Kamis, 13 Januari 2011

Jenis-jenis Penelitian Deskriptif

Ditinjau dari jenis masalah yang diselidiki, teknik dan alat yang digunakan dalam meneliti, serta tempat dan waktu penelitian dilakukan, penelitian deskriptif dapat dibagi atas beberapa jenis, yaitu:
1. metode survei
2. metode deskriptif berkesinambungan
3. penelitian studi kasus
4. penelitian analisis pekerjaan dan aktivitas
5. penelitian tindakan
6. penelitian perpustakaan dan dokumenter

Sumber : Buku Metode Penelitian (Moh.Nazir, Ph.D)

Langkah-langkah Pokok

Langkah-langkah pokok dalam penelitian sejarah sebagai berikut:
1. Definisi Masalah
2. Rumuskan tujuan penelitian
3. Rumuskan hipotesis
4. Kumpulkan data
5. Evaluasi data
6. Interpretasi dan generalisasi
7. Laporan


Sumber : Buku Metode Penelitian (Moh.Nazir, Ph.D)

Kriteria Metode ilmiah

Upaya suatu metode yang digunakan dalam penelitian disebut metode ilmiah, maka metode tersebut harus mempunyai kriteria sebagai berikut:
1.berdasarkan fakta
2.bebas dari prasangka (bias)
3.menggunakan prinsip-prinsip analisis
4.menggunakan hipotesis
5.menggunakan ukuran objektif
6.menggunakan teknik kuantitatif


Sumber : Buku Metode Penelitian (Moh.Nazir,Ph.D)

Kebenaran Non-ilmiah

Tidak selamanya penemuan kebenaran diperoleh secara ilmiah, kadangkala kebenatan dapat ditemukan melalui proses nonilmiah, seperti:
a. penemuan kebenaran secara kebetulan
b. penemuan kebenaran secara common sense (akal sehat)
c. penemuan kebenaran melalui wahyu
d. penemuan kebenaran secara intuitif
e. penemuan kebenaran secara trial dan error
f. penemuan kebenaran melalui spekulasi
g. penemuan kebenaran karena kewibawaan


Sumber : Buku Metode Penelitian (Moh.Nazir, Ph.D)

Syarat-syarat Percobaan yang baik

Beberapa syarat-syarat harus dipenuhi oleh suatu percobaan yang memenuhi syarat. Syarat-syarat pokok anatara lain adalah sebagai berikut:
1. Percobaan harus bebas dari bias
2. Percobaan harus punya ukuran terhadap error
3. Percobaan harus punya ketetapan
4. Tujuan harus didefinisikan sejelas-jelasnya
5. Percobaan harus punya jangkauan yang cukup


Sumber : Buku Metode Penelitian (Moh. Nazir, Ph.D)

Jenis-Jenis Penelitian Sejarah

Penelitian historis banyak sekali macamnya. akan tetapi, secara umum, dapat dibagi atas empat jenis, yaitu sebagai berikut:
1. Penelitian sejarah komparatif
2. Penelitian yuridis atau legal
3. Penelitian biografis
4. Penelitian Bibliografis

Sumber : Buku Metode Penelitian (Moh.Nazir, Ph.D)

Penelitian

Penelitian dibagi oleh Crawford (1928) atas 14 jenis, yaitu sebagai berikutt:

1. Eksperimen
2. Sejarah
3. Psikologis
4. Case study
5. Survei
6. Membuat Kurikulum
7. Analisis Pekerjaan
8. Interview
9. Questionair
10.Observasi
11.Pengukuran
12.Statistik
13.Tabel dan Grafik
14.Teknik Perpustakaan

Sumber : Buku Metode Penelitian (Moh. Nazir, Ph.D)

Kamis, 06 Januari 2011

Potensi Primordial

Setiap manifestasi dari keempat prinsip kuantitatif terdahulu akan ditimbun di atas potensi awal individu yang bervariasi.

Sumber : Pengantar Psikologi Inteligensi (Drs. Saifuddin Azwar, MA)

Kontrol Konatif

Intensitas kognisi dapat dikendalikan oleh konasi (motivasi).

Sumber : Pengantar Psikologi Inteligensi (Drs.Saifuddin Azwar, MA)

Kelelahan

Terjadinya peristiwa kognitif menimbulkan kecenderungan untuk melawan terulangnya peristiwa tersebut.

Sumber : Pengantar Psikologi Inteligensi (Drs. Saifuddin Azwar, MA)

Kekuatan Menyimpan (retentivity)

Terjadinya peristiwa kognitif menimbulkan kecenderungan untuk terulang kembali

Sumber : Pengantar Psikologi Inteligensi (Drs. Saifuddin Azwar, MA)

Energi Mental

Setiap fikiran cenderung untuk menjaga total output kognitif simultannya dalam kuantitas yang tetap walau bagaimanapun variasi kualitatifnya.

Sumber : Pengantar Psikologi Inteligensi (Drs. Saifuddin Azwar, MA)

Lima Prinsip Kuantitatif dalam kognisi

Spearman juga mengemukakan lima prinsip kuantitatif dalam kognisi, yaitu:
a. Energi Mental
b. Kekuatan Menyimpan
c. Kelelahan
d. Kontrol Konatif
e. Potensi Primordial


Sumber : Pengantar Psikologi Inteligensi (Drs. Saifuddin Azwar, MA)

Definisi Inteligensi menurut Alfred Binet

Alfred Binet, seorang tokoh utama perintis pengukuran intelegensi yang hidup antara tahun 1857-1911, bersama dengan Theodore Simon mendefinisikan inteligensi sebagai terdiri atas 3 komponen, yaitu :
a. kemampuan untuk mengarahkan fikiran atau mengarahkan tindakan,
b. kemampuan untuk mengubah arah tindakan bila tindakan tersebut telah dilaksanakan, dan
c. kemampuan untuk mengeritik diri sendiri atau melakukan autocriticism


Sumber : Pengantar Psikologi Inteligensi (Drs. Saifuddin Azwar, MA)

Facebook dan Gejala Autisme Sosial Remaja

Kategori Sosial
Oleh : Ubaydillah, AN
Jakarta, 05 Maret 2010
Dimanakah Bahayanya FB?
Di awal tahun 2010 ini, kita dikejutkan oleh pemberitaan miring seputar penyimpangan sejumlah remaja yang gara-garanya Facebook (FB). Seorang remaja putri di Jawa Timur, nekat lari ke Jakarta, meninggalkan orangtuanya, setelah berkenalan dengan teman baru dari Tangerang melalui FB. Kata polisi, mereka telah melakukan perbuatan yang jauh belum saatnya.

Kasus yang sama menimpa remaja A di Jawa Tengah. Setelah sering menggunakan seluler untuk FB-an, remaja itu menghilang entah kemana. Ada semakin banyak orangtua yang menggelisahakan aktivitas putra-putrinya sehabis sekolah. Mereka tidak pulang. Mereka mampir di warnet untuk FB-an.

Bahkan, di jam-jam yang mestinya mereka masuk kelas pun, mereka kedapatan nongkrong di warnet, seperti yang terjadi di Depok. Setelah dilihat apa yang mereka lakukan, ternyata isinya balik lagi ke YM dan FB. Di Lampung, 4 pelajar remaja diberhentikan dari sekolahnya karena dinilai telah menghina guru mereka melalui FB.

Berdasarkan kasus-kasus itu, muncul pro-kontra dalam masyarakat. Ada yang berpendapat, FB harus diharamkan karena madhorot-nya. Tapi, kenyataan di lapangan sepertinya kurang bisa menerima secara plong pendapat ini. Alasannya, menurut pendapat yang tidak setuju, “ Kan bukan FB-nya yang salah. Yang salah kan otak manusianya?”, begitu kira-kira.

Alasan lainnya, FB tidak otomatik memberikan madhorot. Bahkan sempat terbukti memberikan maslahat, minimalnya untuk kelompok atau orang tertentu. Katakanlah di sini dukungan untuk Pak Bibit-Chanda, dukungan untuk pulau Komodo, dan lain-lain. Malah sekarang ini, FB telah dijadikan tren menggalang dukungan.

Terlepas pro-kontra itu, tetapi faktanya FB itu sudah ada di depan mata dan nyata. Sebagai produk tehnologi, dia hanya enabler (perangkat yang membuat kita mampu), bukan creator (perangkat yang berinisiatif sendiri). Karena enabler, dia bisa berbahaya dan juga bisa bermafaat, tergantung di tangan siapa. Man behind the gun.

Autisme Sosial Remaja
Sebut saja di sini keluarga Pak Djodi yang secara ekonomi masuk di kelas menengah. Karena ayah dan ibu bekerja di luar rumah, keluarga ini punya agenda memanfaatkan waktu liburnya untuk kumpul keluarga: ayah, ibu, dan kedua anaknya yang remaja.

Tapi apa yang terjadi selama di kendaraan dan di restoran? Kedua anaknya sibuk memainkan hape untuk sms-an atau FB-an dengan temannya yang entah di mana. Walhasil, hanya kelihatannya saja itu acara keluarga. Batin anaknya tidak involve 100% di proses acara keluarga itu. Malah terkesan buru-buru ingin meninggalkan acara karena ada urusan di luar lewat hape.

Ilustrasi di atas rasa-ranya sudah bukan fiktif lagi saat ini. Itu sudah menjadi fakta. Anak-anak remaja saat ini menghadapi banyaknya pilihan dan godaan yang ditawarkan layar kaca dan dunia maya, dari mulai hape, internet, game, dan lain-lain. Mungkin, orangtuanya dulu menghadapi tantangan berupa sedikitnya pilihan dan banyaknya keterbatasan.

Pertanyaannya, tantangan manakah yang sebetulnya lebih berat? Tantangan yang kita hadapi dulu atau tantangan yang dihadapi anak-anak kita sekarang ini? Namanya tantangan, pasti sama-sama berat. Karena itu, terkadang tidak seluruhnya tepat kalau kita mengatakan kepada anak, misalnya begini: “Kan hidupmu sudah enak, tidak seperti ayah-ibu dulu?”

Layar kaca dan dunia maya adalah tantangan generasi sekarang. Jika sikap mentalnya tidak tepat, misalnya berlebihan atau disalahgunakan, akan memberikan bahaya yang ekstrimnya seperti pada kasus-kasus di atas. Bahaya lain yang kelihatannya tidak ekstrim, tetapi tidak bisa dianggap remeh adalah melumpuhnya ketrampilan sosial (autisme sosial).

Padahal itu sangat dibutuhkan bagi kehidupannya di alam nyata, di sekolah, di tempat kerja, di keluarga, di masyarakat, dan seterusnya. Beberapa gejala kelumpuhan sosial yang perlu kita amati itu antara lain:

§ Rendahnya kemampuan bertatakrama, tatasusila dan etika dalam berkomunikasi.
§ Rendahnya kemampuan membaca bahasa batin dalam berkomunikasi
§ Melemahnya kepekaan terhadap kenyataan sehingga tidak mampu menyelami “What is happening” dan “What to do”
§ Membudayanya berpikir yang serba tehnik dalam menghadapi hidup karena terbiasa menghadapi tehnologi sehingga kurang bisa “soft” atau bijak
§ Rendahnya kemampuan menyelesaikan konflik dalam interaksi
Itu semua akan terjadi apabila penggunaan layar kaca dan dunia maya berlebihan atau tidak berkonsep, misalnya hanya untuk hahak-huhuk atau hanya karena desakan tren dan distraksi (gangguan pengembangan-diri) yang jauh dari sesuatu yang important (penting) atau priority (sangat penting).

Lain soal kalau digunakan untuk menjalankan konsep, seperti mahasiswa di Malang yang berhasil menciptakan game kelas internasional karena sering di warnet dekat rumahnya. Atau juga untuk mengkaji dan menambah pengetahuan, seperti yang dilakukan anak MAN di Bandung yang ilmunya lebih bagus dari gurunya gara-gara internet.

Pentingnya Interaksi Langsung
Sejak zaman dulu, peradaban manusia telah menawarkan berbagai cara untuk berkomunikasi, tidak selalu langsung berhadapan dan bergesekan. Misalnya saja surat-menyurat yang sudah dikenal sejak dula kala. Kemudian muncul tehnologi dengan menggunakan telepon. Dan kini muncul yang lebih canggih, chating atau FB.

Ada fakta menarik yang kerap luput dari kesadaran kita bahwa meski kemajuan zaman itu menawarkan sekian cara berkomunikasi, tetapi untuk kepentingan learning (mendewasakan manusia), belum ada yang bisa menggantikan atau mengungguli peranan komunikasi langsung (interaksi).

Malah kalau menurut laporan riset mengenai social learning (belajar dengan melihat orang lain), ternyata pengaruh interaksi melebihi pengajaran di kelas, seminar, atau belajar dari internet, terutama untuk pembelajaran perilaku. Adapun untuk menambah pengetahuan (pembelajaran intelektual) memang sekolah tidak ada duanya.

Kalau logika ini kita kaitkan dengan masalah yang mengancam kemampuan sosial remaja di atas, maka beberapa poin penting yang perlu kita sadari adalah:

§ Semakin berlebihan dia berinteraksi dengan kaca dan maya, akan semakin berkurang kesempatannya untuk belajar bertatakrama, tatasusila dan beretika. Dunia maya hanya mengajarkan apa yang ditulis. Soal tatakrama, tentu sangat minim. Seorang mahasiswa yang kebetulan asyik sms-an lalu menabrak dosennya, mungkin hanya akan bilang sori, dengan muka yang biasa-biasa. Padahal, secara tatakramanya mestinya tidak begitu.
§ Semakin berlebihan dia berinteraksi dengan kaca dan maya, akan semakin sedikit kesempatannya membaca suara batin orang lain. Kemampuan membaca suara yang tidak terdengar dalam komunikasi hanya bisa digali dari interaksi langsung. Menurut Peter Drucker dan juga praktek hidup yang kita alami, kemampuan membaca menjadi kunci dan tertinggi kualitasnya.
§ Semakin berlebihan dia berinteraksi dengan kaca dan maya, akan semakin kecil kesempatannya untuk merasakan dan menangkap apa yang terjadi nyata di sekelilingnya, seperti pada kasus ilustrasi keluarga Pak Djodi di atas. Atau juga bisa menjadikan FB sebagai pelampiasan mengatasi rasa malu dengan cara melarikan diri dari realitas, bukan work on reality.
§ Semakin berlebihan dia berinteraksi dengan kaca dan maya, akan semakin kecil kesempatannya untuk menggunakan pikirannya bagaimana berkreasi secara kreatif menghadapi konflik dalam praktek hubungan. Di dunia maya, begitu kita tidak cocok dengan seseorang, tulis aja atau delete aja. Tapi, dalam praktek hidup, itu tidak bisa.

Kalau dilihat dari konsep pendidikannya, dunia maya dan layar kaca pun dibutuhkan dalam mendewasakan manusia. Tetapi, jangan sampai itu menggantikan interaksi langsung, kecuali untuk ruang dan jarak yang tak bisa ditembus. Kenapa?

Dunia maya dan layar kaca hanya sampai pada memberi sumbangan dalam bentuk data, informasi, dan pengetahuan. Untuk praktek hidup, ini perlu ditambah lagi dengan wisdom. Darimana ini digali? Wisdom digali dari praktek, dari interaksi, dari konflik, dari gesekan, dan dari pemaknaan.

“DATA – INFORMATION – KNOWLEDGE – WISDOM”

Manajemen Layak Kaca & Maya Di Sekolah Dan Rumah
Akhirnya, mau tidak mau, kita harus berurusan dengan manajemen (pengaturan dan pengelolaan) untuk anak-anak kita yang sedang gandrung-gandrungnya FB dan Hape. Cara yang paling simpel, namun biasanya kurang ngefek itu adalah yang ekstrim, misalnya melarang atau membiarkan.

Ini karena pada setiap perkembangan manusia itu memunculkan watak ganda. Pada remaja, satu sisi dia harus tahu perkembangan zaman dan terlibat di dalamnya agar dia bisa bersikap. Kalau kita memaksa dia harus seperti kita, mungkin dia akan manjadi manusia terkuno di zamannya nanti.

Tetapi di sisi lain, konsistensi dia dalam memegangi ajaran moral dan mental itu masih labil, belum terkonstruksi secara kuat, layaknya orang dewasa. Karena itu, memberi cek kosong kepercayaan pada remaja, seringkali membuahkan penyesalan di kemudian hari.

Nah, manajemen di sini berguna untuk bagaimana kita tetap memberi kesempatan kepada mereka terlibat dalam perkembangan zaman, namun tidak sampai termakan oleh asumsi bahwa anak kita pasti sudah bisa menjaga dirinya sehingga kita terlalu membiarkan.

Agar manajemen ini bekerja, tentu dibutuhkan aksi, entah itu sosialisasi pemahaman, regulasi penggunaan, atau antisipasi penyalahgunaan. Untuk tehniknya, pasti kita punya cara sendiri yang lebih membumi. Hanya, secara umum, tehnik yang bisa kita acu itu antara lain:

§ Memberi bekal pengetahuan dan penyadaran mengenai hebatnya tehnologi dan potensi bahaya yang bisa ditimbulkannya. Anak kita sudah tahu itu, tetapi ucapan kita tetap diperlukan
§ Mengorek sikap anak terhadap kasus-kasus remaja terutama yang ditudingkan ke FB untuk memperkuat konstruksi sikapnya dalam menghadapi hidup
§ Beradu kompetisi untuk menemukan data, informasi, dan pengetahuan melalui internet dengan anak atau minimalnya belajar dari anak atau belajar bersama dia.
§ Perlu memonitor apa yang dilakukan anak selama berinteraksi dengan hape atau FB untuk memberikan ide-ide evaluasi konstruktif (membangun).

§ Perlu untuk tidak memberikan privacy yang berlebihan pada anak, misalnya kamarnya dikunci, di lantai II, bebas main internet tanpa pantauan, sms-an sampai tengah malam, pulang sekolah seenaknya, dan seterusnya.
§ Tetap memberi ruang untuk berinteraksi dengan kita secara nyata, face-to-face, dan real life agar terjadi gesekan, social learning, dan dinamika.

Yang Baik Pun Kalau Berlebihan Menjadi Kurang
Sampai pun kita tahu bahwa anak kita menggunakan internet itu untuk kebaikan, namun kalau berlebihan, misalnya berjam-jam di depan komputer, itu bisa menjadi kekurangan buat dia. Membaca buku itu sangat bagus, tetapi kalau berlebihan, terkadang menciptakan kekurangan, misalnya tidak bisa ngomong secara flow (mengalir), kurang tahan menghadapi kenyataan, atau keseimbangan fisiknya kurang.

Selama masih usia remaja, akan lebih bagus kalau dia merasakan berbagai pengalaman hidup, lebih-lebih pengalaman yang sedang ngetren di zamannya, namun tetap kita arahkan untuk memfokusi beberapa bidang yang nantinya berguna untuk dia, sambil bekerjasama untuk memantangkan mental dan moralnya.

Semoga bermanfaat.

Sumber Artikel : http://www.e-psikologi.com/epsi/sosial.asp

Apakah Kita Sering "Mut-Mut-an?"

Kategori Klinis
Oleh : Ubaydillah, AN
Jakarta, 01 Februari 2010

Keunikan Mood
Rasa-rasanya sudah biasa kita menggunakan istilah mood. Umumnya, istilah mood itu kita pahami sebagai suasana batin tertentu, bisa bad dan bisa good. Kalau melihat ke pendapat ahli, seperti yang dikutip Wikipedia misalnya, mood adalah keadaan emosi (state of emotion) yang berlangsung secara relatif, yang sebab-sebabnya seringkali subyektif atau tidak jelas. Jika seseorang merasa takut, itu ada sebabnya, entah faktual atau perceptual (sebab-sebab yang dipersepsikan seseorang). Sama juga kalau seseorang merasa gembira. Kegembiraan muncul karena sebab-sebab tertentu. Tapi untuk mood, sebabnya seringkali tidak jelas atau stimulusnya kerap kurang faktual. Misalnya saja, kita tahu-tahu merasa bad mood saat mau berangkat ke kantor.

Penjelasan yang mirip sama juga bisa kita dapatkan dari bukunya Philip G. Zimbardo (Psychology and Life: 1979) tentang mood. Mood adalah keadaan emosi tertentu yang tidak masuk dalam kategori state (emosi yang dipicu oleh faktor eksternal tertentu) atau trait (bentuk emosi yang menjadi bawaan seseorang). Perubahan mood bisa berlangsung dalam ukuran jam atau hari. Bagi sebagian orang, perubahan mood kerap mempengaruhi gairahnya untuk melakukan sesuatu atau bahkan bisa mempengaruhi keputusan dan tindakannya. Sejauh pengaruh itu tidak menyangkut ke urusan yang penting dan sangat menentukan, mungkin masih bisa kita bilang biasa. Namanya juga orang hidup. Alam saja punya musim dan cuaca.

Tapi, bila itu sudah merembet ke urusan yang sangat penting, maka sulit rasanya untuk mengatakan itu biasa. Misalnya kita sedang menekuni keahlian tertentu. Jika gairah kita lebih sering dikendalikan oleh perubahan mood, mungkin akan sangat pelan kemajuan yang bisa kita raih, yang mestinya bisa kita raih lebih cepat, jika seandainya kita tidak mut-mutan (moody). Lebih-lebih jika perubahan mood itu sering kita alami sudah menyangkut ke urusan dengan orang lain atau organisasi. Misalnya kita tiba-tiba membatalkan janji dengan mitra gara-gara mood. Kita mengubah haluan yang sudah disepakati orang banyak gara-gara mood; atau kita mengambil keputusan penting yang menyangkut keluarga karena soal mood. Gampangnya ngomong, kita sudah menjadi orang yang mut-mutan sehingga sulit dipegang.

Mood Disorder
Di dalam kajian Psikologi, ada istilah yang akrab disebut mood disorder atau perubahan mood yang sudah tidak sehat lagi atau kacau. Dr. C. George Boeree, dari Shippensburg University (Mood Disorder: 2003), menjelaskan bahwa Mood Disorder itu merupakan sisi ekstrim yang sudah tidak sehat (patologis) dari perubahan mood tertentu, misalnya terlalu girang atau terlalu malang (sadness and elation).
Definisi di atas rasa-rasanya sudah cukup untuk kita jadikan sebagai acuan perbaikan diri. Lain soal kalau kita ingin menggunakannya untuk presentasi tugas-tugas akademik yang menuntut sekian teori, perspektif, dan analisis data atau fakta. Untuk kepentingan perbaikan diri, pengaruh perubahan mood yang perlu kita deteksi itu antara lain adalah:

* Apakah perubahan mood itu sudah benar-benar ekstrim hingga sudah bisa dibilang sangat membahayakan, misalnya ugal-ugalan saat berkendaraan di jalan raya atau membanting barang-barang yang berguna buat kita hingga fatal?
* Apakah perubahan mood itu sudah benar-benar dapat melumpuhkan fungsi kita dengan sekian tanggung jawab yang harus kita jalankan hingga kita menjadi orang yang “EGP” (Emang Gue Pikiran) terhadap tugas-tugas kantor, tanggung jawab profesi, atau tugas sebagai orangtua?
* Apakah perubahan mood itu sudah membuahkan tanda-tanda rusaknya hubungan kita dengan orang lain gara-gara misalnya banyak janji yang tidak kita tepati, banyak missed call atau SMS yang tidak kita jawab, dan lain-lain?


Sekian jawaban yang bisa kita gali dari pertanyaan di atas memang masih belum tentu bisa disebut Mood Disorder secara teori keilmuannya. Hanya saja, dengan menggunakan akal sehat, pasti kita sudah bisa menyimpulkan bahwa perubahan mood yang sudah menimbulkan bahaya dan kerusakan, tentu bukan lagi urusan yang biasa atau normal.

Gaya Hidup Depresif
Apa yang pertama-tama perlu kita telaah ketika perubahan mood yang kita alami itu sudah berdampak pada hal-hal buruk seperti di atas? Salah satu yang terpenting adalah gaya hidup, kebiasaan, atau tradisi, dalam arti prilaku yang berulang-ulang kita lakukan secara hampir tidak kita sadari sepenuhnya. Pertanyaannya, gaya hidup seperti apa? Gaya hidup yang bisa menjelaskan munculnya mood secara kebablasan (patologis) adalah gaya hidup depresif. Seperti sudah sering kita baca di sini, depresi itu adalah stress yang berlanjut atau gagal kita tangani secara positif. Dalam prakteknya, depresi itu ada yang sifatnya respondent dan ada yang sifatnya sudah menjadi tradisi yang berlangsung lama.

Depresi yang sifatnya respondent umumnya dipicu oleh kejadian eksternal yang kita rasakan stressful, seperti misalnya ada tragedi diri yang membuat kita harus hengkang dari kantor atau perusahaan yang selama ini kita besarkan, perceraian yang diawali peristiwa yang menyakitkan, atau kematian yang tidak normalnya menimpa orang tersayang, dan berbagai peristiwa lain yang sulit kita terima secara langsung. Jika acuannya praktek hidup, depresi yang respondent umumnya diketahui sebab-sebabnya atau kronologisnya. Ini agak beda dengan depresi yang sudah menjadi gaya hidup. Mungkin ada pemicunya, tetapi pemicu itu tidak kita sadari sehingga menggunung dan berlahan-lahan membuat kita merasa dikelilingi oleh berbagai beban, tekanan, dan ancaman.

Untuk menelaan apakah praktek hidup kita sehari-hari sudah diliputi berbagai beban, tekanan, dan ancaman yang depresif itu, mungkin gejala umum di bawah ini dapat kita jadikan acuan:

* Menurunnya energi untuk melakukan sesuatu, bad mood.
* Sulit berpikir atau berkonsentrasi sehingga membuat kita lupa atau tidak menyadari tanggung jawab, dari mulai yang sepele, katakanlah seperti lupa membayar makanan yang kita ambil, dan semisalnya
* Inginnya tidur terus atau sulit tidur, ingin makan terus atau sulit makan
* Tidak care lagi terhadap urusan penampilan, misalnya acak-acakan
* Sulit mengambil keputusan atau cepat berubah-ubah keputusannya (tidak bisa dipegang)
* Mengalami kelambanan psikomotorik, seperti ngomongnya sepenggal-sepengal, lamban meresponi sesuatu, atau males ngomong
* Berpikir secara tidak sehat mengenai kematian


Membebaskan Diri Dari Depresi
Di literaturnya, memang banyak pernyataan ahli yang mengingatkan agar kita tidak cepat berkesimpulan bahwa perubahaan mood yang sudah menciptakan gangguan itu murni karena depresi. Untuk mengetahui sebab-sebab yang spesifik, diperlukan pendalaman oleh tenaga ahli. Dan itu umumnya butuh waktu. Tapi, hampir semua sepakat bahwa depresi dapat membuat seseorang lebih sering dikendalikan oleh suasana batin dalam mengambil keputusan sehingga layak bisa dibilang mut-mutan. Karena batin kita sedang depresif, maka keputusan kita pun mencerminkan gejala-gejala depresi seperti di atas. Misalnya tidak konsentratif, tidak bergairah untuk bertanggung jawab, dan seterusnya.

Lantas, apa yang bisa kita lakukan agar depresi itu tak sampai membuahkan kebiasaan moody? Akan dibilang sombong jika kita berpikir sanggup mengantisipasi peristiwa depresif seratus persen. Banyak peristiwa menyakitkan yang tak sanggup diantisipasi oleh manusia atau oleh negara sekali pun, misalnya bencana. Ada bencana yang karena ulah manusia, tetapi ada yang karena sudah maktub (tertulis).
Karena itu, selain memang perlu mengantisipasi, kita pun perlu melakukan mekanisasi (menciptakan mekanisme pertahanan-diri) untuk menghadapi peristiwa yang sudah tak bisa diantisipasi. Mekanisme ini dapat kita kelompokkan menjadi dua, yaitu:

1. Mekanisme eksternal

2. Mekanisme internal

Katakanlah kita kini merasakan situasi kantor atau rumah tangga yang benar-benar depresif dan sebab-sebabnya sudah ruwet, seperti benang kusut. Mekanisme eksternal yang bisa kita lakukan antara lain: mengatur (to manage), mengubah, memperbaiki, atau pindah ke situasi baru. Tapi ini men-syaratkan kemampuan, kemantapan, dan tangggung jawab. Jika itu belum sanggup kita jalankan, maka yang bisa kita lakukan adalah menciptakan mekanisme internal. Jumlah dan bentuk mekanisme internal yang diciptakan Tuhan untuk mempertahankan hidup itu sangat tak terbatas, dari mulai menciptakan interpretasi baru, opini baru, definisi baru, makna baru, refleksi baru, sikap baru dan seterusnya.

Mekanisme internal itu intinya adalah upaya kita menciptakan pikiran, perasaan, dan keyakinan yang membuat kita menjadi lebih kuat dan lebih tercerahkan. Mekanisme internal ini bahkan lebih berperan ketimbang mekanisme eksternal dalam mengkondisikan seseorang menjadi depresi atau tidak. Dalam prakteknya, belum tentu orang yang di penjara itu lebih depresif ketimbang orang yang bebas. Belum tentu orang yang namanya dan gambarnya dijadikan sasaran tudingan dan hinaan di media atau demo itu lebih depresif. Bisa ya dan bisa tidak, atau bahkan malah bisa semakin matang, tergantung mekanisme internalnya.

Yang perlu kita jauhi bersama adalah, sudah kita belum mampu menciptakan mekanisme eksternal (karena soal berbagai cost), menciptakan mekanisme internal yang gratis pun tidak kita ciptakan. Atau malah membangun mekanisme internal yang semakin men-depresi-kan diri sendiri hingga membuat kualitas keputusan hidup kita menurun drastis atau mut-mutan melulu. Memang, mekanisme internal itu muncul dari sekian dukungan, mungkin nilai, ilmu, informasi, dan yang terpenting lagi adalah latihan (proses dan prosesi).

Semua dukungan itu hanya akan kita dapatkan setelah ada pondasi yang kuat, yaitu:

1. Munculnya dorongan untuk berubah ke arah yang lebih baik

2. Menyadari adanya kebutuhan untuk berubah.

Jika dua hal ini tidak ada, mungkin semua pintu akan tertutup. Dari laporan penelitian beberapa ahli diakui bahwa yang membuat orang tak kunjung bisa menguasai mood-nya adalah karena orang itu tidak menyadari adanya kebutuhan untuk mengubah dirinya. Bahkan mungkin merasa itulah yang benar.

Berpikir Hidup Ini Hanya Sekali
Tidak semua perubahan hidup yang kita nilai sangat fundamental itu harus dimulai dari pemikiran yang canggih, pintar, dan kompleks. Itulah hebatnya keadilan Tuhan. Adakalnya bisa dimulai dari pemikiran yang sederhana, yang tidak hanya diketahui oleh para profesor, dan mungkin salah. Contohnya adalah berpikir “Hidup ini hanya sekali”. Untuk kita, ini salah karena hidup itu dua kali, tidak ada kalimat yang canggih di situ, dan tak ada teori yang melatarbelakanginya. Tapi, jika kita berhasil menggunakannya untuk mengantisipasi munculnya gaya hidup yang depresif, hasilnya akan canggih. Dengan berpikir seperti itu, kita akan segera sadar, untuk apa kita membiarkan diri larut dan hanyut ke dalam gaya hidup yang depresif, wong hidup hanya seperti mampir ngombe (numpang minum) saja? Kenapa nggak kita nikmati saja hidup yang hanya sekali ini dengan sekian mekanisme yang bisa kita buat? “Gitu aja kok repot?”, mengenang ucapan Gus Dur semasa masih hidup.

Semoga bermanfaat.


Sumber Artikel : http://www.e-psikologi.com/epsi/klinis.asp

Mengatasi Sikap Nggak Enakan

Oleh : Ima Effendi
Jakarta, 10 November 2010

Seorang teman mengeluhkan sikapnya yang kerap mengorbankan diri karena perasaan nggak enak terhadap orang lain atau sebuah situasi dan kondisi. Ia mencontohkan sebuah situasi ketika ia harus membatalkan sebuah acara yang musti ia tandangi hanya karena ada tamu tak diundang bertandang kerumahnya ketika ia hendak berangkat, ketika ia membiarkan seorang pelayan restoran yang salah menghitung jumlah kembalian uang yang semestinya ia dapatkan, ketika ia enggan menegur seorang karyawan hanya karena mengetahui latar belakang keluarganya kurang mampu, ketika ia sulit mengatakan "tidak" kepada tetangga atau kerabat yang meminta bantuan finansial dan beragam peristiwa lainnya.

Dalam beberapa kasus memang kita bisa memaklumi sikap-sikap yang diambil oleh teman saya tetapi baginya, too much is enough, sesuatu di dalam hatinya berteriak meminta tolong. Selain telah merasakan kerugian langsung baik materiil, ia juga sudah tidak lagi mampu mengatasi dampak dari kerugian tenaga dan waktu yang menjadi akibat dari sikap yang ia sebut Nggak Enakan.

Nggak Enakan atau Tidak Berprinsip?

Budaya timur dalam masyarakat kita memang telah menanamkan harmonisasi dan tenggang rasa dengan sesama namun ini bukan berarti karena adanya nilai-nilai ini kita lantas bisa dengan mudah mengabaikan nilai-nilai prinsipil tiap pribadi yang juga harus dijaga dan dipertahankan oleh seseorang, apalagi jika sudah berkaitan dengan hak-hak asasi yang dimilikinya. "Mengorbankan diri" demi menghindari konflik atau situasi yang tidak nyaman tidak dibenarkan. Harmonisasi dan tenggang rasa itu tidak benar adanya jika tercapai diatas keuntungan satu pihak dan kerugian di pihak lain.

Sebelumnya kita musti melihat terlebih ke dalam diri. Apakah saya memiliki prinsip hidup? Darimana prinsip itu berasal? Pendidikan dalam keluarga dan Religi tentu saja telah menanamkan kejujuran, keadilan, disiplin dan lain sebagainya. Prinsip ini menjadi bagian dari sikap dan kepribadian seseorang. Berbeda dengan aturan, prinsip sifatnya lebih instrinsik. Prinsip adalah keyakinan yang mendasari aturan yang kita pakai dalam menjalani kehidupan. Di kantor atau organisasi Anda pasti ada banyak aturan kerja. Dengan beragam alasan, rasionalisasi atau karena memang masa bodoh, Anda bisa saja melanggar aturan-aturan itu. Anda bahkan bisa melanggar aturan tanpa menyadarinnya. Tetapi, ketika prinsip dilanggar, tidak mungkin Anda tidak menyadarinya. Hati Anda akan bergejolak, ada perasaan tarik-menarik antara kenyataan diluar dan kecamuk dalam dada. Ketika prinsip dilanggar, orang akan dengan normal merasakan kebimbangan, perasaan bersalah dan kecewa pada diri sendiri. Dalam kasus teman saya, ia sudah sampai taraf kehilangan jati dirinya sendiri.

Jika memang kejujuran, keadilan, disiplin dan lain sebagainya adalah betul menjadi prinsip hidup Anda dan Anda sendiri tidak memiliki keberanian untuk mempertahankannya, maka nilai-nilai itu bukanlah sebuah prinsip tetapi hanyalah tujuan hidup yang tidak cukup suci. Jadi, apakah Anda betul-betul nggak enakan atau memang orang yang tidak berprinsip? Silahkan tanyakan pada diri Anda sendiri. "Apa sih hal-hal yang akan membuat Anda berani berjuang untuk mempertahankannya?"

Berprinsip tanpa Konflik

Tanpa prinsip, maka cara Anda mengambil keputusan dalam kehidupan ini akan selalu didasarkan pada emosi, situasi dan kondisi sehingga ego akan mengalahkan etika. Meski mempertahankan prinsip itu sesuatu yang sulit dilakukan oleh sebagian orang tetapi tidak mempertahankannya akan jauh lebih merugikan.

Seseorang yang berani mempertahankan prinsipnya akan merasakan sebuah kepuasan diri. Ia akan tahu potensi dirinya dan posisinya dan bisa bersikap sedikit keras kepala untuk tidak bergeming. Hal ini tentu saja bukan sikap negatif jika konteksnya adalah mempertahankan prinsip hidup Anda yang suci. Tapi tentu saja dengan catatan, Anda melakukannya bukan karena demi keuntungan pribadi (hal ini mudah dilakukan tanpa memiliki prinsip hidup) namun Anda melakukannya karena karakter, kesadaran dan batin Anda mengandalkan Anda. Anda melakukannya seolah hidup Anda bergantung pada prinsip itu.

Pada akhirnya jika Anda berani mempertahankan prinsip hidup, Anda akan merasakan kedamaian dan percaya diri yang membantu pada penemuan jati diri Anda. Jika Anda adalah seorang pemimpin perusahaan, anak buah Anda akan "melihat" ini sebagai sebuah sikap kewibawaan dan kepemimpinan yang profesional, jika Anda adalah seorang Ibu atau Ayah tentu saja ini adalah sebuah sikap keteladanan yang luhur. Sebagai sebuah pribadi, Anda tidak akan lagi menjadi pribadi yang plin-plan, lemah, pengecut, tidak lagi mudah dimanfaatkan dan mudah dilecehkan hak-haknya oleh orang lain. Semoga bermanfaat.

Sumber Artikel : http://www.e-psikologi.com/epsi/artikel.asp

Teori Inteligensi Jean Piaget

Teori Piaget merupakan teori inteligensi yang menekankan pada aspek perkembangan kognitif, tidak merupakan teori yang mengenai struktur inteligensi semata-mata.

Sumber : Pengantar Psikologi Inteligensi (Drs. Saifuddin Azwar, MA)

Teori Inteligensi Charles E.Spearman

Pandangan Spearman (1927) mengenai inteligensi di tunjukkan dalam teorinya mengenai kemampuan yang populer dengan nama teori dua faktor (two factor theory). Awal penjelasannya mengenai teori ini berangkat dari analisis korelasional yang dilakukannya terhadap skor seperangkat tes yang mempunyai tujuan dan fungsi ukur yang berlainan.

Sumber : Pengantar Psikologi Inteligensi (Drs. Saifuddin Azwar, MA)

Teori Inteligensi Edward Lee Thorndike

Pada dasarnya, teori thorndike menyatakan bahwa inteligensi terdiri atas berbagai kemampuan spesifik yang ditampakkan dalam wujud perilaku inteligen. Oleh karena itu, teorinya dikategorikan ke dalam teori inteligensi faktor ganda.

Sumber : Pengantar Psikologi Inteligensi (Drs. Saifuddin Azwar, MA)