85). Kekhususannya adalah teori ini mempelajari hubungan timabl balik antara lingkungan dan tingkah laku, sedangkan teori-teori sebelumnya pada umumnya hanya memberikan perhatian pada pengaruh lingkungan terhadap tingkah laku saja. Suatu hal yang unik pada teori ini adalah adanya set tingkah laku (Behavioral setting) yang dipandang sebagai factor tersendiri. Set tingkah laku adalah pola tingkah laku kelompok (bukan tingkah laku individu) yang terjadi sebagai akibat kondisi lingkungan tertentu (phsycal milleu).
8. Teori cara berpikir. Berbeda dari teori-teori sebelumnya, teori ini justru mengkhususkan diri pada pengaruh tingkah laku pada lingkungan. H.L. Leff (1978:10-11) menyatakan bahwa ada dua macam cara orang berpikir dalam menanggapi rangsang dari lingkungan. Pertama adalah cara berpikir linier dan kedua adalah cara berpikir system. Perbedaan cara berpikir ini menyebabkan perbedaan dalam reaksi terhadpa lingkungan.
Metode penelitian Psikologi Lingkungan
Pada umumnya psikologi lingkungan menggunakan juga metode-metode yang digunakan dalam psikologi umum dan cabang-cabang psikologi lainnya. Secara garis besar ada tiga macam rancangan penelitian yang biasa digunakan dalam psikologi, yaitu rancangan eksperimental, rancangan korelasional, dan rancangan deskriptif.
Rancangan eksprimental adalah yang paling sulit diterapkan dalam psikologi lingkungan karena dalam pelakasanaannya rancangan ini mempersyaratkan agar semua variabel (faktor) di luar variabel yang sedang diteliti, dapat dikontrol oleh peneliti. Selain itu, biasanya penelitian eksperimental dilakukan dalam laboratorium. Padahal kejadian-kejadian dan gejala-gejala dalam alam seperti bencana alam, pemandangan alam, atau urbanisasi, sulit sekali dikontrol, apalagi dibawa kedalam laboratorium. Oleh karena itu, rancangan penelitian eksperimental ini hanya dapat dilakukan dalam topik-topik yang sangat terbatas saja dalam psikologi lingkungan, misalnya tentang pengaruh bising, kadar oksigen, pencahayaan, altitude (ketinggian dari permukaan laut), dan variabel-variabel lain yang bisa disimulasikan dalam laboratorium terhadap konsentrasi kerja atau daya pikir seseorang.
Rancangan kedua yang lebih banyak dilakukan dalam penelitian psikologi lingkungan adalah rancangan korelasional. Dengan rancangan ini peneliti berusaha mencari bagaimana hubungan antara satu variabel dengan variabel lainnya. Misalnya, hubungan antara musim tanam atau musim panen di pedesaan dengan mobilitas penduduk desa-kota. Atau hubungan antara kesuburan tanah di lokasi transmigrasi dengan frekuensi transmigran yang melarikan diri dari lokasi tersebut.
Rancangan ini lebih mudah dilakukan karena bisa dilakukan dengan langsung mengadakan pengamatan atau pengumpulan data di lapangan. Akan tetapi, kelemahannya adalah kadang-kadang tidak bisa diketahui dalam hubungan itu variabel mana yang merupakan penyebab dan mana yang merupakan akibat. Rancangan yang terbanyak dipakai adalah rancangan deskriptif, yaitu rancangan penelitian yang tujuannya hanya untuk menggambarkan keadaan manusia dalam suatu lingkungan tertentu dan bagaimana melakukan rekayasa atau campur tangan sehingga hubungan yang ada mengoptimalkan kondisi manusia maupunlingkungannya. Persyaratan dari rancang deskriptif ini hanyalah alat-alat pengumpul data yang valid dan reliable. Rancangan ini tidak terbatas pada laboratorium maupun waktu.
Sumber :
Sarwono, SW. 1992. Psikologi Lingkungan. Jakarta : Grasindo.
Pengantar Psikologi Lingkungan
Pengantar
A. Latar Belakang Sejarah Psikologi Lingkungan
Kurt Lewin yang pertama kali memperkenalkan Field Theory (Teori Medan) yang merupakan salah satu langkah awal dari teori yang mempertimbangkan interaksi antara lingkungan dengan manusia. Lewin juga menhgatakan bahwa tingkah laku adalah fungsi dari kepribadian dan lingkungan, sehingga dapat diformulasikan menjadi :
T L= f(P.L)
TL = tingkah laku
f = fungsi
P = pribadi
L = lingkungan
Berdasarkan rumusan tersebut, Lewin mengajukan adanya kekuatan-kekuatan yang terjadi selama interaksi antara manusia dan lingkungan. Masing-masing komponen tersebut bergerak suatu kekuatan-kekuatan yang terjadi pada medan interaksi, yaitu daya tarik dan daya mendekat dan daya tolak dan daya menjauh.
Sebelum kita kenal istilah psikologi lingkungan yang sudah baku, semula Lewin memberikan istilah ekologi psikologi. Lalu pada tahun 1947, Roger Barker dan Herbert Wright memperkenalkan istilah setting perilaku untuk suatu unit ekologi kecil yang melingkupi perilaku manusia sehari-hari. Istilah psikologi arsitektur pertama kali diperkenalkan ketika diadakan konferensi pertama di Utah dan jurnal profesional pertama yang diterbitkan pada akhir tahun 1960-an banyak menggunakan istilah lingkungan dan perilaku. Baru pada tahun 1968, Harold Proshansky dan William Ittelson memperkenalkan program tingkat doktoral yang pertama dalam bidan psikologi lingkungan di CNUY (City University of New York) (Gifford, 1987
B. Definisi Psikologi Lingkungan
Dalam mengupayakan keinginannya ini manusia bisa melakukan hal-hal yang dalam jangka panjang atau pada akhirnya bisa merugikan dirinya sendiri. Oleh karena itu, dalam psikologi berkembang keperluan untuk mempelajari secara lebih khusus kaitan anatara tingkah laku manusia dengan lingkungannya. Cabang psikologi yang dimaksud adalah psikologi lingkungan
C. Lingkup Psikologi Lingkungan
Berdasarkan objek yang dipelajarinya, psikologi dapat dibedakan atas:
٭ Psikologi yang mempelajari manusia
٭ Psikologi yang mempelajari hewan.
Psikologi Manusia
Cakupan yang cukup luas, menyebabkan dilakukannya pengelompokkan dalam psikologi manusia.
Atas dasar tujuannya, dibedakan atas:
Psikologi Teoritis
Psikologi Praktis
Atas dasar objek yang dipelajarinya, dibedakan atas:
Psikologi Umum
Psikologi Khusus
Sumber Artikel :images.nunukmulandari.multiply.multiplycontent.com/.../Ruang%20Lingkup%20Psikologi%20(Pertemuan%202).ppt?...
elearning.gunadarma.ac.id/...psikologi_lingkungan/bab1-pendahuluan.pdf.
A. Latar Belakang Sejarah Psikologi Lingkungan
Kurt Lewin yang pertama kali memperkenalkan Field Theory (Teori Medan) yang merupakan salah satu langkah awal dari teori yang mempertimbangkan interaksi antara lingkungan dengan manusia. Lewin juga menhgatakan bahwa tingkah laku adalah fungsi dari kepribadian dan lingkungan, sehingga dapat diformulasikan menjadi :
T L= f(P.L)
TL = tingkah laku
f = fungsi
P = pribadi
L = lingkungan
Berdasarkan rumusan tersebut, Lewin mengajukan adanya kekuatan-kekuatan yang terjadi selama interaksi antara manusia dan lingkungan. Masing-masing komponen tersebut bergerak suatu kekuatan-kekuatan yang terjadi pada medan interaksi, yaitu daya tarik dan daya mendekat dan daya tolak dan daya menjauh.
Sebelum kita kenal istilah psikologi lingkungan yang sudah baku, semula Lewin memberikan istilah ekologi psikologi. Lalu pada tahun 1947, Roger Barker dan Herbert Wright memperkenalkan istilah setting perilaku untuk suatu unit ekologi kecil yang melingkupi perilaku manusia sehari-hari. Istilah psikologi arsitektur pertama kali diperkenalkan ketika diadakan konferensi pertama di Utah dan jurnal profesional pertama yang diterbitkan pada akhir tahun 1960-an banyak menggunakan istilah lingkungan dan perilaku. Baru pada tahun 1968, Harold Proshansky dan William Ittelson memperkenalkan program tingkat doktoral yang pertama dalam bidan psikologi lingkungan di CNUY (City University of New York) (Gifford, 1987
B. Definisi Psikologi Lingkungan
Dalam mengupayakan keinginannya ini manusia bisa melakukan hal-hal yang dalam jangka panjang atau pada akhirnya bisa merugikan dirinya sendiri. Oleh karena itu, dalam psikologi berkembang keperluan untuk mempelajari secara lebih khusus kaitan anatara tingkah laku manusia dengan lingkungannya. Cabang psikologi yang dimaksud adalah psikologi lingkungan
C. Lingkup Psikologi Lingkungan
Berdasarkan objek yang dipelajarinya, psikologi dapat dibedakan atas:
٭ Psikologi yang mempelajari manusia
٭ Psikologi yang mempelajari hewan.
Psikologi Manusia
Cakupan yang cukup luas, menyebabkan dilakukannya pengelompokkan dalam psikologi manusia.
Atas dasar tujuannya, dibedakan atas:
Psikologi Teoritis
Psikologi Praktis
Atas dasar objek yang dipelajarinya, dibedakan atas:
Psikologi Umum
Psikologi Khusus
Sumber Artikel :images.nunukmulandari.multiply.multiplycontent.com/.../Ruang%20Lingkup%20Psikologi%20(Pertemuan%202).ppt?...
elearning.gunadarma.ac.id/...psikologi_lingkungan/bab1-pendahuluan.pdf.
Langganan:
Postingan (Atom)